Arsul Sani Minta Perjelas Remisi Narapidana Tiga Jenis Kejahatan Luar Biasa
JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mempertanyakan terkait aturan memberian remisi bagi tahanan luar biasa di sejumlah penjara di Indonesia. Arsul Sani ingin Peraturan Presiden (PP) Nomot 99 Tahun 2012 diperjelas.
Di mana dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 terkait Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa, yaitu narkoba, korupsi, serta pelaku terorisme.
Hal itu disampaikan Arsul saat menyampaikan pendalaman saat rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Gedung DPR RI, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (2/2/2022).
Pada rapat tersebut membahas terkait evaluasi kinerja dan capaian Kementerian Hukum dan HAM dengan pagu anggaran 2021 16.610.890.575.000 serta membahas rencana kerja Kementerian Hukum dan HAM 2022 dan bagaimana mencapainya dengan pagu 17.463.529.394.000.
“Pak Menteri kita sudah tahu bahwa pada bulan Oktober tahun 2021 Mahkamah Agung telah mengabulkan judicial review atas PP Nomor 99 Tahun 2012 yang ini diuji dengan norma yang ada di dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1915,” kata Arsul.
“Nah, saya ingin menanyakan, tindak lanjut apa yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Karena kalau kita mengacu pada Permenkum HAM Nomor 3 tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi Asimilasi, Cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelan bebas. Itu konsiderannya masih mengacu pada PP nomor 99 tahun 2012,” sambung Arsul.
Sebagai informasi, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi beberapa Pasal mengatur remisi dan pembebasan bersyarat untuk pelaku koruptor dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Bagi Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan semua terpidana Kasus Korupsi berhak meraih remisi. Keputusan itu tindak lanjut dari uji materi dilayangkan Subowo serta empat orang lainnya.
Pertimbangan lainnya, hakim berpendapat fungsi pemidanaan tak lagi memenjarakan pelaku agar jera, tapi juga sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki). Narapidana, bagi hakim, bukan lagi objek tapi juga subjek yang sama dengan manusia normal lainnya, sewaktu-waktu bisa berbuat atau bersikap khilaf.
Sesuai filosofi pemasyarakatan itu, maka rumusan norma yang termaktub dalam peraturan pelaksana UU Nomor 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sejalan dengan filosofi pemasyarakatan yaitu memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice.
“Padahal, saya berharap, jika permenkum HAM sudah merevisi banyak hal yang ada dalam PP tersebut. Maka perlu diperjelas lagi agar syarat mendapatkan remisi ini bisa terukur dan bisa lebih objektif lagi,” jelas Arsul yang juga Wakil Ketua Umum DPP PPP ini.
Arsul menegaskan, Kemenkumham perlu memperjelas terkait poin berbuat jasa bagi negara sehingga tak salah tafsir. Termasuk juga, kata Arsul, berbuat bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan.
“Seperti terkait syarat berbuat jasa pada negara, apa ukurannya? Melakukan perbuatan bermanfaat bagi negara dan kemanusiaan, apa ukurannya?,” tanya Arsul. (HMS)