Peningkatan IQ, Lapisan Otak, dan Cita-cita Para Pahlawan
Penelitian Richard Lynn dan David Becker, skor IQ orang Indonesia tahun 1999-2015 adalah 78,49. Hal ini tertuang dalam “The Intelligence of Nations”, (Lynn dan Becker, 2019).
Sementara itu, pada Januari 2024 The International IQ Test merilis bahwa IQ orang Indonesia terendah di Asia Tenggara dengan rata-rata 92,64. Peringkat tertinggi di Asia Tenggara adalah Singapura dengan skor IQ 106,18 (Kompas.com, Oktober 2024).
IQ, intelligence quotient, merupakan salah satu indikator mengukur kemampuan kognitif individu dalam menyelesaikan masalah, berpikir logis, dan memproses informasi atau aspek pengolahan bahasa otak. Adapun faktor yang mempengaruhi kondisi IQ adalah gizi, kesehatan, pendidikan dan intelektual, serta faktor genetik (Kompas.com, Oktober 2024).
IQ merupakan langkah-langkah kerja lapisan otak neocortexs. Ada tiga lapisan otak yang kita kenal, yaitu reptilian, mamalian, dan neocortexs. Otak neocortexs berciri: logis, komunikatif, sains, matematik, kreatif, dan inovatif. Pengembangan otak neocortexs merupakan ciri dari negara-negara maju, negara-negara produsen, demokratis (rakyatnya tidak dalam suasana tertekan), negara kaya (bisa memberi subsidi yang besar pada sektor pendidikan dan kesehatan).
Adapun negara-negara dengan IQ masyarakatnya rendah merupakan ciri dari negara-negara yang masyarakatnya menerapkan pola kerja lapisan otak reptilian. Ciri dari pola kerja otak reptilian, yaitu ciri kerja otak reptil yang penuh ketakutan dan kewaspadaan, menekankan pada insting pemenuhan kebutuhan perut dan bawah perut, selalu ingin menyerang/ memangsa atau lari bersembunyi.
Pola kerja otak reptilian ini bercorak dominan pada penduduk dari negara, miskin/ berkembang sehingga pendidikan dan kesehatan yang layak sukar didapat, kondisi perang, penuh rasa ketakutan, persaingan memperoleh kebutuhan perut dan bawah perut, di bawah bayang-bayang penguasa yang otoriter, ilmu pengetahuannya mengalami kejumudan/ stagnan, masyarakatnya cenderung konsumtif, dan terjerat oleh utang.
Masyarakat dari negara yang pengembangan otaknya berpola reptilian, tidak akan inovatif dan kreatif. Hal ini karena inovasi dan kreasi tidak akan muncul dari otak orang yang ketakutan dan kelaparan. Dengan begitu IQ dari masyarakat berciri reptilian akan selalu di bawah standar atau IQ rendah.
Adapun masyarakat dari negara yang berciri IQ menengah/ IQ cukup, adalah masyarakat yang menerapkan cara kerja lapisan otak mamalian (otak mamalia). Otak mamalian ini berciri pendidikan dan budayanya yang mengedepankan aspek emosi, keindahan, dan hapalan. Ini masyarakat yang biasa-biasa saja. Peringkat IQ-nya pun biasa-biasa saja.
Jadi, suatu negara yang ingin IQ rakyatnya naik ke peringkat tinggi, haruslah bergerak dari cari kerja otak reptilian, mamalian, lalu pindah ke cara kerja otak neocortexs. Kondisikanlah negaranya ke ciri masyarakat neocortexs, yaitu negara yang maju, produktif/ produsen (bukan negara konsumen), menjadi negara kaya yang mampu membiayai pangan, pendidikan, dan kesehatan secara baik, demokratis (tidak otoriter), gandrung kepada kemajuan IPTEK, serta religius-berkeadaban.
Negara maju yang masyarakatnya ber-IQ tinggi merupakan masyarakat yang berbahasa dan berbudaya komunikatif, masyarakat yang merdeka dari rasa takut, membudayakan cara berpikir logis dan intlek, dan gemar pada IPTEK.
Ciri masyarakat tersebut pun akan lebih paripurna, jika ditambah dengan penerapan bahasa dan budayanya berciri lapisan otak mamalian yang baik, yaitu gemar bertutur kata santun, menjunjung tinggi etika, dan religiusitas yang beradab.
Hal itu semua merupakan cita-cita mendalam dan substansial dari para pahlawan bangsa Indonesia. Merupakan cita-cita luhur yang diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga oleh para pahlawan bangsa. Semoga cita mendasar para pahlawan bangsa Indonesia dapat tercapai.
Semoga IQ rakyat dan segenap bangsa Indonesia makin mengalami peningkatan sering meningkatnya kesejahteraan yang adik dan beradab. Selamat memperingati hari pahlawan. Merdeka… merdeka… merdeka… Aamiin.
Jakarta, 10 Nov 2024, Erfi Firmansyah,
Pengamat Bahasa dan Budaya UNJ