Paradoks Nusantara yang Kaya Hasil Bumi dengan Realitas Stunting
Untung saja, WHO mengarusutamakan isu stunting. Jika tidak, realitas ini akan tertutup dan tidak digubris oleh pemerintah Indonesia dan akhirnya menjadi semacam isu menguap dan sayup-sayup. Karena dunia menargetkan melalui WHO, lewat Global Nutrition Targets 2025, Stunting Policy Breaf, pada 2014, tanpa bisa dielakkan, pemerintah Indonesia mau tak mau ikut dengan kebijakan WHO tersebut. Lagi pula tidak saja WHO yang menggaungkan isu stunting ini, UNICEF, dan berbagai lembaga dunia yang berpengaruh lainnya, tak ketinggalan. Walhasil, mulai dari setingkat kantor Wakil Presiden Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri hingga seluruh Pemda di Indonesia terlibat secara struktural dan kebijakan untuk menanggulangi masalah yang sebenarnya agak memalukan dan paradoks bagi tipe negara dengan hasil bumi dan pangan yang melimpah seperti Indonesia.
Stunting ini menurut kacamata akademis yaitu lebih sebagai masalah tingkat pertumbuhan fisik seorang anak yang tidak wajar, baik berat badan maupun tinggi badan dengan perbandingan usia, akibat kekurangan asupan gizi dan penyakit infeksi pasa sistem perncernaan. Biasanya hal ini disebabkan oleh pengasuhan masa pertumbuhan balita yang tidak memadai.
Sebenarnya, pengasuhan dan asupan gizi yang tidak mencukupi selama masa pertumbuhan ini, pada umumnya akibat kemiskinan yang melanda keluarga. Sehingga ditarik dan dipersempit faktornya pada masalah pengasuhan, tidak cukup menjelaskan argumen masalah stunting ini. Masalah sebenarnya ialah kemiskinan menyebabkan akses keluarga untuk makanan bergizi menjadi berkurang.
Kemiskinan juga menyebabkan seorang ibu yang harusnya dapat memberikan masa asuh dan pengasuhan pada balita secara penuh, menjadi berkurang akibat seorang ibu terpaksa menyita waktu pengasuhan balita untuk mencari nafkah guna membantu penghasilan keluarga. Terlebih-lebih rundungan masalah kemiskinan yang menimbulkan masalah baru, yaitu stunting ini, terjadi pada suatu masyarakat yang secara intensif menyandarkan pertukaran seluruh kegiatan profit dan kebutuhan hidup sehari-harinya dengan mengandalkan fungsi uang. Apa-apa saja urusan seseorang, terkondisikan sedemikian rupa oleh peranan monopolis uang. Dan untuk kasus Indonesia yang sebenarnya melimpah sumber bahan pangan dari alam, akibatnya akses terhadap sumber pangan tersebut menjadi sulit, karena sudah tersistem sedemikian rupa oleh uang. Dan hal ini, benar-benar nyata secara mengenaskan di perkotaan.
Selain kemiskinan disebabkan oleh sistem uang yang begitu membungkam dan memasung tersebut sehingga membuat orang nyaris tidak berdaya, sebab lainnya ialah lahan-lahan pertanian semakin susah untuk diakses dan dimanfaatkan secara mudah dan cuma-cuma oleh masyarakat kecil. Lahan-lahan yang tersedia telah dimiliki oleh segelintir orang dengan tingkat penguasaan yang sangat luas, baik melalui skema alih fungsi lahan maupun hak guna yang difasilitasi oleh negara. Walhasil, rakyat pada umumnya terjebak dalam sistem yang bilamana tidak kuat bersaing dan tidak punya daya saing dan kekuatan politik, membawa mereka pada takdir kemiskinan. Begitu mereka terjatuh dalam jurang kemiskinan itu, masalah-masalah lainnya pun tak bisa dielakkan, termasuk harus mengalami stunting pada keturunan mereka.
Jebakan kemiskinan ini pada akhirnya menjerat nasib mereka dan keturunannya dalam lingkaran setan kemiskinan seperti yang diuraikan oleh Sritua Arief.
Solusi
Stunting menurut hemat saya hanyalah masalah ikutan dari masalah besar kemiskinan. Di Indonesia, harusnya secara alami, setiap orang tidak akan kekurangan akses terhadap pangan. Tapi kenyataannya berbeda. Persoalan ini berkecenderungan dan bersifat struktural dan sistemik.
Alam nusantara yang kaya bahan pangan dan hasil bumi, sesungguhnya tidak mengizinkan setiap orang Indonesia untuk mengalami kekurangan makan dan gizi. Apalagi jika sampai mengalami musibah stunting (tubuh kerdil akibat kurang makan dan kurang gizi). Tapi politik dan kebijakan, belum secara drastis dan radikal paralel dengan alam Indonesia yang memfasilitasi kemakmuran inklusif pada setiap penduduk.
Adanya segelintir orang yang menguasai akses finansial dan kepemilikan lahan yang luas, mengindikasikan terjadinya ketidakmerataan akses terhadap pangan dan lahan yang akibatnya ialah kemiskinan pada banyak penduduk.
Di Jakarta, adalah contoh yang menyedihkan tentang realitas stunting ini. Hampir setiap wilayah, terdapat kasus stunting. Dan yang paling tinggi ialah Jakarta Timur. Dan wajar, setiap kantong kemiskinan, anak-anak dengan stunting musti terdapat di siti.
Harusnya bilamana ada kasus stunting, pemerintah setempat buru-buru mengoreksi kebijakannya yang tidak pro rakyat miskin dan berhenti memanjakan kebutuhan lapisan masyarakat elit dan kaya. Citra pro rakyat miskin hanya gimmick dan pesona palsu belaka. Tapi ini tidak monopoli pemerintah DKI. Di banyak daerah, perilaku pemimpinnya juga sama. Hal ini akibat, pengaruh rakyat kecil dalam menentukan kebijakan dan pribadi seorang kepala daerah, kalah jauh dari elit-elit yang melingkar tiap waktu di sekeliling pengambil kebijakan dan keputusan.
Untunglah WHO mencanangkan penanggulangan stunting, jika tidak rakyat akan bergumul sendiri dengan masalah stunting itu.
~ Bang SED