Ketua Masyarakat Pesisir Nusantara Tegaskan Jokowi Harus Bertanggung Jawab atas Kekisruhan HGB Laut di Pesisir Tangerang

 Ketua Masyarakat Pesisir Nusantara Tegaskan Jokowi Harus Bertanggung Jawab atas Kekisruhan HGB Laut di Pesisir Tangerang

JAKARTA – Ketua Masyarakat Pesisir Nusantara (MPN), Zul Helmi, dengan tegas menyatakan bahwa mantan Presiden Joko Widodo harus dimintai pertanggungjawaban atas kekisruhan penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan laut pesisir Tangerang, Banten.

Menurut Zul Helmi, kebijakan yang melanggar hukum, meskipun dilakukan oleh rezim masa lalu, tetap dapat dikenakan pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

“Penerbitan SHGB laut pada tahun 2023 di era Presiden Joko Widodo adalah pelanggaran serius. Berdasarkan UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir adalah ruang publik yang tidak dapat dialihkan kepada pihak tertentu melalui konsesi. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan hukum, dan pihak yang bertanggung jawab atasnya, termasuk Jokowi, harus diproses secara hukum,” tegas Zul Helmi, Rabu (22/1).

Zul Helmi menilai bahwa penerbitan dokumen ini tidak mungkin terjadi tanpa arahan atau persetujuan dari Presiden saat itu.

“Kebijakan yang bertentangan dengan undang-undang, sekalipun berasal dari pemerintahan sebelumnya, tidak membebaskan pelaku dari tanggung jawab hukum. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Tidak ada seorang pun, termasuk mantan presiden, yang kebal hukum jika terbukti melanggar,” ujarnya.

Zul Helmi juga mengingatkan bahwa Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara.

“Dalam kasus ini, jika terbukti ada pelanggaran hukum dalam penerbitan SHGB di kawasan laut, mantan Presiden Jokowi dapat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan penyalahgunaan kewenangan tersebut”, tandasnya.

Menurutnya, penerbitan HGB dan SHM ini tidak hanya mencederai hukum nasional, tetapi juga melanggar hak asasi masyarakat pesisir.

“Keputusan ini berdampak besar pada lingkungan dan mengancam mata pencaharian nelayan yang hidupnya bergantung pada akses laut. Presiden saat itu memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan atau mencegah kebijakan ini, tetapi hal itu tidak dilakukan,” imbuhnya.

Zul Helmi menyoroti pula keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang membatasi akses masyarakat pesisir, diduga kuat merupakan bagian dari kebijakan yang menguntungkan korporasi besar. Meski Kemenko Perekonomian membantah bahwa pagar ini terkait dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), Zul Helmi menduga bahwa penguasaan wilayah ini tetap merupakan buah dari kebijakan Jokowi.

“Pengelolaan sumber daya laut adalah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tetapi tanggung jawab utama tetap berada di tangan Presiden yang memiliki otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan. Adanya HGB dan SHM yang diterbitkan di bawah rezim Jokowi tidak bisa dilepaskan dari peran dan arahan beliau,” katanya.

Zul Helmi juga mendesak agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya konflik kepentingan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam kasus ini.

“Jika memang ada unsur penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran hukum, siapapun yang terlibat, termasuk Jokowi, harus dimintai pertanggungjawaban sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.

MPN menegaskan bahwa kebijakan yang salah tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa penanganan hukum. Zul Helmi mengingatkan bahwa penerbitan HGB ini adalah contoh nyata pelanggaran hukum yang berdampak besar terhadap rakyat kecil, khususnya masyarakat pesisir.

“Kami tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi juga tentang keadilan bagi masyarakat pesisir yang selama ini terpinggirkan. Jika pemerintah tidak segera bertindak, kami akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Mantan Presiden Jokowi tidak boleh lepas tangan. Beliau adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terbitnya kebijakan ini,” pungkasnya.

Facebook Comments Box