Nanti, Indonesia Akankah Seperti Kisah Thailand?

Indonesia berada di ruang arena persaingan China dan Amerika, yaitu Asia Tenggara. Bagi China, kawasan ini adalah kawasan pengaruh kekaisaran China sejak dulu. Tapi bagi Amerika, ini juga kawasan pengaruhnya, dan telah terbukti sukses dibuatnya sebagai kawasan yang berhasil membendung pengaruh komunis di masa silam, saat China getol meluaskan pengaruhnya dengan komoditas ideologi komunis. ASEAN sebenarnya didesain oleh Amerika sebagai kawasan bumper terhadap pengaruh komunis.

Baru-baru ini muncul ide dari Menhan Indonesia, yakni pembentukan pasukan perdamaian ASEAN. Saya kira, hal ini menunjukkan kepekaaan dan kesadaran Menhan Indonesia, betapa terasa sengitnya persaingan pengaruh China dengan Amerika di kawasan ini. Persaingan China vs Amerika ini agaknya akan makin sengit di masa Pemerintah Trump yang kedua ini.

China sekarang hadir menancapkan pengaruhnya bukan lagi lewat ideologi komunis, tapi aliran dana dan persekutuan pragmatis dalam pembangunan ekonomi. Tentu sajian proposal China ini lebih menggiurkan ketimbang Amerika yang suka berlagak preman dan menempatkan kaki tangan-kaki tangannya di suatu negara sebagai operator berhaluan Amerika.

Berkaca pada Thailand, kini keluarga Sinawatra yang ditengarai pro China kembali memimpin negara tersebut. Keluarga politik ini jauh lebih dulu muncul di Thailand ketimbang keluarga Jokowi di Indonesia. Sedangkan Filipina, persis seperti Indonesia, berbagi pengaruh dengan keluarga Duterte yang pro China dengan Marcos Jr yang tentu saja pro Amerika.

Tampak pola proksi ini dimainkan dalam konstelasi politik di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan Laos dan Kamboja rasanya pengaruh China sudah kadung kokoh dan mantap. Myanmar, harus menghadapi perang saudara. Vietnam secara unik berhasil independen, meskipun dibayangi oleh kecemasan terhadap ekspansi China terkait klaim China terhadap perairan Laut China Selatan yang dapat mengepung dan memblokir perdagangan Vietnam.

Adapun Malaysia secara tradisional berada dalam list negara-negara persemakmuran Inggris, karena itu negeri Melayu ini akan senantiasa berada pada posisi pro Inggris. Karena Inggris selalu sejalan dengan Amerika, maka sudah pasti Malaysia segaris dengan Amerika dalam persoalan persiangan Amerika versus China.

Wilayah Malaysia sendiri, seolah didesain untuk menghadapi pengaruh China di Laut China Selatan. Indonesia yang pernah didukung China pada masa pemerintahan Soekarno dalam kampanye Ganyang Malaysia, gagal mengambil alih wilayah Malaysia bagian Timur yang berada di pulau Kalimantan, sehingga Malaysia tetap dapat disulap menjadi benteng penangkis ekspansi militer China jika perang invasi China terjadi di masa depan.

Di masa akan datang, bukan tidak menutup kemungkinan, Gibran putra Jokowi yang kini telah menjadi Wakil Presiden RI, akan naik ke tampuk tertinggi kekuasaan seperti halnya keluarga Thaksin Sinawatra di Thailand yang lebih condong menjadi proksi China.

Barangkali dalam rangka mengantisipasi gejala persaingan Amerika dengan China ini, tampak elemen-elemen politik pro Amerika di Indonesia, mulai mengencangkan ototnya. Apakah dengan munculnya kehadiran Mbak Titiek, putri mendiang Presiden Soeharto pada peristiwa pembongkaran pagar laut (Rabu, 22/1/2025), sebagai sinyal persaingan keluarga berpengaruh dengan bayang-bayang persaingan China vs Amerika di masa depan akan mewarnai politik Indonesia?

Lalu dimana rakyat menempatkan posisi dan strateginya supaya jangan hanya menjadi objek, tapi subjek dari teater pertarungan China dan Amerika yang tak terelakkan itu?

 

Facebook Comments Box