Buruh Terus Berjuang dan Berkontribusi

 Buruh Terus Berjuang dan Berkontribusi

Oleh: M. Yusro Kazhim, Ketua Umum Serikat Buruh Nasional Indonesia

Saya baru saja membaca sebuah artikel yang mengkritik susunan kabinet yang akan dibentuk oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Artikel tersebut menyiratkan bahwa buruh hanya dianggap penting ketika mendukung calon dalam pemilu, namun tidak diberi tempat dalam posisi strategis pasca-kemenangan.

Kritik ini sah-sah saja, tapi mari kita perjelas satu hal: apakah masuk kabinet adalah satu-satunya bentuk kontribusi buruh dalam pembangunan bangsa? Tentu tidak!

Buruh, sebagai salah satu tulang punggung ekonomi Indonesia, tidak memerlukan kursi kabinet untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan besar dalam pembangunan negara.

Ketika ekonomi Indonesia bergulir dan pembangunan terus berjalan, siapa yang bekerja siang malam, menggerakkan pabrik-pabrik, merakit mesin-mesin, membangun gedung-gedung, dan memenuhi kebutuhan pasar? Siapa yang memastikan roda produksi berputar tanpa henti? Buruh.

*Kontribusi Nyata Tanpa Jabatan Elit*
Menyoroti pernyataan dalam artikel tersebut, yang menyiratkan bahwa buruh merasa diabaikan hanya karena tidak masuk kabinet, adalah sebuah penyesatan yang berbahaya.

Ini mencoba menempatkan buruh dalam kotak yang sempit, seolah-olah kontribusi buruh hanya berharga jika mereka diberi jabatan elit. Padahal, buruh terus berkontribusi tanpa henti, tanpa harus mengenakan jas dan dasi di ruang kabinet.

Sebagai contoh, saat pandemi COVID-19 melanda, siapa yang tetap bekerja di lini depan pabrik-pabrik, memproduksi masker, alat kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari?

Bukan menteri, bukan pejabat tinggi, tapi buruh yang rela mengorbankan kesehatannya demi memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi. Fakta ini tidak bisa diabaikan.

Mengutip pernyataan dari _International Labour Organization_ (ILO), “Buruh memainkan peran vital dalam pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di seluruh dunia, khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan industri.” Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tidak memiliki jabatan politik, posisi buruh dalam ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.

*Buruh Bukan Hanya Alat Politik*
Kita harus memperjelas satu hal lagi: buruh tidak bisa terus-menerus dijadikan alat politik dalam siklus pemilu. Dukungan buruh terhadap calon presiden bukanlah sekadar pemberian blank check untuk posisi kabinet, melainkan komitmen terhadap kebijakan pro-buruh yang nyata.

Jika calon yang diusung memenangkan pemilu tapi kemudian mengesampingkan kepentingan buruh, tentu kritik harus dilayangkan. Namun, itu bukan berarti buruh bergantung pada kursi kabinet.

Yang diperlukan oleh buruh bukan sekadar representasi dalam kabinet, melainkan kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan mereka. Upah layak, perlindungan hak-hak buruh, dan kebijakan yang mendukung industri padat karya adalah hal-hal yang lebih penting ketimbang sekadar jabatan menteri.

Mengapa? Karena kesejahteraan buruh tak terletak pada siapa yang duduk di kursi pemerintahan, tapi pada kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah tersebut.

*Jangan Lupakan Sejarah Perjuangan Buruh*
Perjuangan buruh di Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum adanya jabatan menteri buruh atau serikat buruh yang terstruktur. Dari zaman penjajahan hingga reformasi, buruh terus berjuang untuk hak-haknya.

Sukarno sendiri dalam berbagai pidatonya selalu menekankan bahwa “kemerdekaan sejati Indonesia hanya bisa tercapai jika buruh dan tani berada di depan.” Itu adalah bukti bahwa buruh memiliki peran strategis dalam membangun bangsa ini, bukan karena mereka duduk di kabinet, tapi karena kerja keras mereka di lapangan.

Sebagai pemimpin serikat buruh, saya tidak menilai kesuksesan buruh dari seberapa banyak jabatan yang mereka pegang dalam pemerintahan, tetapi dari seberapa besar dampak kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan buruh.

*Terus Berjuang, Terus Berkontribusi*
Pada akhirnya, mari kita luruskan perspektif: buruh tetaplah buruh—motor penggerak ekonomi, pejuang kesejahteraan, dan pilar pembangunan. Apakah buruh butuh kabinet untuk terus berkontribusi? Tidak.

Buruh hanya membutuhkan satu hal: kebijakan yang adil dan berpihak. Kami akan terus melawan kebijakan yang merugikan, terlepas dari siapa yang ada di pemerintahan. Buruh tetap berkontribusi, tanpa atau dengan jabatan kabinet. (*)

Facebook Comments Box