Hari Pahlawan Bo’ongan?
10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pahlawan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan dari imperialisme dan kolonialisme. Kemerdekaan dari penjajahan. Kemerdekaan dalam memiliki negara sendiri dan kedaulatan bangsa sendiri.
76 tahun silam, pecah perang massal di Surabaya. Tapi sebenarnya, tidak hanya di Surabaya. Di Sumatera dan daerah-daerah di mana perang mempertahankan proklamasi kemerdekaan, juga berlangsung. Hanya yang lejen, di Surabaya. Karena bukan lagi watak perangnya, perang gerilya, tapi sudah seperti perang total, perang hidup mati.
Akibatnya memang dahsyat. Yang pasti, perang 10 November itu, menunjukkan betapa kuatnya tekad rakyat di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.
76 tahun kemudian. Kisah perang rakyat semesta itu, hanya tinggal perayaan. Untuk melayani seremonial dan puja-puji. Daku daki. Padahal perang itu, pesannya supaya tidak ada lagi selamanya penjajahan di Indonesia. Sampai ke anak cucu. Dalam bentuk dan modus apa pun. Oleh aktor dan orang mana pun.
Nyatanya, seperti yang sudah diketahui bersama. Tetap saja penjajahan dan berbagai modusnya, lestari sampai saat ini.
Bangsa asing memang sudah tidak berkantor di istana Presiden. Bangsa asing juga tidak lagi mengatur kekuasaan di istana Bogor. Sudah berganti dengan muka-muka pribumi maupun muka-muka orang Asia.
Tetapi hakikat penjajahan, yaitu pengerukan kekayaan alam untuk ditransfer keuntungannya di Eropa dan di negara-negara surga pajak supaya memperkaya segelintir sindikat bandit, tetap saja tak pernah enyah. Pemerasan keringat massa miskin di Indonesia untuk memproduksi order dan pesanan pasar global, tetap saja berlangsung. Memaksa penduduk Indonesia sebagai objek pasar-terpaksa, tetap saja langgeng yang diatur sedemikian rupa oleh para komplotan bandit, yang suplusnya dipanen oleh segelintir pihak.
Perbudakan sebagai wujud bengis penjajahan itu, memang sudah tidak kasat mata. Tapi bagi rakyat kecil dan lemah, untuk bisa bertahan hidup, kadangkala lebih dari perbudakan pun dilakoni oleh mereka. Penghinaan martabat manusia hingga banting tulang demi anak istri, seolah merupakan takdir bagi si miskin dan lemah.
Kita punya negara yang punya bendera sendiri, lagu kebangsaan resmi sendiri, punya kantor embassy sendiri di hampir seluruh dunia, dan juga mempunyai keanggotaan PBB, tetapi negara ini, masih nyaman sebagai perpanjangan tangan penjajah asing untuk mengatur bagaimana penjajahan dan eksploitasi itu berlangsung teratur, aman, dan bila perlu tertutup dari endusan rakyat. Malahan modus penjajahan itu kini diadopsi oleh elit-elit politik dan pengusaha. Saya tidak menyatakan kasus PCR dan BLBI merupakan penjajahan yang diadopsi oleh elit-elit.
Jadi, hari pahlawan macam apa yang dirayakan, kalau untuk mereguk hidup yang layak sebagai manusia yang beradab dam berharga, sampai hari ini masih bagaikan mimpi untuk diraih? Hari pahlawan macam apa jika massa rakyat Indonesia masih ramai terkonsentrasi di rumah-rumah kontrakan yang kumuh berjejer laiknya kamp-kamp konsentrasi swasta?
~Bang SED