Opini: Quo Vadis Munaslub Beringin
Akhir pekan ini, Partai Golkar menyelenggarakan hajatan besar, yaitu gelaran Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di Nusa Dua, Bali.
Terselenggaranya Munaslub Bali merupakan episode pamungkas pasca terbelahnya Golkar dengan dualisme kepengurusan yakni Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dan Munas Ancol yang dimotori Agung Laksono.
Munaslub Bali tersebut memiliki agenda utama suksesi pucuk kepemimpinan melalui pemilihan ketua umum partai yang baru.
Tercatat 8 calon ketua umum (caketum) yang akan berlaga: Ade Komarudin, Airlangga Hartarto, Aziz Syamsuddin, Indra Bambang Utoyo, Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Setya Novanto dan Syahrul Yasin Limpo.
Sukses tidaknya gelaran Munaslub Bali ini sangat bergantung pada jalannya prosesi pemilihan ketua umum yang baru. Di pundak ketua umum baru inilah, masa depan partai akan diletakkan.
Untuk itu, Partai Golkar harus membuktikan bahwa kecakapan dan kepantasan seorang caketumlah yang akan menjadi pertaruhan utama dalam kontestasi ini.
Selain cakap dan pantas, tiap caketum juga harus menunjukkan bahwa ia menempuh jalur yang fair dalam menapaki tujuannya. Cara-cara yang tak terpuji dalam menggalang dukungan harus dihindari. Para caketum harus tunduk dan patuh pada rambu-rambu yang telah disepakati.
Di sinilah kredibilitas dan integritas panitia penyelenggara Munaslub akan diuji. Panitia Munaslub hendaknya menjadi wasit yang baik sehingga menghasilkan sebuah kompetisi yang sehat dan demokratis.
Berbagai isu tak sedap mulai dari money politics hingga pertemuan tim sukses dengan pemilik suara di luar forum resmi telah berhembus cukup kencang. Sejumlah laporan pelanggaran telah disampaikan kepada pihak paling berwenang, dalam hal ini Komite Etik Munaslub.
Komite Etik Munaslub harus menjadi pihak yang netral dan objekitif, tidak memihak maupun mendeskreditkan pihak yang berkepentingan dalam munaslub, baik itu Steering Committee (SC), Organizing Committee (OC), pemilik suara (DPD tingkat I dan II, Ormas Golkar), dan terutama caketum Golkar.
Sementara pihak SC dan OC Munaslub juga sepatutnya tidak melakukan manuver tertentu demi kepentingan pribadi semata. Pihak SC sebagai pengarah dan OC sebagai pelaksana merupakan penanggung jawab utama mulus dan tidaknya perjalanan Munaslub Bali ini.
Tugas Berat Telah Menanti
Siapapun yang terpilih menjadi ketua umum yang baru, ia akan mengemban tugas yang berat. Kerja politik yang berliku telah menanti.
Sebagai sebuah organisasi, Golkar telah berhasil lepas dari ketergantungan pada sosok individu tertentu. Dan sebagai sebuah partai politik modern, regenerasi kepemimpinan di tubuh Golkar dilakukan dengan mekanisme yang demokratis. Namun, hal ini juga memiliki eksesnya sendiri.
Melihat rekam jejaknya, suksesi di tubuh Partai Golkar kerap kali menimbulkan friksi yang berujung pada terbelahnya partai, bahkan sampai berujung pada lahirnya partai politik baru.
Maka dari itu, tugas pertama ketua umum terpilih nanti adalah melakukan konsolidasi internal secara gesit dan masif. Langkah ini merupakan tindakan preventif hadirnya ruang konflik baru. Komunikasi yang luwes dan sikap akomodatif perlu dijalankan, dari pusat sampai ke daerah.
Sebelumnya, dualisme kepengurusan partai telah menggerus energi dan mengguncang soliditas internal partai. Kisruh ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga menjalar ke daerah-daerah.
Dalam gelaran Pilkada Serentak 2015 misalnya, di banyak daerah pengusungan calon kepala daerah dari Partai Golkar diwarnai dengan sengketa kedua kubu. Akibatnya, hasil yang dicapai Golkar secara keseluruhan tidaklah menggembirakan.
Munaslub Bali ini sendiri diselenggarakan oleh kepengurusan hasil sinergi antara dua kubu yang sempat bersengketa, menandakan bahwa kompromi politik dalam penyelesaian konflik merupakan sebuah keniscayaan.
Adalah sebuah hal mustahil untuk menyenangkan semua pihak, namun dengan menyusun kepengurusan baru secara cermat dan representatif merupakan langkah awal yang bijak.
Jika konsolidasi internal ini dapat berjalan mulus, Gollar akan memiliki pondasi kokoh dalam menghadapi tantangan selanjutnya yaitu konsolidasi eksternal.
Konsolidasi eksternal terutama berhubungan dengan kiprah Golkar dalam percaturan politik daerah dan nasional. Mesin politik yang solid adalah modal awal untuk menghadapi laga sesungguhnya melalui Pilkada, Pileg, maupun Pilpres pada tahun-tahun mendatang.
Relasi Golkar dengan Pemerintah
Terakhir namun tak kalah penting adalah sikap Golkar terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, posisi Golkar sungguh strategis dalam mempengaruhi kebijakan eksekutif.
Reputasi Golkar sebagai partai politik paling matang serta sarat pengalaman masih menjadi penentu warna perpolitikan nasional.
Menarik untuk ditunggu bagaimana pola relasi antara Golkar hasil Munaslub Bali dengan pemerintah yang tengah berkuasa.
Sempat beredar desas-desus bahwa pemerintah melalui berbagai perpanjangan tangan meng-endorse caketum tertentu. Namun semoga saja itu semua isu belaka, karena intervensi kekuasaan terhadap internal partai politik tidak sesuai dengan kaidah demokrasi.
Presiden sendiri‒secara langsung maupun tidak‒telah menyatakan sikapnya untuk menyerahkan sepenuhnya mekanisme yang ada di Golkar, bahwa segala bentuk penyelesaian persoalan biarlah menjadi konsumsi internal partai sendiri.
Dalam beberapa hari mendatang, kita akan disuguhi babak penting dalam perjalanan Golkar, sebuah penanda era yang akan menentukan arah Golkar selanjutnya.
Munaslub Bali merupakan pertaruhan politik krusial, apakah Golkar mampu untuk mengembalikan kejayaannya sebagai partai besar, atau justru selangkah lebih dekat menuju jurang kehancurannya.
Ujang Komarudin, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia