Ini 4 Catatan Negatif Penuntasan Kasus BLBI Versi ICW

 Ini 4 Catatan Negatif Penuntasan Kasus BLBI Versi ICW

Jakarta, LintasParlemen.com–Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki empat catatan negatif tentang penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yang pertama, ICW menilai penanganan kasus tersebut berlarut-larut.

“Penyelesaian kasus ini tanpa alasan yang tidak masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata anggota badan pekerja ICW Emerson Yuntho di kantor ICW, Jakarta, Ahad (1/5/2016).

Dalam catatan ICW, ia membeberkan beberapa catatan yang terkait kasus BLBI yang hingga kini belum tertangani dengan baik.

Pertama, bahwa sedikitnya 65 orang debitor yang diperiksa oleh kejaksaan dalam perkara korupsi BLBI. Hanya 16 orang yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan.

Sementara lainnya, sebanyak 11 orang dihentikan penyelidikan dan penyidikannya karena mendapatkan surat keterangan lunas (SKL). Selebihnya 38 di antaranya masih dalam tahap penyelidikan (31 orang) dan penyidikan (tujuh orang) yang tidak jelas perkembangannya hingga saat ini.

Kedua, penanganan perkara korupsi ditengarai ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya. Dalam penyelesaian perkara korupsi BLBI kenyataannya tidak semua pemegang saham atau pemilik bank yang diproses secara hukum, meskipun diduga melakukan penyimpangan.

Beberapa pejabat Bank Indonesia (BI) yang dinilai bertanggungjawab dalam penyaluran BLBI yang akhirnya merugikan negara juga dihentikan di tingkat penyidikan.

Ketiga, penanganan perkara korupsi mengandung unsur korupsi. Dalam beberapa proses hukum BLBI, Emerson menyebut ditemukan adanya indikasi judicial corruption mulai dari penyelidikan, penyidikan, putusan, hingga eksekusi.

“Perkara suap yang melibatkan Jaksa BLBI Urip Tri Gunawan dengan orang uang diduga dekat dengan debitor BLBI menjadi contoh yang nyata adanya korupsi dalam penanganan korupsi,” kata Emerson.

Keempat, hambatan penanganan perkara korupsi karena campur tangan dari eksekutif. Intervensi ini bisa ditunjukkan dengan kebijakan Presiden Megawati yang mengeluarkan Inpres 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge.

Emerson menyebut meskipun kontroversial, kebijakan Megawati tersebut nyatanya tidak dibatalkan dan bahkan diperkuat oleh Presiden selanjutnya yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dengan cara berbeda, SBY memberikan kebijakan memberikan kesempatan bagi para debitor BLBI untuk menyelesaikan kewajibannya hingga akhir 2007 serta menunda proses pidananya, termasuk rencana mengadili secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa).

Lebih buruk lagi, kata Emerson, pemerintah sejauh ini menggunakan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk menjawab persoalan kemelut BLBI.

[Republika]

Facebook Comments Box