MENGETUK PINTU LANGIT: Meraih Ridha Allah Melalui I‘tikaf

 MENGETUK PINTU LANGIT: Meraih Ridha Allah Melalui I‘tikaf

Oleh: Munawir Kamaluddin, Dosen UIN Alauddin Makassar

Di antara keheningan malam yang semakin dalam, ketika dunia terlelap dalam lelahnya, ada jiwa-jiwa yang tetap terjaga. Bukan karena gelisah mengejar dunia, bukan pula karena resah oleh ambisi fana, tetapi karena mereka memahami bahwa di tengah sunyi, ada bisikan kasih dari langit, ada kehangatan rahmat yang turun tanpa batas.

Mereka yang memilih untuk mengasingkan diri dalam rumah-Nya, meninggalkan hiruk-pikuk dunia, dan menundukkan hati dalam sujud yang panjang, merekalah para pencari cahaya, yang menyelami makna i‘tikaf dengan penuh cinta dan ketulusan.

I‘tikaf bukan sekadar duduk berdiam diri dalam masjid. Ia adalah perjalanan spiritual, di mana hati diletakkan di hadapan Allah dengan segala keikhlasan dan harapan. Ia adalah pertemuan antara seorang hamba dan Rabb-nya, di mana segala kepalsuan dunia ditanggalkan, segala keresahan jiwa dilepaskan, dan yang tersisa hanyalah keheningan yang berbisik: “Ya Allah, aku datang kepada-Mu. Aku rindu pada-Mu. Aku ingin kembali pada-Mu.”

Bulan Ramadan menjadi panggung agung bagi perjalanan ini. Di dalamnya, ada malam-malam yang lebih baik dari seribu bulan, ada detik-detik di mana doa melangit tanpa hijab, ada tangisan yang lebih berharga dari mutiara. Dan di sepuluh malam terakhirnya, ketika cahaya ilahi semakin dekat, ketika para malaikat turun membawa kedamaian, di sanalah i‘tikaf menemukan puncak kemuliaannya.

Bagaimana mungkin kita membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja? Bagaimana mungkin kita lebih memilih kenyamanan kasur daripada kenikmatan bersimpuh di hadapan-Nya?.

Dunia ini, betapapun indahnya, hanyalah persinggahan. Segala yang kita kumpulkan, segala yang kita kejar, pada akhirnya akan kita tinggalkan. Namun, malam-malam i‘tikaf, sujud-sujud dalam keheningan, dzikir-dzikir dalam kesyahduan, itulah bekal sejati yang akan menyertai kita ketika dunia tak lagi menyapa.

Maka, mari kita melangkah ke dalamnya. Mari kita lepaskan segala beban yang menjerat hati, segala kebisingan yang membutakan ruh. Mari kita beri‘tikaf dengan segenap jiwa, menghidupkan malam dengan ibadah, merasakan kehadiran Allah lebih dekat dari denyut nadi kita sendiri. Karena di dalamnya, ada keindahan yang tak terlukiskan, ada cahaya yang tak tertandingi, dan ada keabadian yang tak akan pernah pudar.

*I’TIKAF DI BULAN RAMADAN: PELUANG EMAS MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH*

I‘tikaf adalah salah satu bentuk ibadah yang mendalam, di mana seorang hamba mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia dan mendekatkan diri sepenuhnya kepada Allah.

Ibadah ini bukan sekadar duduk dalam masjid, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang membawa ruh kembali kepada fitrahnya.

Bulan Ramadan adalah waktu terbaik untuk beri‘tikaf, terutama di sepuluh malam terakhir, di mana terdapat malam Lailatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan.

*I‘TIKAF DALAM AL-QUR‘AN*

Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menyebutkan i‘tikaf dalam firman-Nya:
وَإِذْ جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ مَثَابَةًۭ لِّلنَّاسِ وَأَمْنًۭا وَٱتَّخِذُوا۟ مِن مَّقَامِ إِبْرَٰهِيمَ مُصَلًّۭى ۖ وَعَهِدْنَآ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka‘bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i‘tikaf, rukuk, dan sujud.’”
(QS. Al-Baqarah: 125)

Dalam ayat ini, Allah menyandingkan i‘tikaf dengan thawaf, rukuk, dan sujud, yang menunjukkan betapa tinggi kedudukannya sebagai ibadah yang penuh keberkahan. Allah juga berfirman:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

“Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu) ketika kamu sedang beri‘tikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 187)

Ayat ini menegaskan bahwa i‘tikaf harus dilakukan dengan kesungguhan hati, menjauhkan diri dari segala bentuk gangguan duniawi, bahkan hubungan suami istri pun dilarang dalam masa i‘tikaf.

*SUNNAH I‘TIKAF MENURUT HADITS NABI SAW.*

I‘tikaf adalah kebiasaan Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Adalah Rasulullah SAW. selalu beri‘tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau pun beri‘tikaf setelahnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, kita memahami bahwa i‘tikaf bukan hanya dianjurkan bagi laki-laki, tetapi juga bagi perempuan, sebagaimana dilakukan oleh istri-istri Nabi SAW. setelah beliau wafat. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ اعْتَكَفَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ ثَلاَثَةَ خَنَادِقَ كُلُّ خَنْدَقٍ أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ الْخَافِقَيْنِ

“Barang siapa yang beri‘tikaf sehari karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan menjadikan antara dirinya dan neraka tiga parit, yang masing-masing lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.”
(HR. At-Thabrani dan Al-Hakim)

Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala i‘tikaf, bahkan hanya dalam satu hari, Allah telah menjauhkan hamba dari neraka dengan jarak yang tak terbayangkan.

*I‘TIKAF DALAM PANDANGAN PARA SAHABAT DAN ULAMA*

Para sahabat dan ulama sangat menekankan pentingnya i‘tikaf sebagai sarana penyucian jiwa dan pendekatan kepada Allah.

1. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah SAW:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Wahai Rasulullah, dahulu di masa jahiliyah aku bernazar untuk beri‘tikaf satu malam di Masjidil Haram, apakah aku harus menunaikannya?” Maka Nabi ﷺ menjawab, ‘Tunaikan nazarmu.'”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa i‘tikaf adalah ibadah yang memiliki bobot penting hingga layak untuk ditepati sebagai nazar.

2. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Maksud dari i‘tikaf adalah agar hati terfokus sepenuhnya kepada Allah, berpaling dari segala sesuatu selain-Nya, serta menundukkan jiwa kepada Rabb-nya dengan penuh kecintaan dan kerinduan.” (Zaadul Ma‘aad, 2/81)

3. Imam Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata:

“Barang siapa yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, maka hendaklah ia memperbanyak i‘tikaf, sebab ia adalah jalan bagi orang-orang yang ingin menundukkan hawa nafsunya.” (Al-Umm, 2/109)

Dari sini kita memahami bahwa i‘tikaf adalah sarana untuk membersihkan hati, menjauhkan diri dari godaan dunia, dan mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh jiwa.

*JANGAN LEWATKAN PELUANG BERHARGA INI*

Ramadan adalah tamu yang datang setahun sekali. Jangan biarkan ia berlalu tanpa kita beri‘tikaf. Jangan biarkan malam-malam terakhir Ramadan hanya dihabiskan dengan kesibukan dunia, sementara pintu langit sedang terbuka lebar.

Mari kita ambil kesempatan ini untuk merenung, beribadah, dan menyambung kembali hubungan kita dengan Allah. Karena di penghujung Ramadan, bukan hanya pahala yang kita cari, tetapi sebuah kedekatan yang lebih hakiki dengan Tuhan kita.

Ya Allah, izinkan kami mengasingkan diri dalam keheningan-Mu, tenggelam dalam dzikir dan doa, hingga hati ini kembali kepada-Mu dalam kesucian dan ketundukan.

*PENUTUP DAN KESIMPULAN*

Dan kini, setelah lembar demi lembar pembahasan ini kita telaah, setelah hati kita diajak menyelam ke dalam samudra makna i‘tikaf, tibalah kita pada muara renungan yang dalam.

Begitu luas keutamaan yang telah Allah limpahkan dalam ibadah ini, begitu besar kasih-Nya yang terbuka bagi siapa saja yang mengetuk pintu-Nya dengan penuh keikhlasan.

I‘tikaf bukan hanya sekadar duduk diam dalam masjid, bukan pula sekadar menunggu waktu berlalu dalam kesendirian. Ia adalah perjalanan pulang bagi jiwa yang lelah, sebuah kepulangan yang tak membutuhkan langkah kaki, tetapi justru kepulangan hati yang selama ini tersesat dalam gemerlap dunia.

Di sanalah seorang hamba menemukan dirinya yang sejati, sebuah ruh yang selalu merindukan Rabb-nya, sebuah hati yang mendamba cahaya, sebuah jiwa yang haus akan perjumpaan dengan Sang Maha Pengasih.

Betapa banyak manusia yang menghabiskan hidupnya mengejar dunia, seolah ia akan hidup selamanya. Betapa banyak yang membiarkan malam-malam berlalu tanpa sujud, seolah tak ada hari di mana dirinya akan terbujur kaku, kembali ke tanah yang dulu menjadi asalnya. Namun, mereka yang mengerti makna i‘tikaf adalah mereka yang paham bahwa hidup ini hanyalah persinggahan, bahwa sejatinya bukan dunia yang perlu mereka kejar, tetapi ridha Allah yang harus mereka cari.

Maka kini, saat Ramadan masih terbentang di hadapan kita, apakah kita masih akan membiarkan malam-malamnya berlalu begitu saja? Akankah kita menukar keheningan yang penuh rahmat dengan kebisingan yang tak bermakna? Tidakkah kita rindu merasakan betapa dekatnya Allah, betapa lembutnya belaian kasih-Nya di setiap sujud yang kita labuhkan?

Wahai jiwa yang merindu, wahai hati yang mendamba, jangan biarkan kesempatan ini pergi tanpa jejak. Mari kita beri‘tikaf dengan sepenuh kesadaran, dengan sepenuh cinta. Mari kita letakkan dunia di belakang, dan menatap langit dengan harapan. Karena siapa tahu, di antara doa-doa yang kita panjatkan, di antara air mata yang kita tumpahkan, ada satu yang menggetarkan Arsy-Nya, ada satu yang menjadi tiket menuju ampunan dan surga-Nya.

Malam-malam akan berlalu. Ramadan akan berakhir. Namun, biarlah jejak i‘tikaf kita tetap tertulis di sisi langit, menjadi saksi bahwa di waktu-waktu itu, kita pernah melupakan dunia demi mencari wajah-Nya. # Wallahu A’lam Bishawab.

Facebook Comments Box