Pentingnya Tata Kelola Pariwisata Bali Berkelanjutan

 Pentingnya Tata Kelola Pariwisata Bali Berkelanjutan

BALI – Anggota DPR RI sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (UNHAN) dan Universitas Jayabaya Bambang Soesatyo menuturkan Bali dengan keindahan alamnya, budaya yang kaya, dan masyarakat yang ramah, telah menjadi ikon pariwisata dunia. Namun, popularitas ini juga membawa tantangan. Tekanan terhadap lingkungan, perubahan sosial budaya, dan fluktuasi ekonomi menjadi perhatian utama. Karena itu, konsep pariwisata berkelanjutan menjadi krusial bagi masa depan Bali.

“Tata kelola sumber daya pariwisata yang baik merupakan kunci utama untuk mencapai pariwisata Bali yang berkelanjutan. Dengan melibatkan masyarakat lokal, melestarikan budaya dan lingkungan, serta menerapkan regulasi yang tepat dan ketat, Bali dapat terus menjadi destinasi pariwisata yang menarik tanpa mengorbankan sumber daya yang dimilikinya. Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholders pariwisata, Bali dapat menjadi contoh global dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan,” ujar Bamsoet.

Hal tersebut disampaikan Bamsoet saat menjadi penguji Kandidat Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, A.A Bagus Adhi Mahendra Putra dengan disertasi ‘Transformasi Tata Kelola Sumber Daya Pariwisata Dalam Pengaturan Pariwisata Bali Berkelanjutan’, di Kampus Universitas Udayana Bali, Senin (24/2/24).

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, budaya dan adat istiadat Bali merupakan daya tarik utama bagi wisatawan. Desa Adat, sebagai unit sosial dan budaya terkecil di Bali, memegang peran penting dalam menjaga dan melestarikan tradisi ini. Setiap Desa Adat memiliki aturan dan norma yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pariwisata. Misalnya, upacara adat, tarian tradisional, dan ritual keagamaan sering menjadi atraksi wisata yang menarik minat wisatawan.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, tanpa tata kelola yang baik, eksploitasi budaya dapat terjadi. Semisal, beberapa upacara adat yang seharusnya bersifat sakral telah dikomersialkan untuk kepentingan pariwisata. Hal ini dapat mengikis makna sebenarnya dari tradisi tersebut dan merusak nilai-nilai budaya yang telah dijaga turun-temurun.

“Karena itu, penting untuk melibatkan Desa Adat dalam pengambilan keputusan terkait pariwisata. Sehingga mereka dapat memastikan bahwa budaya mereka dikelola dengan cara yang menghormati nilai-nilai tradisional,” ujar Bamsoet.

Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini memaparkan, Subak sebagai sistem pengairan tradisional Bali yang telah diakui sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, merupakan contoh nyata dari tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Subak tidak hanya mengatur distribusi air untuk pertanian, tetapi juga mencerminkan filosofi Tri Hita Karana, yaitu harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Sistem ini telah berhasil menjaga kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan di Bali selama berabad-abad.

Tetapi, perkembangan pariwisata yang pesat telah menimbulkan tekanan pada sistem Subak. Konversi lahan pertanian menjadi hotel, villa, dan fasilitas pariwisata lainnya telah mengurangi luas lahan pertanian dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Selain itu, peningkatan kebutuhan air untuk pariwisata seringkali mengorbankan kebutuhan air untuk pertanian.

“Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan stakeholders pariwisata harus bekerja sama untuk melestarikan Subak dan lingkungan. Misalnya, dengan membatasi pembangunan fasilitas pariwisata di daerah pertanian dan menerapkan kebijakan pengelolaan air yang berkelanjutan,” urai Bamsoet.

Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, terdapat beberapa tantangan utama yang dihadapi Bali dalam mencapai pariwisata berkelanjutan. Antara lain over tourism, degradasi lingkungan serta komersialisasi budaya.

Bali menerima jutaan wisatawan setiap tahunnya yang menimbulkan tekanan besar pada infrastruktur, lingkungan, dan masyarakat lokal. Pada tahun 2024, Bali mencatat lebih dari 6,3 juta kunjungan wisatawan mancanegara, belum termasuk wisatawan domestik. Hal ini menyebabkan kemacetan, polusi, dan penurunan kualitas lingkungan.

Selain itu, pembangunan fasilitas pariwisata yang tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air, erosi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Semisal, pencemaran di Pantai Kuta dan Seminyak telah menjadi masalah serius yang memengaruhi ekosistem laut.

“Karenanya, tata kelola sumber daya pariwisata yang efektif adalah kunci untuk mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan. Dengan melindungi budaya, lingkungan, dan masyarakatnya, Bali dapat terus menjadi destinasi impian bagi wisatawan sekaligus memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang,” pungkas Bamsoet. (Dwi)

Facebook Comments Box