Nurdin Abdullah, KPK dan Jejaring Korupsi di Sulsel
Oleh: Akbar Faizal, Anggota Komisi III DPR RI 2009-2019
Dimulai langsung dari pucuknya, Gubernur Nurdin Abdullah, KPK mengobrak-abrik Sulawesi Selatan. Sebuah penantian yang lama. Saya pernah mengeluhkan soal ini kepada pimpinan KPK dan Deputi Penindakan saat itu, Firli Bahuri, yang kini menjadi Ketua KPK. Mengapa lembaga antirasuah ini selalu ‘melewati’ Sulsel dalam berbagai operasinya? Setelah Jawa Tengah, misalnya, operasi KPK berikutnya meloncat ke daerah timur Indonesia lainnya. Atau mengubek-ubek wilayah barat setelah mengobok-obok Jawa Barat atau Jawa Timur.
Perselingkuhan para penguasa wilayah dengan kontraktor infrastruktur yang lalu bermetamorfosis menjadi cukong sudah sangat memuakkan. Pesta pernikahan putra seorang cukong proyek infrastruktur dengan putri cukong lainnya di sebuah hotel mewah di Makassar beberapa tahun lalu adalah penampilan terbuka keakraban mereka. Hampir semua kepala pemerintahan daerah dan penegak hukum hadir. Larut dalam kemewahan pesta. Para pemerhati korupsi menyaksikan dari jauh dan semakin yakin perselingkuhan itu masif.
NA menang pilkada gubernur pada 2018 terutama oleh keberhasilannya mengubah wajah Bantaeng. Kabupaten miskin yang wilayahnya hanya tujuh kecamatan itu menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan sebuah daerah. Anggota DPRD dari banyak daerah di Indonesia berdatangan. Judulnya sih Ingin belajar mengelola daerah sambil menghabiskan anggaran kedewanan mereka. Kedekatan NA dengan Pemerintah Jepang juga menjadi faktor pendukung tersendiri. Magister dan doktoralnya didapatkan di Jepang. Bantaeng menerima banyak bantuan langsung maupun tak langsung. Ambulance modern hingga mobil pemadam kebakaran yang bahkan belum dimiliki Pemerintah Kota Jakarta atau Surabaya berseliweran di Bantaeng.
Tapi pilkada selalu mahal. Keberhasilan memimpin Bantaeng adalah satu hal. Tapi pemilih di 23 kabupaten lainnya selain Bantaeng butuh treatment politik tersendiri. Cukong jawabannya. NA tak bisa mengelak. Perselingkuhan dimulai. Kesepakatan terbangun secara diam-diam. Butuh dana besar untuk melalui seluruh proses pilkada. Dari survei awal, membeli tiket partai bernama mahar yang semakin mahal, survei-survei lanjutan, pembentukan tim sukses dan pelatihan saksi. Tentu saja proyek-proyek infrastruktur APBD yang menjadi penjaminan kesepakatan jahat mereka. Pengkhianatan terhadap rakyat dimulai bahkan mungkin sejak lama.
NA tak sendiri. Hampir semua pilkada di Sulsel melibatkan cukong dengan APBD sebagai lembaran akhir kesepakatan. Pada beberapa daerah, satu cukong awalnya hanya kontraktor kecil-kecilan. Namun lalu menggurita setelah bupati dukungannya menang pilkada. Mereka bahkan terang-terangan mencampuri pemerintahan hingga ke urusan promosi dan mutasi pejabat ASN.
Di Kabupaten Wajo, misalnya, semua orang tahu Bupati Amran Mahmud hanya mengendalikan sebagian kekuasaan bupati yang dipegangnya. Sebagian lainnya milik preman politik lokal berinisial APU alias AU yang dikenal jagoan sejak bapaknya masih bupati di masa Orde Baru. APU alias AU adalah master campaign Amran Mahmud saat menang pilkada. Tak ada makan siang gratis. AU tak punya uang. Modalnya hanya gaya ancam dan intimidasi. Tapi dia ‘memelihara’ beberapa pengusaha lokal dari Wajo dan Soppeng. Kita tahu ujung kisahnya dimana. Satu sumber saya di Kejaksaan menyebut file AU ini masih ‘on’ dan bisa dibuka kapan saja pada kasus pembangunan kantor bupati Maros yang menjebloskan bupatinya saat itu, Nasrun Amirullah, ke penjara.
Di Pangkep, cukong memenangkan anaknya yang masih bau kencur menjadi bupati mengalahkan kandidat jagoan bupati yang adalah kakak kandungnya sendiri. Terdengar rumit ya? Memang … Seberantakan kehidupan politik daerah ini. Pangkep terparah mengidap penyakit politik dinasti. Kisah serupa juga terjadi di berbagai di kabupaten lainnya. Riset Nagara Institute, lembaga kajian politik yang saya pimpin, menemukan Sulsel di urutan pertama daerah yang terpapar hebat dinasti politik baik pada dua pilkada serentak terakhir maupun pada pileg 2019 lalu.
OTT KPK terhadap NA yang dikenal bersih dan berprestasi meruntuhkan seluruh bangunan kekaguman banyak orang yang mengelu-elukannya. Juga saya. NA yang awalnya mampu meyakinkan semua orang bahwa dialah orang yang tepat untuk Sulsel ternyata terbelit masalah yang sama. Korupsi. Lalu bagaimana dengan anak buahnya (baca: kepala daerah) yang tak kurang brengseknya? Cerita kolusi, korupsi dan nepotisme nir-prestasi mereka pertontonkan secara terbuka kepada warganya tanpa rasa malu walau digunjing setiap hari. Mungkin mereka pikir toh rakyat juga gampang lupa dan mudah untuk dibuat kagum.
Sejak tahun pertama memerintah Sulsel NA membuat beleid berjudul ‘Bantuan Keuangan dan Hibah’. Demikian nomenklaturnya dalam APBD Sulsel. Sebuah program bantuan keuangan bagi kabupaten yang kesulitan pembiayaan untuk infrastruktur pembukaan akses daerah terisolir serta dukungan bagi kepariwisataan. Nilainya lumayan. Rp 500 miliar lebih setiap tahun.
Keterbatasan kemampuan mencari sumber pembiayaan selain dari pemerintah pusat (APBN) membuat banyak bupati selalu kesulitan membangun daerahnya. Problem utamanya tetap sama yakni gagap mencari sumber keuangan baru. Coba cek pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten di Sulsel yang angkanya selalu saban tahun. Kebaikan hati Gubernur NA menyediakan dana yang sebenarnya juga diambil dari guyuran pemerintah pusat melalui APBD Provinsi ini menyelamatkan wajah bupati yang penuh janji kampanye.
Caranya, bupati-bupati harus mengajukan proposal untuk mendapatkan fasilitas bantuan keuangan ala NA tadi. Hampir semua kabupaten memanfaatkan kesempatan ini. Luwu Utara, misalnya, mendapat paket bantuan untuk pekerjaan jalan Patila – Munte yang tendernya dimenangkan PT Gangking milik kontraktor berinisial R yang berjaya disini. Poros Patila-Munte dibagi dua. Ruas Rampoang – Karondang senilai Rp 21 miliar lebih. Lalu, ruas Karundeng – Munte berbiaya Rp 19 miliar. Komunitas kontraktor lokal juga pasti mengetahui sepak terjang PT Hospindo Internusa, PT Makassar Indah dan PT Aiwondoni Permai.
Kabupaten Wajo juga kecipratan banyak. Total, daerah sutra ini mendapat gelontoran Rp 103 miliar. Rinciannya, Rp 73 miliar pada 2019 dan Rp 30 miliar pada tahun 2020. Kata seorang anggota DPRD Wajo, dananya digunakan membangun beberapa ruas jalan tapi bukan membuka daerah terisolir sesuai peruntukannya. Yakni, ruas Impa-impa -Anabanua sepanjang 4,6 Km berbiaya Rp 30 miliar yang dikerjakan PT Mega Bintang Utama. Lalu, ruas Solo – Peneki sepanjang 7,4 Km dengan total anggaran Rp 24,7 miliar oleh PT Tocipta Sarana Abadi. Satu pejabat di Sengkang menyebut proyek-proyek ini dikerjakan Nuwardi bin Pakki alias Haji Momo, pengusaha piaraan AU sang preman politik tadi. Miliaran uang Haji Momo dipakai Amran Mahmud berkampanye pada pilkada. Banyak laporan keluhan warga tentang kualitas jalan yang mereka kerjakan. Haji Momo telah diperiksa KPK sebagai saksi tentang aliran-aliran dana dari proyek Pemprov.
Tapi warga kota Sengkang lebih akrab dengan nama PT Lompulle, perusahaan kontraktor asal Soppeng yang mengerjakan banyak sekali proyek di Wajo. Sekadar menyebut beberapa proyek jalan yang mereka dapatkan yakni peningkatan kapasitas struktur jalan ruas Sompe-Lapaukke berbiaya Rp 12,9 miliar. Atau, peningkatan jalan ruas Bila-Nyelle di Kecamatan Pammana berbiaya Rp 29,1 miliar. Pemilik PT Lompulle, HH, adalah cukong yang membiayai kampanye Amran Mahmud. Pengusaha yang bukan kelompok AU dan Amran Mahmud hanya bisa gigit jari.
Banyak pertanyaan muncul mengapa seluruh anggaran yang didapatkan Wajo tadi melulu untuk membangun infrastruktur jalan? Mengapa tidak menambah anggaran pariwisata Wajo yang hanya Rp 300 juta pada tahun anggaran 2020 seperti pengakuan Dahniar Taqwa, Kadis Pariwisata Wajo dalam diskusi daring dengan komunitas Hipermawa Wajo? Jawabannya, menyiapkan menu bagi cukong.
Bupati Amran Mahmud sebenarnya menyiapkan pembangunan infrastruktur pariwisata tapi masih sebatas gambar tiga dimensi di layar komputer. Itu pun tak jelas alasan rencana membangun fasilitas pariwisata di pinggir sungai wilayah Tokampu yang juga langganan banjir dari danau Tempe setiap musim hujan tiba. Tapi bisa dipastikan kelak proyek ini akan jatuh ke tangan cukong utamanya. Wajar jika pendapatan dari sektor trpariwisata Kabupaten Wajo yang hanya Rp 70 juta sepanjang tahun 2020 lalu. Hmmm… Keuntungan penjualan sate Pak Maryono dekat rumah saya jauh diatas angka itu.
Kisah yang sama terjadi di Soppeng. Rp 54 Miliar digelontorkan pemprov untuk pembangunan jalan poros Barru-Kawasan Wisata Lejja. Lejja, sebuah kawasan wisata air panas masuk dalam rencana besar pengembangan Soppeng untuk perikanan, peternakan dan perkebunan sebagai bagian dari kerjasama daerah kembar dengan Distrik Ehime, Jepang. Parepare juga menikmati kebaikan hati gubernur berupa bantuan sebesar Rp 72 miliar pada tahun anggaran 2019 untuk penyelesaian tower pertama RS Ainun Habibie. Tahun berikutnya Walikota Parepare kembali meminta tambahan anggaran Rp 36 miliar namun ditolak gubernur.
Jeneponto dan pangkep menikmati bantuan serupa. Jalan tembus Pangkep-Bone yang bisa menghemat perjalanan antar kedua wilayah hingga 45 menit berasal dari paket bantuan ini. Kabarnya, pembangunan rest area di Jeneponto juga bagian dari paket bantuan keuangan NA tadi. “Hampir semua kabupaten memanfaatkan fasilitas ini,’ kata satu sumber. Beberapa analisis menyebut fasilitas bantuan ini adalah ‘bayar utang’ NA kepada bupati-bupati pendukungnya. Bantuan puluhan miliar kepada Soppeng tadi tampaknya menjadi paket ‘jasa pengkhianatan’ Andi Kaswadi terhadap Nurdin Halid, Ketua DPD I Golkar Sulsel yang juga maju sebagai calon gubernur berhadapan dengan NA. Nurdin Halid kalah telak di Soppeng. Padahal Andi Kaswadi, Bupati Soppeng, adalah Ketua Golkar Soppeng. Bagi NA sendiri, fasilitas bantuan ini adalah senjata pemukul efektif ‘menundukkan’ bupati yang bandel pada kebijakannya. Taktis. Lantas dimana masalahnya?
Cukong proyek yang bersembunyi di balik jubah gubernur bernama bantuan keuangan atau dari berbagai proyek infrastruktur yang bersumber dari APBD Provinsi. Ini sumber masalahnya. Gaya over-acting TGUPP (Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan) menyempurnakan kerusakan yang ditimbulkannya. Diam-diam KPK mengendus praktek korup ini. Dan sumber petaka itu bernama proyek pembangunan jalan Palampang-Munte-Botolempangan yang menghubungkan Sinjai – Bulukumba. Nilainya hanya Rp 37 miliar yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK).
Satu sumber menyebut proyek ini seharusnya dikerjakan seorang pengusaha Sulsel yang mukim di Papua. Tapi Gubernur meminta Jumras, pejabat Dinas PUPR Sulsel memenangkan Anggu alias Agung Sucipto, pengusaha spesialis proyek pemerintah asal Bulukumba yang dekat dengan NA bahkan saat masih menjabat bupati di Bantaeng. Kata NA kepada Jumras,”Anggu membantu kita (Rp 10 miliar) saat kampanye cagub lalu” seperti yang tercantum dalam dokumen angket. Ya.. utang harus dibayar.
Jumras menolak. NA marah. Anggu menagih. Kisahnya menjadi liar dan dokumen berikut rekaman pembicaraan elektronik jatuh ke tangan beberapa anggota DPRD dan menjadi material Pansus Angket DPRD Sulsel. Kadir Halid, anggota DPRD Fraksi Golkar yang menjadi inisiator utama bertanya kepada saya tentang bagaimana cara membuat pansus sekaligus meminta dokumen pembuatan sebuah pansus. Saya berikan dokumen pembentukan Pansus Angket Bank Century yang pernah kami bikin di Senayan. Sejarah politik lokal mencatat DPRD Sulsel-lah yang pertama membuat pansus untuk level parlemen provinsi dengan gubernur sebagai ‘tersangka utama’. Sebuah pencapaian dalam proses ber-DPRD yang patut dicatat.
Para pihak dipanggil ke depan Pansus. Dari Jumras, gubernur dan banyak nama lagi. Termasuk Andi Irfan Jaya. Nama terakhir ini telah divonis pada kasus berbeda yakni bantuan jasa politik dan hukum pelarian Djoko Chandra – Jaksa Pinangki. Andi Irfan yang sebelumnya surveyor dan lalu menjadi politisi tertuduh sebagai penghubung para pihak di proyek Palampang-Munte-Botolempangan tadi. Proyek akhirnya memang jatuh ke tangan Anggu. Masyarakat setempat girang bahagia. Seekor sapi dipotong khusus untuk NA sebagai ungkapan terima kasih. Cerita tentang Pansus hilang ditelan bumi. Tapi KPK ternyata mencium aroma bangkai. Kisah selanjutnya kita tahu seperti apa. NA dicokok KPK. Hanya sampai disitu? Tidak. Nurdin Abdullah, Anggu dan Edy Rahmat (sekretaris Dinas PU dan Tata Ruang) yang telah ditetapkan sebagai tersangka tampaknya segera akan mendapat teman baru. Beberapa nama, kabarnya, segera menyusul. Bupati Bulukumba Andi Sukri Sappewali telah dipanggil KPK sebagai saksi.
Seharusnya mantan bupati Bulukumba ini ditangkap Kejati Sulsel saat masih menjabat pada kasus korupsi pembangunan irigasi PUPR sebesar Rp 39 miliar. Saya sendiri yang meminta Jaksa Agung saat itu, Prasetio, memberi atensi khusus pada kasus ini dalam sebuah rapat kerja di Komisi III. Bukti-bukti yang ada dan pengakuan para pihak khususnya Andi Ichwan lebih dari cukup untuk itu. Beberapa orang berusaha melobi saya agar tidak melanjutkan kasus ini. Andi Sukri panik. Eeeh… malah Andi Ichwan yang ditetapkan tersangka lebih dahulu. Padahal PNS Dinas Pendidikan inilah yang membongkar kasusnya. Kita tunggu apakah Andi Sukri Sappewali juga akan lolos dari KPK pada tautan kasus NA ini. Tanda tangan Andi Sukri dan pada beberapa dokumen yang telah disita KPK pasti membuatnya gelisah hari-hari ini.
Sikap keras saya saat masih menjadi anggota DPR pada beberapa kasus korupsi di Sulsel –terkhusus pada korupsi Andi Sukri Sappewali– ini membuat beberapa bupati di dapil saya gelisah dan membangun benteng pertahanan yang lalu bersepakat agar sedapat mungkin saya tak boleh lolos lagi ke Senayan. Berhasil. Seorang kawan menunjukkan sebuah percakapan chat WA pada sebuah group berisi kesepakatan para bupati tersebut. Dan pesta dengan para cukong semakin menjadi-jadi. Sang pengganggu kesenangan mereka, Akbar Faizal, tak lagi ada di Senayan.
Tapi pesta tampaknya telah usai. Gelombang keresahan tengah melanda beberapa bupati pengguna fasilitas kebaikan hati gubernur NA tersebut serta beberapa kontraktor alias cukong yang menikmati proyek bantuan keuangan itu. Pada kasus Bupati Wajo Amran Mahmud, saya pernah ungkapkan model dan praktek perselingkuhannya dengan cukong dan preman politiknya pada salah satu rapat kerja dengan KPK. Saat masih dalam proses pencalonan bupati, kepada saya Amran bercerita banyak tentang peran-peran AU. Saat itu, adik kelas saya di SMA Sengkang ini rutin meminta tolong dalam banyak hal. Sejujurnya hanya saya yang peduli padanya saat Amran Mahmud terlunta-lunta karena kalah dari Andi Burhanuddin Unru, bupati yang kemudian digantikannya kini.
Ya..saya tahu seberapa jauh perselingkuhan Amran dengan preman politiknya berikut pemodal kampanyenya. Seminggu sebelum dilantik sebagai bupati, Amran Mahmud bersama istri melancong ke Jepang ditemani AU dan HH. Amran terbang langsung dari Jakarta sementara AU dan HH tiba di Tokyo dengan penerbangan berbeda,. Nginap di hotel kelas menengah, Amran dan istri ‘dibelanjain’ sepatu, tas dan banyak lagi. Ada kisah lucu. Selama di Tokyo mereka menggunakan transportasi kereta. Suatu waktu, sang preman politik berteleponan dengan setengah berteriak entah dengan siapa. Orang-orang Jepang yang tak terbiasa dengan gaya bertelepon norak seperti itu merasa terganggu. AU mungkin berpikir sedang berada di pete-pete Kota Sengkang. Dasar kampungan.
KPK kabarnya juga mulai menelisik proyek pembangunan jalan akses Poros Barru – kawasan wisata Lejja di Soppeng berbiaya Rp 54 miliar yang diajukan Bupati Soppeng kepada Gubernur NA dengan fasilitas yang sama. Dikerjakan oleh kontraktor HH yang juga menggaruk APBD di Wajo. Problem lain proyek ini karena pembiayaannya dipecah untuk proyek infrastruktur lain dan dikerjakan oleh orang yang sama. Pokoknya, proyek di Wajo – Soppeng adalah ‘milik’ HH.
Jika saja Kejaksaan berada dalam nafas dan gerak yang sama untuk pemberantasan korupsi di Sulsel maka sebenarnya jajaran Adyaksa bisa melakukan hal yang lebih jauh dan lebih banyak. Pada kasus ambruknya Jembatan Bamba di Pinrang berbiaya Rp 2,4 miliar sepuluh hari setelah diresmikan, Bupati Barru kini, Suardi Saleh, yang saat itu sebagai Kepala Dinas PU Kabupaten Pinrang harus bertanggungjawab. Dua orang –Ir.Gamri dan Muhammad Zain alias Haji Laulu– telah divonis penjara masing-masing 5 tahun dan 7 tahun penjara atas kasus ini.
Gamri meminta keadilan dan mengirimi saya dokumen lengkap yang menunjukkan Suardi Saleh harus diseret juga ke penjara seperti dirinya. Tapi Suardi Saleh masih melenggang bebas. Saya menjadi maklum saja ketika jembatan penghubung Lampoko-Balusu di kabupaten tempat dia menjadi bupati saat ini juga rubuh. Kebiasaan lamanya kambuh. Kita berharap KPK segera melakukan supervisi terhadap kasus ini. Supervisi adalah sebuah kerjasama penyelesaian kasus antar penegak hukum yang diatur oleh UU.
Seberapa hebat sepak terjang para cukong proyek di Sulsel? Penumpang gelap kebijakan gubernur NA sebenarnya telah hadir bahkan pada gubernur-gubernur sebelumnya. Proses pemilihan gubernur atau bupati/walikota yang tak mengenal belas kasihan memaksa seorang calon kepala daerah secara sadar mencelupkan diri kedalam cawan dahak kotor. Pada kabupaten dengan jumlah pemilih 100 ribu orang, misalnya, sedikitnya dibutuhkan dana kampanye minimal Rp 30 miliar. Disitulah cukong proyek menunggu calon gubernur/bupati datang menyerahkan diri.
Masyarakat Sulsel berhak untuk meminta kesadaran dan kearifan NA untuk membuka semua praktek korup yang menggayuti kebijakan-kebijakannya. Selain penderitaan kolektif masyarakat yang diakibatkannya, NA juga tak layak bertanggungjawab seorang diri. Butuh kesepakatan besar dan gerakan bersama dari masyarakat guna menghentikan cara-cara pengelolaan daerah seperti ini. Kita tak boleh membiarkan Negeri Para Pemberani ini menjadi negeri para pencuri. Para penikmat proyek-proyek dari kebijakan NA tersebut –baik bupati, kadis, cukong/kontraktor hingga para calo proyek– harus bertanggungjawab. Beberapa orang telah dipanggil KPK meski masih sebagai saksi.
Bukan perkara sulit bagi KPK untuk mengidentifikasi para penikmat uang negara itu. Alur rapat awal pada kantor gubernur untuk penetapan besaran paket bantuan dan proyek yang akan dibiayai, pengajuan proposal dari para bupati/kabupaten, proses tender hingga realisasi pekerjaan bisa menjadi titik temuan lubang persekongkolan yang berujung pada praktek suap menyuap. Dan, temuannya tak akan jauh-jauh yakni pengusaha selingkuhan bupati atau pengusaha titipan gubernur. Kita tunggu saja siapa giliran berikutnya.
Publik Sulsel dengan mudah mengidentifikasi siapa saja mereka-mereka ini. Bisa dihitung jari para pemain besar proyek-proyek infrastruktur yang menguasai pekerjaan berbiaya APBD sejak beberapa tahun lalu. APBD Sulsel memang terus meningkat dari Rp 10 triliun lebih pada 2019, Rp 11 triliun lebih pada 2020 dan menjadi Rp 11,8 triliun pada 2021 ini.
Meski tak ada pembagian wilayah secara baku namun para cukong proyek tahu sama tahu wilayah operasi masing-masing. Proyek (di wilayah) selatan-selatan (Bulukumba, Sinjai, Bantaeng), misalnya, dikuasai oleh Anggu alias Agung Sucipto bersama beberapa koleganya yang memiliki peralatan untuk pekerjaan infrastruktur. Wilayah Bosowa dikuasai oleh HH dan jaringannya. Wilayah Makassar dan sekitarnya yakni Maros, Gowa, Takalar hingga Pangkep menjadi area cukong berinisial HS, HC dan T. Proyek-proyek infrastruktur di daerah Ajatappareng (Sidrap, Pinrang, Enrekang plus Barru) menjadi milik FT dan P. Di Toraja dan Luwu Raya muncul nama JT dan R serta sebuah kelompok usaha berinisial PG. Pekerjaan di Balai Besar PSDA Pompengen dan Jeneberang yang masuk area proyek PUPR juga mereka mainkan meski harus men-drive sendiri dari Jakarta (kementerian teknis dan Banggar DPR). Tapi berat untuk bermain disini kecuali menjadi subkon BUMN karya.
Zulkarnain Arief, saat masih menjabat Ketua Kadin Sulsel, kepada saya pernah mengeluhkan dominasi para cukong piaraan para penguasa wilayah yang disebutnya bahkan tak menyisakan sedikitpun proyek bagi pengusaha yang bernaung di Kadin. Penyebabnya, para kontraktor besar ini berani ‘membeli’ proyek lebih tinggi dibanding pengusaha lainnya. Tapi seorang pengusaha lain menyebut Zulkarnain ‘berjaya’ pada gubernur periode sebelumnya. “Beliau tak layak mengeluh,” kata pengusaha tadi. Hmmm…
Kita tunggu kerja-kerja KPK menelisik kasus ini berdasarkan dokumen dan alat-alat bukti lainnya yang sudah ada di Kuningan. Sulsel menjadi model penanganan kejahatan korupsi yang terstruktur dan masif. Tampaknya permainan masih panjang. Tapi tak rumit sebab pola besarnya telah terbaca. Itulah mengapa daftar saksi yang dipanggil semakin panjang. Dan posisi saksi bisa berbelok di ujung menjadi tersangka alias TSK. Bersiap-siaplah wahai para pencuri.