FS Minta DPR&Pemerintah Duduk Bersama Bahas Evaluasi Tiga UU

 FS Minta DPR&Pemerintah Duduk Bersama Bahas Evaluasi Tiga UU

JAKARTA, Lintasparlemen.com – Wakil Ketua Baleg DPR RI menyebutkan bahwa evaluasi dan pemantauan terhadap UU merupakan tugas baru yang diamanatkan dalam UU MD3 kepada Badan Legislasi yang dipimpinnya.

Menurut Firman, evaluasi dan pemantauan itu dipandang perlu karena selama ini ada sejumlah Undang-undang (UU) yang belum dijalankan oleh DPR selaku badan legislasi di Indonesia.

Sekjen Depinas Soksi ini menyebutkan bahwa peran Baleg itu diperkuat oleh apa yang disampaikan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesai (PP IKAHI).

PP IKAHI menyampaikan bahwa banyak UU di Indonesia setelah diundangkan tidak diimplementasikan di tengah masyatakat termasuk pemberian sanksi bagi pelanggar UU itu seperti yang diamantkan dalam konstitusi.

“Ada tiga UU yang perlu dievaluasi dan dipantau pelaksanannya. Yang pertama, UU Pangan karena hampir setiap tahun bangsa ini dihebohkan dengan persoalan import bahan pokok. Kemudian kita dihebohkan lagi dengan adanya masalah yang tidak terserapkan produksi pangan nasional kita,” kata Firman pada Lintasparlemen.com di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (29/04/2016) kemarin.

Aturan kedua yang menjadi perhatian Ketum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP) ini yakni soal UU Narkoba yang dipandang perlu dievaluasi. Alasan Firman, UU itu dianggap masih lemah oleh penegak hukum sendiri dalam menjerat pelaku.

“Bahkan Badan Narkotika Nasional (BNN) menilai sendiri bahwa saat ini di Indonesia statusnya sudah ‘darurat narkoba’ sehingga perlu aturan yang tepat guna yang kontemporer,” ujar Wakil Ketua Fraksi Golkar DPR ini.

“Bisa dibayangkan aparat penegak hukum saja sudah mengatakan bahwa UU yang ada masih lemah. Tapi sampai sekarang tidak pernah ada inisiatif dari pemerintah untuk merevisi aturan itu. Oleh karena itu kami di DPR menginisiatif mengundang aparatur hukum dan instansi terkait untuk menanyakan letak kelemahannya, apa yang harus diubah dan harus seperti apa. Setelah itu baru kemudian kita susun mengenai draf revisi UU yang mau diubah itu,” jelasnya.

Alumni UGM ini juga mengemukakan, UU ketiga yang perlu direvisi yakni mengenai masalah kebakaran hutan. Alasan kuat Firman karena UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirasa masih lemah menjerat terhadap pelaku pembakaran hutan.

“Sanksi yang diberikan sifatnya hanya sanksi administratisi. Apalagi isu kebakaran hutan sudah menjadi isu politik sampai ke tingkat internasional bahkan sekarang ini sudah masuk ranah yang tidak sehat lagi. Dan memperkeruh situasi perpolitikan dalam negeri,” ujarnya.

“Sedangkan UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan kawasan hutan. Di mana sanksi yang sangat mengikat dan sampai kepada penyitaan aset bagi inisiator kerusakan hutan akibat penambangan, pembakaran liar. Dalam UU ini tidak ada salah satu pasal yang mengatur tentang kerusakan hutan diakibatkan kebakaran,” sambungnya.

Karena itu, lanjutnya, Pemerintah dan DPR perlu duduk bersama untuk mengatur dan mengevaluasi regulasi yang betul-betul dibutuhkan rakyat saat ini. Dengan begitu, ke depannya bangsa ini mempunyai UU yang lebih berkualitas dan lebih berbobot dan konsisten di jalankan di masyarakat. (Mahabbahtaein)

 

 

 

 

Facebook Comments Box