Kemajuan Militer Iran: Apa Yang Dapat Dipelajari Indonesia?

 Kemajuan Militer Iran: Apa Yang Dapat Dipelajari Indonesia?

Militer Indonesia pernah diembargo oleh Amerika Serikat dan Barat ketika isu HAM dan demokrasi dijadikan dalih untuk menekan rezim Soeharto sehingga membawa militer Indonesia mundur ke barak, berhenti dari dwifungsi (sosial politik dan militer), Soeharto sendiri lengser, dan Timor Timur pun keluar dari Indonesia. Untung saja daerah-daerah lain tidak mengikuti langkah Timor Timur dan masih setia menopang NKRI dengan sumbu utamanya, Jawa.

Iran diembargo lebih parah lagi. Jangankan suku cadangnya diembargo, sistem keuangannya pun tidak bisa leluasa bergerak untuk masuk ke negara-negara Barat untuk mendukung aktivitas perdagangan negara tersebut. Indonesia belum separah itu. Namun Iran tidak tunduk pada Barat. Tidak mau mengundang IMF, Bank Dunia dan konsultan-konsultan Barat untuk memodifikasi sistem politik mereka untuk memenuhi selera dan kehendak Barat. Wilayatul Fakih tetap tak boleh diamandemen.

Sebaliknya Indonesia, dengan senang hati mengundang konsultan-konsultan Barat untuk mengubah isi dan ideologi UUD 1945 dengan memasukkan klausul-klausul baru seperti eksistensi partai-partai, pemilihan presiden secara langsung, pemotongan kekuasaan MPR, dan sebagainya sehingga sesuai dengan design selera Barat, meratifikasi undang-undangnya secara besar-besaran dan “kejar tayang” (prolegnas) agar sesuai dengan apa yang dikehendaki Barat dan akhirnya Indonesia terjebak seperti sekarang ini: kekuasaan negara berada di tangan ketua-ketua partai dan Presiden, selebihnya hanya penggembira, suatu pembagian kekuasaan (sharing of power) yang membawa kepada korupsi besar-besaran, bargaining posisi, jilat menjilat dan tidak menghiraukan suara rakyat karena suara rakyat pun sebenarnya diperoleh dengan uang, kolusi, korupsi dan sogokan. Buat apa juga menaruh komitmen kepada rakyat pemilih, wong rakyat pemilih juga menjual suaranya bulat-bulat.

Saat Indonesa masih mengandalkan doktrin dan sistem pertahanannya berbasis wilayah (teritorial), melibatkan pertahanan rakyat (Sishanrata), tidak terlalu mengedepankan kemajuan teknologi militer tapi lebih menyiapkan keterampilan perang gerilya (raid), anti teror, dan elemen-elemen lainnya yang berbasis kemampuan personel militer, Iran sebaliknya menggeber dan mempercepat kemajuan teknologi militernya berbasis roket, daya ledak, satelit, drone, dan pesawat tanpa awak. Itu yang baru tersaksikan saat Iran menunjukkan kemampuannya pada dua medan laga saat ini: Timur Tengah dan Ukraina. Seperti yang terjadi baru-baru ini, 1 Oktober 2024, ternyata Iran sudah mampu mengoperasikan rudal hipersonik yang menjangkau jarak begitu jauh dari Iran dengan kecepatan di atas kecepatan suara dengan daya ledak yang tidak main-main. Tentu teknologi seperti ini sangat kompleks dan membutuhkan infrastruktur militer yang maju, seperti radar, elektronik, computerized, bahkan satelit.

Iran menyadari keunggulan komparatifnya dan memahami bagaimana keluar dari embargo Barat tanpa harus menyerah. Selama 45 tahun negara yang punya sejarah besar (Persia) dan mempengaruhi Eropa dan Asia ini, tidak perlu mengemis kepada Barat, dan hanya perlu berjuang mencapai kemandirian militernya tanpa harus mengisolasi diri seperti halnya Korea Utara.

Perang yang dimainkan Iran dalam teater Timur Tengah saat ini, baik sekali dipelajari oleh Indonesia.

Pertama, kemungkinan perang di masa depan tidak lagi perlu mubazzir dengan menggotong peralatan tempur yang mahal seperti kapal induk, dengan kerentanan yang tinggi sebagai sasaran rudal hipersonik. Hal inilah yang membuat kapal-kapal induk Amerika Serikat dan Inggris tidak berani mendekat ke basis Hauti di Yaman.

Kedua, perang di masa depan, tidak menguntungkan lagi mengerahkan banyak-banyakan infanteri, apalagi terkumpul secara bergerombol, karena dengan lunak dapat menjadi mangsa rudal. Pelatihan seorang infantri, apalagi berkualifikasi pasukan khusus, tentu mahal.

Ketiga, Iran telah berhasil membangun kekompakan front perlawanan nir negara, seperti Hauthi di Yaman, Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, dan kelompok perlawanan di Irak. Semua itu, berkat identifikasi yang cermat dari Iran untuk membangun koalisi yang bersih dari pola dan ideologi Barat. Pola dan ideologi Barat selama ini hanyalah front anti komunis dalam membendung China dan Uni Soviet, persemakmuran, pakta pertahanan, dan model-model pembasisan kultural Barat yang liberal dan individualistik. Sekarang tampaknya pola Barat ini menghadapi tantangan yang kuat. Dan uniknya, Indonesia seperti biasanya, ambigu di antara keduanya.

Indonesia hanya selamat barang kali, dengan dirasa tidak perlunya negara imperialis di sekelilingnya menginvasi Indonesia secara langsung, hanya dengan cukup memanfaatkan elit-elit ekonomi dan politiknya sebagai kuda troya dan alat untuk mengeruk kekayaan alam dan pasar Indonesia untuk memperkaya negara-negara imperialis tersebut. Isu ekspor pasir laut saat ini, sebenarnya memperlihatkan kepada kita bagaimana wajah sebenarnya hubungan simbiosis antara para elit Indonesia sebagai komprador asing untuk memperkaya dan memperkuat asing, dan pada saat yang sama, mengeruk dan mengeksploitasi bangsanya sendiri.

 

Facebook Comments Box