Kikir: Penyebab Miskinnya Umat Islam di Indonesia
Umat Islam di Indonesia telah mengalami dua fase dakwah distributif yang cukup berhasil.
Fase pertama, distribusi Iman atau penyebaran iman. Fase ini telah melewati waktu yang panjang. Mulai sejak pra Indonesia, masa-masa kerajaan, hingga sekarang, abad 21. Nyatanya, sudah berhasil, bahkan menjangkau gang-gang sempit perkotaan hingga dusun-dusun terpencil di pelosok wilayah.
Tandanya yaitu berdirinya langgar-langgar, musholla-musholla dan adanya penganut-penganut Islam di lokasi semacam itu. Itulah sebabnya, hampir di mana tempat, kita menemui penganut Islam.
Fase berikutnya, distribusi ilmu dan pengetahuan atau fase penyebaran ilmu. Khususnya, pengetahuan agama. Fase ini sebenarnya, berjalan seiring dengan fase penyebaran iman. Namun ketika zaman penjajahan Belanda, fase penyebaran ini agak tersendat dibandingkan zaman setelah kemerdekaan Indonesia. Khususnya lagi, penyebaran ilmu yang berkaitan dengan kaifiyat hidup di dunia aktual. Seperti ilmu alam, dan teknologi.
Begitu pesatnya fase distribusi ilmu atau penyebaran ilmu ini, akibatnya pada tahun 1980-an hingga 1990-an, umat Islam telah berhasil mengejar ketertinggalannya dari umat non Muslim dan abangan dalam hal pencapaian kemampuan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Itulah sebabnya, masa itu disebut bom sarjana Muslim di Indonesia oleh Majalah Tempo. Birokrasi yang memprasyaratkan kecakapan pendidikan dan ilmu pengetahuan, dibanjiri oleh sarjana-sarjana muslim, hingga lenyaplah dikotomi islam vs abangan di dunia birokrasi.
Walhasil, jika masa sebelum itu, terutama di masa Orde Lama, umat Islam mengeluh betapa minimnya sumber daya sarjana yang memiliki komitmen iman dan Islam dibandingkan dengan sarjana abangan dan non Muslim, maka pada tahun 1980-an hingga hari ini, keluhan itu hilang. Malahan di berbagai pusat Ilmu Pengetahuan, seperti Universitas Negeri, Laboratorium-laboratoriun ilmiah, hingga LIPI, ramai dengan perempuan-perempuan berjilbab. Puncaknya, waktu itu lahirlah ICMI pada 1990 sebagai suatu organisasi politik kumpulan sarjana Muslim.
Nah, fase yang belum maujud hingga hari ini ialah fase distribusi kesejahteraan atau fase penyebaran kekayaan atau mal.
Saya melihat, masalah tersendat dan bubrahnya fase menuju distribusi kekayaan adalah dari internal umat Islam sendiri. Yaitu sifat pelit dan kikir dari umat Islam yang telah mencapai kekayaan itu.
Cermati saja kenyataan yang ada. Kalau soal penyebaran iman, umat Islam dari tingkat komunitas, lembaga hingga individu sangat bergairah menyokong dan mendorong penyebaran iman. Mereka suka menyumbang dakwah untuk program muallaf di pelosok dan perkotaan. Demikian juga dalam soal penyebaran akses pendidikan atau penyebaran ilmu pengetahuan. Mereka mendirikan ramai-ramai lembaga pendidikan.
Tetapi, begitu tiba dalam soal penyebaran akses harta dan keuangan, mulai tampak kikirnya. Dia akan menutup diri untuk memberi jalan bagi saudara-saudara Muslimnya kepada akses kekayaan seperti yang dinikmatinya. Tidak lagi seantusias dalam soal penyebaran kesempatan iman dan ilmu pengetahuan.
Dia hanya akan berinfak dan berderma sekedar menutup sorotan dari orang lain. Tidak seperti ketika dia berinfak memberi ilmu pengetahuan atau mendorong penyebaran iman.
Inilah masalahnya, sehingga hari ini, umat Islam hanya sedikit jumlahnya yang sejahtera secara permanen bila dibandingkan dengan jumlah populasinya sebanyak 236.000.000 lebih atau setara 88,86% dari 272 juta lebih populasi penduduk Indonesia.
Maka ketika dia mati, warisan akses harta, jaringan dan pengaruhnya mati bersama dirinya dan tidak tersebarkan begitu rupa kepada banyak orang. Saudara-saudara Muslimnya, mulai merangkak dari nol lagi untuk mencapai keberhasilan kekayaan dan akses yang telah dinikmatinya.
Berlainan dengan praktik non Muslim soal harta dan akses. Mereka secara dini mengajarkan, memperkenalkan dan mendidik para pewarisnya agar akses dan kekayaan tetap terjaga eksistensi dan kelestariannya. Itulah sebabnya, non Muslim relatif stabil kemakmurannya sejak zaman Belanda hingga Indonesia abad 21.
Kita banyak mengenal orang-orang Muslim berpengaruh dan kaya sewaktu hidup. Mempunyai jabatan tinggi, akses lebar dan luas kepada sumber-sumber finansial. Tetapi tertutupnya minta ampun dalam soal yang paling penting itu. Begitu mati, mati pulalah akses dan pengaruhnya. Kenapa? Karena kikir untuk menyebarkan dan menginfakkan akses dan pengaruh kepada saudara-saudara Muslimnya.
Walhasil, selain faktor struktural, masalah terhambatnya akses kekayaan yang mengakibatkan meluas dan bertahannya kemiskinan di kalangan umat Islam, yaitu kikir dan pelitnya orang-orang kaya dan berpengaruh di kalangan umat Islam. Ajaran berbagi tidak begitu antusias dilaksanakan. Mungkin karena kuatnya sikap hidup individualisme dan kapitalisme.
Perhatikan Angka-angka Ini
– Per Juni 2021 Jumlah Penduduk Indonesia 272 juta lebih
– Umat Islam 236 Juta Lebih
– 31.385 Pondok Pesantren
– 4,29 juta santri
– 6.000 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
– 165 Perguruan Tinggi milik Muhammadiyah
– 274 Perguruan Tinggi dalam Naungan NU
– STAIN (6 buah), IAIN (29), UIN (23)
– 835 Perguruan Tinggi dalam data DIKTIS Kemenag
– 27,54 juta jumlah penduduk miskin
– Rp472.525/kapita/bulan (Ukuran Miskin atau Garis Kemiskinan) (Komentar: tidak ada yang bisa hidup dengan angka itu saat ini.)
– 9,1 juta jiwa Pengangguran Terbuka (Agustus 2020)
– 361,6 juta jumlah rekening per Mei 2021
– 188.977 rek dengan isi Rp2 milyar ke atas.
Oleh karena itu, fase tiga ini, yaitu dakwah distribusi akses kekayaan atau penyebaran kekayaan harus digalakkan sebagaimana fase satu dan dua sudah berhasil sedemikian rupa. Fase tiga ini harus ditekankan dan dipropogandakan massif sampai orang-orang kaya dan berpengaruh malu dengan dirinya yang kikir dan pelit.
Tapi hal itu tidak bisa mawjud juga jika orang-orang miskin tidak bersatu massif menuntut hak-hak asasinya untuk hidup sejahtera. Maka orang-orang miskin harus berdiri dan bangkit mengorganisir diri. Tanpa tekanan yang keras, orang-orang kikir tidak akan bergeming.
Sebab, selama jumlah umat Islam masih padat dengan orang-orang miskin, maka ketidakadilan, manipulasi, kriminalitas instabilitas dan demokrasi yang berkualitas, jangan harap pernah akan hadir menyebar. Yang banyak akan tetap menjadi objek eksploitasi dan yang minoritas kaya akan tetap menjadi tiran yang korup.
~ Bang SED