Ini Alasan PKS Tolak Privatisasi Aset Negara di Sektor Ketenagalistrikan
JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI dari PKS Amin Ak menolak rencana privatisasi aset-aset negara di sektor ketenagalistrikan oleh pemerintah. Privatisasi akan dilakukan melalui penawaran saham ke publik (Initial Public Offering/IPO) BUMN Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PTLP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Aset negara yang sudah dibangun dengan menggunakan uang rakyat dan merupakan sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, tidak sepatutnya diswastanisasi,” tegasnya.
Amin juga mendesak pemerintah dan PT PLN untuk menyelesaikan akar persoalan utama penyebab menggelembungnya utang PT PLN, ketimbang menjual aset negara untuk menutupi utang. Karena pada akhirnya, kata Amin, utang akan terus ada kalau akar masalahnya tidak diselesaikan, sementara aset yang sudah beroperasi dan menghasilkan listrik dengan baik malah menjadi milik swasta.
“Saat ini beban keuangan PLN semakin berat. Utang PLN saat ini hampir mencapai Rp 500 triliun,” kata Amin.
Salah satu akar masalah yang membebani keuangan PT PLN adalah mekanisme kerjasama pembelian atau kontrak listrik swasta yaitu Independent Power Producer (IPP) melalui klausul “take or pay” (TOP) yaitu kewajiban PLN membeli minimal 70 persen produksi listrik swasta. Padahal saat ini pasokan listrik secara nasional surplus lebih dari 30 persen.
“Dulu, diawal tahun 1990-an, produksi listrik PLN memang masih kurang, sehingga klausul TOP dibuat untuk membujuk swasta memproduksi listrik. Namun saat ini PLN malah kelebihan suplai (surplus) lebih dari 30% dari kebutuhan nasional. Padahal PLN sudah investasi mahal untuk pengadaan pasokan listrik sendiri,” bebernya.
Untuk kontrak lama yang masih berjalan, Fraksi PKS memakluminya. Namun untuk kontrak baru atau perpanjangan, klausul yang sangat membebani dan merugikan PLN harus direnegosiasi oleh PLN. Untuk PLTP baru pun, semestinya PLN bisa membeli harga listrik lebih murah, karena pemerintah sudah memutuskan menanggung biaya eksplorasi sumber tenaga panas bumi.
Namun demikian, lanjut Amin, Fraksi PKS meminta pemerintah untuk menjaga etos dan semangat kerja PLN untuk terus membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) dalam rangka meningkatkan bauran energi nasional. Ini saatnya PLN untuk memanfaatkan tenaga matahari (solar) dan panas bumi yang sudah sangat ekonomis secara maksimal. Jangan malah merusak suasana dengan menjual aset PLTP milik BUMN yang sangat berharga itu.
Tolak IPO
Sementara itu, terkait rencana IPO, Fraksi PKS meminta Pemerintah mencari cara lain untuk mengatasi utang PLN. Jangan dengan menjual aset yang berharga yang dimilikinya.
Pemerintah berencana melakukan holdingisasi terhadap beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Rencananya, pembangkit milik PLN (PLTP Ulebelu & PLTP Lahendong), pembangkit milik Indonesia Power (PLTP Kamojang, PLTP Gunung Salak dan PLTP Darajat) serta pembangkit milik Geo Dipa Energi (PLTP Dieng & PLTP Patuha) akan diholdingisasi di bawah kendali PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Menurut Amin, IPO perusahaan atau anak perusahaan BUMN kelistrikan akan membuat fungsi PLN sebagai penyeimbang tarif listrik untuk masyarakat akan hilang karena diprivatisasi. Jika murni mengikuti prinsip bisnis, ia khawatir harga listrik bakal naik karena yang berjalan sepenuhnya mekanisme pasar.
Padahal, sesuai putusan Mahkamah Konstitutsi (MK), usai Judicial Review Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan dan juga Judicial Review Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan, ditetapkan tenaga listrik termasuk ke dalam cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan oleh sebab itu harus dikuasai oleh Negara.
Selain itu, program Subholding dan IPO akan menambah beban usaha pada bagian pembelian tenaga listrik. Mengapa demikian?
Berdasarkan laporan keuangan PT. PLN (Persero) tahun 2020, beban usaha terbesar PT. PLN (Persero) adalah pembelian energi primer sebesar 35% dan pembelian tenaga listrik swasta (IPP) sebesar 33%. Dan kedua hal tersebut di luar kontrol dari PT.PLN dan menjadi penyebab ketidakefisienan dan mahalnya tarif listrik.
“Artinya, jika IPO dilakukan, kontrol PLN akan semakin lemah sehingga beban PLN untuk pembelian listrik kepada pihak swasta akan semakin berat,” pungkasnya. (AM)