Mungkinkah Demokrasi akan Mati di Era Jokowi?

 Mungkinkah Demokrasi akan Mati di Era Jokowi?

Diskursus tentang demokrasi adalah perbincangan yang sudah terbilang tua. Manusia sudah terlampau lama membincang demokrasi, perbincangan tentang demokrasi hampir seumur dengan praktik penerapan demokrasi itu sendiri.

Saat ini demokrasi menjadi sistem mayoritas di berbagai belahan dunia. Sebagai sebuah sistem demokrasi tentu memiliki kekurangan, dengan kekurangan yang dimilikinya mungkinkah suatu hari demokrasi akan menemui ajalnya. Demokrasi mati lalu menjadi kenangan masa lalu, layaknya kenangan tentang sistem kerajaan yang dulu pernah berjaya namun kini menjadi fosil sejarah.

Dalam sudut pandang teori perubahan, dunia dilihat sebagai wadah yang tidak statis, melainkan dinamis, terus berubah dari waktu ke waktu, bahkan di era digital perubahan itu bisa terjadi dalam sepersekian detik. Hal ini juga berlaku bagi demokrasi, sistem ini bisa saja tenggelam dalam arus perubahan yang semakin masif.

Secara umum ada dua cara untuk membunuh demokrasi, dan kedua cara ini sedang dan telah dipraktikkan. Pertama lewat pengambilalihan kekuasaan secara paksa dengan melakukan kudeta terhadap pemimpin yang terpilih lewat proses demokrasi yang sehat.

Cara ini sangat vulgar dan kasar, contoh terkini bisa kita lihat dalam kasus Presiden Mesir, Mursi sebagai presiden terpilih secara demokratis digulingkan oleh militer lewat kudeta. Lewat cara pertama ini, segera setelah mengambil paksa kekuasaan, pelaku kudeta serta merta membungkam praktik demokrasi, misalnya melarang protes penguasa, menangkap tokoh kritis dengan tuduhan yang dibuat-buat, mengontrol media secara ketat berdasarkan kepentingannya.

Tidak berhenti disitu, mereka kemudian membuat berbagai aturan baru yang sepenuhnya mengabdi pada pelaku kudeta.

Cara kedua ditempuh lewat pendekatan yang lebih halus, bukannya menggunakan kekuatan bersenjata cara ini justru memilih memperalat demokrasi untuk kepentingannya sendiri, langkah ini biasanya diawali dengan munculnya figur populis di tengah masyarakat. Kemudian figur tersebut berhasil meraih kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi.

Awalnya figur ini bertindak menjaga demokrasi, bermodal dukungan kuat dari konstituennya. Ia terdorong untuk terus berkuasa, mulailah perangkat demokrasi dihajar satu per satu lewat regulasi.

Para lawan politik ditekan, dibuatkan kasus seolah itu adalah murni persoalan hukum, pada puncaknya si figur mencetuskan regulasi yang memungkinkan dia terus berkuasa lewat pemilu yang rutin digelar, batas masa jabatan sebagai pemimpin dihapus, ia membunuh inti demokrasi secara perlahan sambil terus menghidupkan demokrasi prosedural.

Dalam kenyataannya cara kedua ini paling sering dipraktikkan dalam konteks kekinian karena dinilai sebagai langkah yang paling aman sekaligus senyap, masyarakat tidak akan mudah menyadarinya.

Kasus kematian demokrasi juga bisa saja terjadi di Indonesia, bahkan cara kedua sebenarnya sudah pernah terjadi di Indonesia. Orde baru dan orde lama menjadi saksi berlangsungnya cara kedua ini, terlepas dari jasa besar Soekarno bagi negara, presiden pertama ini sebenarnya secara tidak langsung menerapkan cara kedua dalam kepemimpinannya, khususnya saat Soekarno berada dalam fase terkuat dalam sejarah kekuasaannya.

Soekarno secara teledor menangkapi lawan politiknya dengan tuduhan yang kebenarannya masih diperdebatkan, kelompok-kelompok yang mengkritiknya dengan semberono dicap sebagai anti revolusi.

Adapun di masa orde baru, pembunuhan demokrasi secara perlahan yang dilakukan Soeharto lebih masif lagi, Soeharto dengan kontrol kekuasaan yang dimilikinya berhasil membunuh inti demokrasi selama tiga dasawarsa.

Yang unik dalam konteks Indonesia, walaupun demokrasi pernah dibunuh secara perlahan tapi demokrasi mampu hidup kembali, reformasi 1998 menandai hidupnya kembali demokrasi, demokrasi memang ajaib.

Di mana demokrasi memiliki lebih dari satu nyawa agar bisa hidup kembali, lalu bagaimana dengan demokrasi di era Jokowi. Apakah cara kedua juga perlahan mulai dipraktikkan? Mari bersama menganalisa keadaan dari fakta yang ada?

Zaenal Abidin Riam
Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute

Facebook Comments Box