Menghapus Kemiskinan di Era Presiden Prabowo Sekarang

 Menghapus Kemiskinan di Era Presiden Prabowo Sekarang

Kemiskinan pada zaman kapitalisme-intensif sekarang ini, merupakan konsekwensi dan bagian struktural yang inheren dari tatanan masyarakat kapitalis itu sendiri. Kemiskinan diperlukan oleh kapitalisme untuk mendirikan kekuasaan dan tatanannya.

Jadi ibarat dalam rantai makanan, singa memerlukan kawanan rusa liar yang lemah sebagai mangsa dan sumber protein untuk kelangsungan hidupnya dalam hirarki bangsa binatang.

Demikian pun masyarakat kapitalis yang sudah menjadi faktual dalam masyarakat Indonesia, golongan puncak masyarakat ini (masyarakat kapitalis) memerlukan populasi kaum miskin untuk kelangsungan kekuasaan mereka dalam ekonomi dan politik sebagai tenaga murah sekaligus sumber mudah dan murah dalam mobilisasi dan eksploitasi politik di tengah pertarungan antar sesama kapitalis, terutama sebagai sumber suara murah yang dapat dikonversi dengan uang, sembako dan ampas-ampas kue ekonomi yang mereka nikmati dari sistem sosial ekonomi yang saling berinteraksi sedemikian rupa.

Bagaimana hal itu terjadi, karena falsafah kapitalisme yang dianut Indonesia secara praktik saat ini–walaupun secara normatif tidak diakui karena bertentangan dengan spirit keadilan sosial sebagai salah satu sila dan Lima Sila (Pancasila)–mengasumsikan bahwa jalan terbaik untuk meraih kemajuan, pertumbuhan, dan pendapatan tinggi bagi negara baik dari pajak maupun non pajak, yaitu membiarkan dan membekingi sistem persaingan bebas dan mekanisme pasar dalam aktivitas ekonomi.

Bahwa pihak yang kuat akan menjadi pemangsa atas yang lemah, secara normatif memang tidak diterima, tetapi dalam praktik hal itu justru dianggap oleh banyak elit pejabat membawa keuntungan bagi negara yang getol mengumpulkan pemasukan. Contohnya, praktik penerapan PSN bagi swasta seperti Sinar Mas dan kelompok konglomerat yang menguasai BSD dan PIK yang kini menikmati legitimasi dan perlindungan negara untuk ekspansi kekuasaan modalnya, walaupun rakyat yang tergusur menjerit dan kehilangan masa depan.

Praktik semacam ini juga berlangsung pada bisnis pertambangan, perkebunan, pertanian yang mengokupasi tanah-tanah rakyat yang berdiam di lokasi konsesi jauh sebelum ada Belanda, apalagi Indonesia.

Maka mengentaskan kemiskinan harus berangkat dari pandangan semacam ini agar pendekatan pengentasan kemiskinan tidak salah sasaran, salah kaprah dan mubazzir serta sia-sia. Pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan lembaga zakat selama ini yang tidak tampak hasil nyatanya, karena bukan berangkat dari pandangan seperti ini, lebih melihat kemiskan sebagai masalah yang tidak terkait dengan sistem dan tatanan struktural masyarakat kapitalis.

Sekarang seperti yang kita tahu, Pemerintahan Prabowo telah membuat satu badan yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko, yaitu Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan. Hal itu berarti betapa pentingnya bagi pemikiran Prabowo bagaimana pemerintahannya berperan secara serius mengentaskan kemiskinan atau dalam bahasa propoganda, isu pengentasan kemiskinan menempati salah satu top of mind bagi Prabowo, selain isu pertahanan dan geopolitik.

Mengentaskan atau menghapus kemiskinan itu tentu tidak mudah, butuh waktu, seperti sesulit menghapus sistem feodalisme dan penjajahan di dalam masyarakat. Lihatlah feodalisme, habis feodalisme ningrat, ganti lagi feodalisme religius ditambah pula feodalisme gelar akademik.

Masalah ini berlangsung terus, karena sudah berurat akar. Kemiskinan bukan saja sebuah fenomena fisik, seperti kekurangan dalam kepemilikan atas faktor-faktor produksi, tetapi juga mencakup kemiskinan pengetahuan, keterampilan, mindset, sikap, perilaku, budaya dan nilai-nilai.

Seorang miskin yang turun temurun didera kehidupan yang miskin, akan berdaptasi dengan kehidupannya itu dan merasa bahwa kemiskinan itu bukan suatu persoalan lagi baginya dan memeluk kemiskinan itu sebagai habit dan suasana yang nyaman bagi dirinya. Kondisi penduduk semacam ini, tidak bisa dientaskan dengan hanya membombardir mereka dengan bantuan langsung (BLT, Kartu Akses Bantuan Sosial dan sebagainya), karena hanya membuat mereka mempertahankan kehidupan miskin mereka agar supaya jatah BLT dan kartu tersebut agar terus dapat mereka nikmati.

Kita harus mengingat fenomena kemiskinan seperti analogi nasib pesawat tempur MiG-15 kuno. Seperti apa performa MiG-15 kuno tersebut, silakan googling sendiri. Kira-kira begini.

Seorang miskin, diibaratkan seperti pesawat tempur MiG-15 kuno yang hampir kehabisan bahan bakar di wilayah udara musuh yang dirinya tengah melaksanakan misi pertempuran, tetapi berada di era abad 21 sekarang. MiG-15 buatan tahun 1960-an era Soviet ini menghadapi misi berbahaya akan bertempur dengan F-35, pesawat tempur generasi 5 buatan USA, dan dari bawah akan menghadapi sistem pertahanan udara S-400, sedangkan saat yang sama MiG-15 ini sudah hampir kehabisan bahan bakar. Bayangkanlah hal itu, betapa peliknya.

Seperti itu pulalah nasib orang miskin. Di udara dia menjalankan misi yang harus bersaing dan bertempur dengan F-35 yang serba canggih, dari bawah dia akan dihajar oleh S-400 yang dapat malacak dan menghancurkan dirinya di udara dari jarak yang sangat jauh pun, pada saat yang sama, jika bahan bakarnya tidak diisi di udara oleh pesawat tanker, maka tanpa ditembak pun dia akan jatuh sendiri. Itulah nasib simalakamanya orang miskin, laksana MiG-15 yang malang.

Jadi untuk mengatasi simalakamanya si MiG 15, sebelum dia dihantam oleh rudal orang, dia mesti diisi bahan bakar dulu dengan cara apapun untuk menyelamatkan diri. Kemudian setelah itu tarik dia kembali ke pangkalan yang aman. Setelah itu, ganti MiG-15 dengan varian pesawat tempur baru yang seimbang dan kompatibel dengan generasi kelima selevel F-35, seperti Sukhoi Su-35 generasi keempat plus plus atau Sukhoi Su-57 yang sudah generasi kelima dan memiliki teknologi siluman. Baru kembali dikerahkan untuk misi pertempuran.

Orang miskin juga begitu. Isi kantong dia cepat-cepat dengan uang yang cukup menyelamatkan dirinya dari kehancuran. Kemudian ganti mindsetnya, pengetahuan, dan keterampilannya untuk kembali menghadapi kehidupan yang sudah berada pada fase generasi kelima yang serba canggih, ganas, buas dan cerdik. Kalau tidak, hancurlah dia di tengah kehidupan.

Karena masalah kemiskinan berurusan juga dengan perangkat lunak, seperti mindset, pengatuhuan, keterampilan hidup dan perilaku, maka Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan, Kementerian Sosial, hingga Kementerian Industri, Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian lainnya, bahkan BAZNAS dapat secara integral dan sinergis mengentaskan kemiskinan tersebut.

Prabowo telah menunjukkan political will-nya yang kuat dalam merespons persoalan kemiskinan ini. Termasuklah dengan program makan siang gratis bagi para pelajar itu. Tinggal bagaimana hal ini dapat diwujudkan dengan mulus dan menuai partisipasi aktif dari segenap para pihak.

Salah satunya, Kementerian Agama yang juga memiliki otoritas dalam bidang pendidikan setingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi, hingga pesantren dapat mengurusutamakan pengentasan kemiskinan ini, melalui penyesuaian kurikulum, isi pendidikan, hingga metode pengajarannya yang berorientasi pengentasan kemiskinan. Kenapa harus kementerian agama? Karena bukan rahasia umum lagi, basis kemiskinan ini terdapat pada umat Islam dan budaya keislaman di Indonesia agak ramah terhadap belitan kemiskinan dan feodalisme.

Oleh: Bhre Wira

Facebook Comments Box