Iqbal dan Identitas Tertindas: Catatan untuk Prabowo!

 Iqbal dan Identitas Tertindas: Catatan untuk Prabowo!

Ada beberapa konsep kunci penataan dan pembangunan sosial politik yang berlangsung selama ini di Indonesia yang sebenarnya berimplikasi menindas identitas dan sejarah hidup orang per orang. Di antaranya yang paling menonjol ialah konsep harmoni, toleransi, kerukunan antar umat beragama, bhinneka tunggal Ika, stabilitas keamanan nasional, dan NKRI.

Namun sebenarnya, yang bertanggung jawab terhadap penindasan identitas orang per orang tersebut, bukanlah konsep itu sendiri, tapi penafsiran atas konsep-konsep tersebut yang bias kepentingan pihak yang berkuasa dan dominan. Misalnya, untuk menjaga kestabilan sosial politik, suatu peristiwa atau tindakan yang berbeda dari alur dan cipta kondisi dari penguasa, maka hal semacam itu akan ditindas dan dikubur dari perhatian publik.

Cerita identitas Iqbal, seorang yang mencuat namanya dalam gerakan mahasiswa 2024 yang berhasil membungkam nafsu politik dinastik dan hegemonik dari pihak-pihak yang berkuasa, merupakan bukti terjadinya penindasan identitas individu yang dialami banyak orang di Indonesia.

Penindasan identitas ini sangat menyakitkan apalagi jika harus terpaksa dilakukan oleh diri sendiri yang bersangkutan guna menghindari kesulitan-kesulitan dan halangan-halangan yang dihadapi dalam aktivitas dan interaksi kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan politik sehari-hari.

Iqbal telah bercerita kepada publik Indonesia bahwa dia dengan sengaja menutup rapat identitas dirinya yang terkait dengan nama seorang laki-laki. Laki-laki bernama Drs. Moerdiono itu adalah ayahnya. Kenapa dia harus menutup rapat identitasnya ini?

Bagi yang memahami kisah kakunya Orde Baru dan kisah pribadi Moerdiono yang memiliki hubungan dengan ibunya, penyanyi dangdut terkenal di masa itu, tentu akan memaklumi mengapa Iqbal harus menutup identitas tersebut. Kisah itu di hadapan tembok sosial yang terbangun hingga hari ini, tidak dapat menerima suatu kisah yang bisa menggegerkan dan menantang wibawa dan citra suci dan megah tak bercela dari rezim Orde Baru, bentukan Soeharto. Pendeknya, karena itulah hubungan Moerdiono dan ibunda Iqbal, yaitu Machicha Mochtar, ditutup rapat sedemikian rupa dan hanya menjadi santapan gosip ketika itu.

Tetapi siapa yang korban jadinya dari tembok sosial yang dibangun dan disponsori oleh kekuasaan semacam itu? Iqbal. Itulah sebabnya Iqbal dapat kita pahami bahwa dia merasa dunia yang dihadapinya tidak adil baginya. Karena itu dia berjuang untuk menghadapinya dengan caranya sendiri guna memberangus ketidakadilan sosial tersebut dan berupaya agar semua orang tidak mengalami ketidakadilan sosial seperti dirinya.

Kesadaran Iqbal yang progresif ini tidak semua orang dapat menemukan dan mencapainya. Kebanyakan orang menyerah dan membiarkan dirinya jadi korban dari ketidakadilan sosial dan memilih untuk melupakan atau malah menikmatinya. Tapi tidak bagi Iqbal. Dia melihat, ketidakadilan sosial ini begitu banyak dan luas terjadi secara nyata di hadapannya. Bukan hanya dalam bentuk penindasan identitas, tapi juga penindasan akses kepada sumber daya ekonomi dan hukum.

Iqbal mendapati dalam pengamatan pribadinya sebagaimana yang diucapkannya pada podcast bersama Akbar Faesal, ketimpangan kehidupan ekonomi dan akses terhadap hukum, menonjol sebagai bentuk ketidakadilan yang disuguhkan negara. Dia pun menerjunkan dirinya sebagai pembela manusia-manusia korban ketidakadilan dengan mempersenjatai dirinya sebagai sarjana hukum. Dia ingin, setidaknya negara dapat membagi sumberdaya ekonomi itu pada setiap warganya secara adil, tanpa diskriminasi dan mementingkan secara ekslusif kelompok yang berkuasa.

Kesadaran yang megah yang diraih oleh Iqbal ini hanya bisa terjadi karena hasil dari bacaan yang luas dan diskusi yang beragam. Dan ternyata sebagaimana yang dituturkan ibunya, kamar Iqbal penuh dengan buku. Dan dia seorang kutu buku. Dari pemaparan Iqbal menjawab interview baik dari Aiman di INews maupun oleh Akbar Faisal di podcast-nya, dapat ditebak Iqbal pasti membaca banyak buku sastra, teori sosial, politik dan tentu saja hukum sebagaimana latar akademis dia.

Tidak kita sangka dalam dunia yang serba permukaan (artifisial) dan pura-pura sekarang ini, muncul ke ruang publik sekaligus menyita perhatian publik, sosok anak muda yang sarat pengetahuan dan wawasan kemanusiaan seperti Iqbal. Kemunculannya serasa mendowngrade tipe-tipe ikon anak muda yang kesannya hanya mengejar uang, popularitas dan sikap hidup yang hedon dan tanpa empati kemanusiaan yang didasari suatu kendaraan yang mendalam.

Menurutku, sosok-sosok anak muda dengan karakter seperti Iqbal ini, penting direkrut dan ditempatkan oleh calon Presiden Prabowo yang patriotik membangun negeri ini di arena-arena pengambil keputusan yang berimplikasi strategis dan politis, guna mencegah negara ini berkembang menjadi negara tanpa jiwa dan tanpa arah seperti yang mulai terlihat dewasa ini.

Anak muda tidak melulu memahaminya sebagai angka statistik dan juga kategori usia, tapi jauh lebih subtansial dari itu: soal jiwa dan kesadaran yang progresif dan merdeka.

Bhre Wira, Penulis Buku Indo Amnesia

Facebook Comments Box