Pengamat Hukum Merespons Hasil Putusan MK Terkait RUU KPK
JAKARTA – Hakim Mahkamah Konstitusi menolak tiga permohonan uji materil dan uji formil terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pada Selasa, 5 Mei 2021 lalu.
Putusan tersebut dibacakan dalam sidang secara virtual oleh Ketua MK Anwar Usman yang disiarkan di YouTube MK RI dengan nomor registrasi perkara 59/PUU-XVII/2019. Sebagai mana isinya adalah menolak permohonan yang diajukan para pemohon.
Juducial review ke Mahkamah Konstitusi merupakan jalur konstitusional yang ditempuh oleh pemohon dalam rangka mengajukan uji secara materil maupun formil. Sehingga MK menjadi tempat untuk menguji peraturan perundang-undangan.
Ketua MK, Anwar Usman, didampingi anggota majelis hakim lainnya saat membacakan hasil putusan tersebut. Sedangkan salah satu anggota majelis, Wahiduddin Adams, lebih memilih disseting opinion dalam perkara ini.
Peneliti bidang hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Hasin Abdullah merespons, saya menyarankan semua pihak agar menilai putusan hakim MK tentang RUU KPK harus secara objektif, dan independen.
“Sekalipun berdasarkan kajian akademis, kita tidak boleh buta akan prestasi MK maupun KPK. Mau bagaimana pun mereka adalah lembaga negara yang harus dihormati dalam konteks pelaksanaan tugas yudisial ini,” ujar pria alumni Sekolah Kepemimpinan Politik Bangsa Akbar Tandjung Institute, Jakarta, pada Minggu, 9 Mei 2021.
Menurut Hasin, majelis hakim yang menolak permohonan pemohon seharusnya juga melihat akar persoalannnya. Karena RUU KPK ini dibahas secara singkat tanpa menunggu kehadiran punggawa KPK untuk memastikan lanjut atau tidaknya RUU tersebut.
Di sisi lain, Hasin pun sepakat oleh apa yang disampaikan Pakar Hukum Pidana, Romli Atmasasmita, KPK sebagai lembaga trigger mechanism jangan merasa buta terhadap fungsi koordinasi dan supervisi.
“KPK tidak boleh merasa dengan independensinya kemudian tidak ingin dievaluasi oleh pemerintah, sebab evaluasi institusi KPK itu tujuannya adalah untuk masa depan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi,” ungkap Hasin Abdullah saat ditanya awak media.
Pengamat UIN Jakarta, itu menyampaikan, saya memberikan apresiasi atas prestasi MK dan KPK selama ini karena menjalankan fungsinya secara independen dan konsisten. Namun, mereka itu bukan malaikat sehingga kita semua abai terhadap indikator atau catatan-catatan buram (raport merah) MK. Terutama, KPK.
“Saya sangat menghormati putusan hakim yang menolak atau pun yang memilih dissenting opinion dalam perkara yang serius ini. Meskipun penafsiran mereka berbeda yang paling penting adalah RUU KPK harus menambah kekuatan secara legalitas, baik secara fungsi maupun manajemennya,” tambahnya.
Terakhir, Hasin berharap RUU KPK harus menjadi undang-undang yang menguatkan lembaga antiraswah. Karena itu, berfungsi untuk menyelematkan aset negara dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Alhasil, negara hukum ini bebas dari perilaku tidak bermoral. (hs)