Waktunya dari Nasionalisme Hegemonik Menuju Nasionalisme Dehegemonik
Sudah lama saya menyadari bahwa di tengah arus nasionalisme yang tadinya berfungsi menyingkirkan penjajah Belanda, ada sebagian pihak yang memanfaatkan arus nasionalisme itu untuk menggantikan posisi Belanda sebagai penjajah baru terhadap daerah dan entitas-entitas adat dan bangsa-bangsa yang menyusun struktur negara Indonesia modern.
Tidak hanya itu, mereka para penghianat ini dapat dengan cerdik mengambil dan menguasai pos-pos yang mengatur hukum dan tatanan politik dan ekonomi, untuk memberi arti dan tendensi baru terhadap nasionalisme, yang di antaranya, meminggirkan kepentingan lokal dan mendiktekan serta menghegemonikan kepentingan sendiri, mulai dari dalih kesatuan sejarah masa lalu di atas nama Majapahit dan Sriwijaya, maupun dalih untuk pembangunan yang diatur sepihak dari Jakarta atau istana.
Hal ini telah lama merugikan daerah-daerah, terutama kerugian memori dan kekayaan budaya daerah-daerah yang sebetulnya sudah terbentuk lama sedemikian rupa, dan bukan sebuah daerah kosong tanpa tatanan.
Hegemoni dari Jakarta ini bukannya mengendur setelah munculnya pemberontakan PRRI-Permesta pada 1950-an, malahan makin merajalela selama Orde Baru. Begitu juga setelah Reformasi 1998, tidak juga relaksasi dari ketatnya hegemoni, malahan kembali lagi saat ini, halmana tampak dengan nyata munculnya kebijakan-kebijakan hegemonik, mulai dari bagaimana setiap calon kepala daerah harus datang sowan ke Jakarta untuk mendapatkan semacam surat dikte dan pembuktian loyalitas dari setiap pimpinan partai yang mengusung diri mereka. Menurut saya hal ini, merupakan bentuk hegemoni terhadap daerah dan sekaligus memamerkan kuasa sentralistik oleh partai-partai.
Sampai yang paling anyar dari bentuk hegemoni ini, bagaimana daerah-daerah diveto kepentingannya oleh Jakarta, misalnya kasus modus PSN alias Proyek Strategis Nasional, mulai dari PIK 2, Serpong, hingga Merauke.
Apakah pihak-pihak yang paling berkepentingan dengan habitat daerah yang tersasar oleh PSN yang hakikatnya seperti PIK 2 dan Serpong ditunggangi oleh swasta tersebut, sudah dipertimbangkan aspirasi dan sudut pandang pihak terkorban dari habitat mereka sendiri. Dalam kasus ini, Jakarta atau istana sama sekali tidak peduli. Dia mendikte kepentingannya sendiri. Pertanyaannya, darimana sebenarnya paradigma hegemonik ini berasal dan melandaskan dalihnya?
Saya melihat, paradigma hegemonik ini berasal dan berkait dengan cara pandang dan cara paham terhadap nasionalisme. Tapi nasionalisme model ini adalah nasionalisme yang sesat dan manipulatif, yang saya sebut sebagai nasionalisme hegemonik.
Nasionalisme macam ini, tidaklah dikehendaki kehadirannya oleh setiap daerah yang menggabungkan diri sebagai komponen yang membangun struktur negara Indonesia secara sukarela di masa lalu. Nasionalisme hegemonik ini hanya dimaui oleh segelintir pihak manipulator dan eksploitator entitas negara, yang dengan ganas memakai setiap tangan negara untuk kepentingannya sendiri dan tafsirnya sendiri.
Jalan Keluar
Jalan keluar dari comberan sejarah ini, hendaknya diarusutamakan suatu cara pandang baru terhadap nasionalisme lama yang sudah purna fungsinya menyingkirkan Belanda kepada fungsi baru yaitu memfsilitasi dan mendorong daerah untuk menemukan kembali identitas kultural dan tatanan mereka yang lama agar tidak makin punah dan kehilangan pijakan untuk mengembangkan kekhasan lokalitas mereka.
Jakarta atau istana tidak boleh bersikap dan berperan membangun integrasi nasional dengan cara main borong tanpa suatu argumen yang benar. Misalnya, Perang Batak oleh Sisingamangaraja XII diklaim dan diborong sebagai perang nasionalisme Indonesia. Itu tidak benar. Itu terlalu dipaksakan. Biarkan kenyataan perang itu bagian dari perang orang Batak melawan penjajah mereka di masa lalu.
Demikian juga, sumpah palapa Gajah Mada ditafsirkan sebagai realitas kesatuan wilayah Indonesia di masa kuno, itu pun tidak benar. Ide dan narasi kesatuan yang dipetik dari peristiwa sumpah Gajah Mada tersebut, justru melambangkan hegemoni dan aneksasi terhadap daerah, yang tentu saja tidak diterima dan ditolak oleh daerah-daerah. Itu bukan suatu kebanggaan, justru tidak menyenangkan, karena ada pihak yang menghegemoni.
Lain kali, kisah sumpah palapa ini, tidak diajarkan lagi dalam sejarah Indonesia di sekolah-sekolah, karena merugikan daerah-daerah yang disebut layaknya sebagai taklukan Majapahit.
Kalau Kerajaan Pane misalnya ditaklukkan Majapahit, buktinya Pane di Sumatera Utara, asing dengan Jawa dan bahasa Jawa Kuno sebagai bahasanya Majapahit itu. Bukti-bukti penaklukannya pun tidak jelas.
Intinya begini, nasionalisme kulakan atau nasionalisme hegemonik yang dianut dan diterapkan Jakarta selama ini, harus secepatnya distop dan diganti dengan nasionalisme dehegemonik yang memfasilitasi daerah untuk mengembangkan sejarah dan tatanannya sendiri. Ini sangat penting, karena supaya identitas diri dan kesadaran masyarakat di daerah dapat ranum dan berkembang dengan baik. Pengebirian sejarah lokal dengan dalih narasi dan ide nasionalisme hegemonik dari susunan Jakarta, stop dan buang saja ke laut.
Kami di daerah, merasa seolah tidak berpijak ke tanah asal-usul kami dan bahkan generasi kami merasa terasing, teralienasi dengan ibu budaya kami sendiri akibat hegemoniknya nasionalisme buatan Jakarta selama ini.
Kami di daerah, tidak mau melihat terjadi tragedi kebrutalan PIK 2 yang mengkavling laut dan tanah orang-orang Tangerang dengan dalih PSN, dan PSN dengan dalih legitimasi kepentingan nasional. Apa sebenarnya kepentingan nasional itu? Hanya berdasarkan jawaban subjektif oleh Jakarta, tanpa mempertimbangkan sama sekali sudut pandang pihak-pihak di daerah yang terdampak. Inilah nasionalisme seenak-enaknya. Nasionalisme hegemonik.