KARAKTER ZUHUD: Bangun Kesederhanaan Duniawi dan Keterpautan Hati pada Akhirat
Oleh: Munawir K, Dosen UIN Alauddin Makassar
Zuhud (الزهد) dalam etimologi bahasa Arab terambil dari akar kata زهد yang secara literal bermakna “meninggalkan sesuatu yang tidak berharga” atau “menolak kesenangan duniawi.”
Kata ini juga dapat berarti “merasa cukup dengan sesuatu yang sedikit” atau “tidak terlalu mementingkan urusan dunia.”
Secara linguistik, zuhud mengindikasikan sikap tidak terpaut pada hal-hal duniawi dan merasa cukup dengan apa yang ada, tanpa mengejar hal-hal yang berlebihan atau melampaui kebutuhan dasar.
Etimologi Zuhud:
Secara etimologis, kata زهد berasal dari tiga huruf dasar: ز، هـ، د yang mengandung arti “meninggalkan” atau “merasa sedikit penting.” Dalam Al-Qur’an, kata زهد dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang dipandang rendah atau dianggap kurang bernilai. Misalnya, dalam kisah Nabi Yusuf ketika para saudara menjualnya, Allah berfirman:
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ “Dan mereka menjualnya dengan harga yang murah, beberapa dirham saja, karena mereka tidak tertarik kepadanya (zāhidīn).”
(QS. Yusuf: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa para saudara Nabi Yusuf tidak menganggap Yusuf sebagai sesuatu yang berharga, sehingga mereka menjualnya dengan harga rendah.
Epistemologi Zuhud:
Secara epistemologi, zuhud adalah konsep yang lahir dari kesadaran akan kefanaan dunia dan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, melainkan sikap hati yang tidak terpaku pada dunia, meskipun seseorang bisa memiliki harta atau kedudukan. Dalam pengertian syariat, zuhud berarti memilih kehidupan akhirat dan mengutamakan ridha Allah di atas kesenangan duniawi.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang hakikat zuhud, dan beliau menjawab: “Zuhud di dunia bukan berarti tidak memiliki harta, tapi hati tidak bergantung pada harta yang ada di tangan.”
Dalam epistemologi Islam, zuhud dibangun di atas fondasi bahwa dunia hanyalah sarana untuk mencapai akhirat. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa zuhud adalah sikap untuk menjauhkan diri dari kecintaan yang berlebihan pada dunia, karena dunia hanya sementara, sementara akhirat abadi.
Zuhud dalam kehidupan sehari-hari adalah upaya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan fokus utama pada mencari ridha Allah dan tidak terikat secara emosional pada harta atau kenikmatan dunia yang bersifat fana.
Zuhud adalah sifat hati yang tidak terpaut kepada dunia dan segala kenikmatannya, serta lebih mengutamakan akhirat. Zuhud bukan berarti menghindari dunia secara total, melainkan tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama.
Zuhud adalah sikap untuk melihat dunia sebagai sarana menuju akhirat, bukan sebagai tujuan yang hakiki. Allah SWT berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ…”
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan antara kamu, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak-anak…”
(QS. Al-Hadid: 20)
Dunia pada hakikatnya hanyalah tempat persinggahan sementara. Orang yang zuhud memiliki kesadaran mendalam bahwa apa yang dimiliki di dunia tidak akan dibawa ke akhirat, sehingga ia memanfaatkan dunia untuk bekal kehidupan yang kekal.
Dalil Hadits: “ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ.”
“Jadilah zuhud terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan jadilah zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.”
(HR. Ibnu Majah)
2. Ciri-Ciri Orang yang Zuhud
a. Tidak Terpesona dengan Harta Dunia
Orang yang zuhud memandang harta sebagai amanah, bukan tujuan hidup. Mereka tidak terpesona oleh kemewahan dunia, karena menyadari bahwa segala yang ada di dunia hanyalah sementara dan tidak dapat dibawa ke akhirat.
Dalil Al-Qur’an: “قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى…”
“Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa…'”
(QS. An-Nisa: 77)
b. Mengutamakan Kehidupan Akhirat
Seorang zuhud selalu mengutamakan akhirat dalam segala tindakan, karena dunia hanyalah sarana untuk mengumpulkan bekal bagi kehidupan akhirat yang kekal.
Dalil Al-Qur’an: “وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا…”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”
(QS. Al-Qasas: 77)
c. Qana’ah (Merasa Cukup dengan Apa yang Dimiliki)
Salah satu ciri utama orang zuhud adalah sifat qana’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Mereka tidak mengejar kemewahan dunia atau iri dengan apa yang dimiliki orang lain.
Dalil Hadits: “لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.”
“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah hati yang merasa cukup.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
d. Tidak Berlebihan dalam Kesenangan Dunia
Zuhud mengajarkan keseimbangan dalam kehidupan duniawi. Orang zuhud menjalani hidup dengan sederhana dan tidak berlebihan dalam kesenangan atau kenikmatan dunia.
Qaul Sahabat: Umar bin Khattab berkata, “زُهْدُكُمْ فِي الدُّنْيَا، يُقَرِّبُكُمْ إِلَى اللَّهِ وَيُدْنِي رِزْقَكُمْ.”
“Zuhudmu terhadap dunia akan mendekatkanmu kepada Allah dan memperdekat rezekimu.”
3. Urgensi Zuhud
a. Mendekatkan Diri kepada Allah
Zuhud adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan tidak tergantung pada dunia, seseorang dapat lebih fokus dalam ibadah dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah.
Dalil Al-Qur’an: “مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا…”
“Barangsiapa menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan berikan kepada mereka balasan amal mereka di dunia… mereka tidak akan mendapat apa pun di akhirat kecuali neraka.”
(QS. Hud: 15-16)
b. Menghindarkan dari Fitnah Dunia
Dunia sering kali menjadi sumber fitnah dan godaan. Zuhud melindungi hati dari godaan dunia, sehingga seseorang tidak terperangkap dalam kesenangan dunia yang melalaikan.
Dalil Hadits: “إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ…”
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai pengelola di dalamnya, maka lihatlah bagaimana kalian bertindak…”
(HR. Muslim)
c. Memperbanyak Amal Ibadah
Orang yang zuhud akan memperbanyak amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zuhud memberikan ruang dalam hati untuk merasakan ketenangan dalam ibadah, karena dunia tidak lagi menjadi penghalang.
Dalil Al-Qur’an: “وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا.”
“Dan amal-amal yang kekal lagi shaleh lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
(QS. Al-Kahfi: 46)
d. Meningkatkan Kepedulian Sosial
Zuhud mendorong seseorang untuk lebih peduli terhadap orang lain. Orang yang zuhud tidak tergoda oleh harta, sehingga lebih dermawan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Qaul Sahabat: Ali bin Abi Thalib berkata, “الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ كَزَوْجَتَيْنِ، إِذَا أَرْضَيْتَ إِحْدَاهُمَا أَسْخَطْتَ الْأُخْرَى.”
“Dunia dan akhirat itu seperti dua istri, jika kamu menyenangkan yang satu, maka kamu akan membuat yang lainnya marah.”
Kisah inspiratif tentang keutamaan zuhud yang menggugah keimanan:
1. Kisah Kehidupan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab, salah satu sahabat Nabi ﷺ yang sangat dikenal dengan zuhudnya, memimpin dengan keteguhan hati meskipun memiliki kesempatan untuk hidup dalam kemewahan. Sebagai Khalifah, Umar menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Diriwayatkan bahwa beliau tidur hanya di atas tikar kasar, dengan jubah yang penuh tambalan.
Suatu ketika, seorang utusan dari Persia datang menemuinya. Utusan tersebut terkejut melihat Khalifah yang terkenal di seluruh dunia Islam itu tidur di bawah pohon, tanpa pengawalan mewah dan pakaian indah. Ketika ditanya mengapa Umar memilih hidup sesederhana itu, beliau menjawab, “Jika aku menjalani hidup mewah, bagaimana mungkin aku bisa merasakan penderitaan rakyatku?”
Kehidupan sederhana Umar tidak mengurangi kewibawaannya, bahkan menjadikannya lebih dihormati karena keikhlasan dan kepeduliannya terhadap umat. Zuhudnya Umar bukanlah penolakan terhadap harta, tetapi ia menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
2. Kisah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai sosok yang sangat zuhud. Meskipun beliau memiliki kedudukan tinggi sebagai menantu Rasulullah ﷺ dan Khalifah, beliau lebih memilih hidup dengan sangat sederhana. Ali sering melakukan pekerjaan sendiri, bahkan berkebun dan menimba air untuk memenuhi kebutuhannya.
Suatu ketika, Ali sedang menambal sandalnya yang sudah sangat tua. Seorang sahabat bertanya, “Ya Amirul Mukminin, apakah sandal ini masih layak dipakai?” Ali menjawab, “Sandal ini mungkin sudah tua, tapi masih bisa membawaku ke surga, lebih baik daripada aku tergoda oleh dunia yang sementara ini.”
Kisah ini menggambarkan bahwa Ali melihat dunia hanya sebagai alat untuk kebaikan akhirat, bukan tujuan hidup yang harus dikejar.
3. Kisah Uwais al-Qarni
Uwais al-Qarni adalah seorang tabi’in yang zuhud luar biasa. Meski namanya tidak begitu dikenal di kalangan sahabat, Rasulullah ﷺ sendiri pernah memuji zuhudnya dan menyebutkan bahwa doanya selalu diijabah Allah. Uwais hidup dalam kemiskinan, namun ia memilih untuk hidup sederhana dan mengabdikan hidupnya untuk ibunya.
Uwais tidak pernah mengejar dunia meski kesempatan untuk menjadi kaya ada di depannya. Suatu ketika, Khalifah Umar dan Ali pergi mencarinya untuk meminta doa, karena Rasulullah ﷺ pernah berpesan bahwa doa Uwais sangat mustajab. Uwais berkata, “Aku lebih memilih menjadi orang biasa di dunia ini, tapi dikenali Allah di akhirat.”
Sifat zuhud Uwais adalah contoh nyata dari ketulusan hati dalam menjauhkan diri dari dunia dan memfokuskan hidup untuk akhirat.
4. Kisah Hasan al-Bashri
Hasan al-Bashri adalah seorang ulama besar yang hidup dalam kesederhanaan dan zuhud. Suatu ketika, seorang muridnya bertanya, “Wahai Guru, bagaimana bisa engkau hidup zuhud padahal dunia ada di depanmu?” Hasan al-Bashri menjawab, “Aku melihat dunia ini seperti mimpi yang sebentar, yang mana manusia tertipu oleh keindahannya, padahal ia hanya sementara dan fana.”
Hasan selalu mengingatkan murid-muridnya untuk tidak terlena dengan dunia. Beliau berkata, “Barangsiapa yang hidup untuk dunia, dia akan menjadi budak dunia. Tapi barangsiapa yang hidup untuk akhirat, dunia akan menghampirinya sebagai pelayan.”
5. *Kisah Imam Abu Hanifah*
Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang juga dikenal dengan zuhudnya. Meskipun beliau sukses dalam bisnis tekstil, beliau selalu menjaga jarak dari dunia. Suatu ketika, saat sedang mengajar, seorang pembantunya datang dan mengatakan bahwa kapal yang membawa barang dagangannya tenggelam.
Imam Abu Hanifah tidak terguncang dan hanya berkata, “Alhamdulillah.” Kemudian beberapa waktu berlalu, si pembantu datang lagi dan berkata, “Tuan, maaf, ada kesalahan informasi, kapal anda ternyata tidak tenggelam.” Imam Abu Hanifah tetap tenang dan berkata, “Alhamdulillah.”
Ketika ditanya oleh muridnya tentang reaksinya yang tenang, beliau menjawab, “Hatiku tidak tergantung pada harta, jika datang aku bersyukur, jika hilang aku tetap bersyukur. Dunia hanyalah titipan Allah.”
6. Kisah Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang wanita sufi yang dikenal dengan kecintaannya kepada Allah dan kehidupannya yang zuhud. Suatu hari, seseorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak mau menikah?” Rabi’ah menjawab, “Hatiku penuh cinta kepada Allah, tidak ada ruang untuk cinta dunia atau siapa pun.”
Rabi’ah selalu menjaga hati agar hanya terpaut kepada Allah. Diceritakan bahwa suatu malam, Rabi’ah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, jauhkanlah surga dariku. Tapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka janganlah Engkau palingkan wajah-Mu dariku.”
Kehidupan zuhudnya menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk lebih mengutamakan cinta kepada Allah di atas segalanya.
Walhasil dari Kisah-kisah di atas menunjukkan betapa luar biasanya implementasi zuhud dalam kehidupan para sahabat, tabi’in, dan ulama. Mereka mengajarkan kita bahwa dunia hanyalah sarana untuk meraih kebahagiaan akhirat. Dengan zuhud, mereka hidup dengan tenang, damai, dan tidak terperangkap oleh gemerlap dunia yang fana. Karakter zuhud melahirkan ketenangan hati, memperkuat keimanan, dan menjauhkan manusia dari keserakahan serta fitnah dunia.
Kesimpulan
Zuhud adalah kunci untuk mengarahkan hidup kepada akhirat tanpa terperangkap dalam kesenangan duniawi. Dengan menjaga zuhud, seseorang akan memperoleh ketenangan batin, memperkuat ibadah, dan meningkatkan kepedulian sosial.