KKSS: Rumah yang Lupa Siapa Penghuninya?

Oleh: Firman Syah, Anggota Departemen Seni Budaya BPP KKSS
Di layar televisi, seorang artis dan seorang pengacara saling menyerang. Keduanya berasal dari Sulawesi Selatan. Keduanya mengatasnamakan siri’, nilai budaya yang seharusnya dijunjung tinggi. Tapi saat nilai itu dipakai untuk saling jatuhkan, di mana suara KKSS?
Di sudut kota lain, ada Baco. Seorang buruh bangunan yang setelah puluhan tahun bekerja keras, akhirnya bisa membeli tanah. Tapi tanah itu dijual oleh oknum warga lokal ke perusahaan tanpa sepengetahuannya. Baco bingung, kehilangan haknya. Di mana KKSS saat itu?
Lalu ketika seorang pejabat publik dari kalangan KKSS terseret kasus korupsi, muncul pertanyaan lain. Apakah KKSS akan membela karena merasa satu keluarga, atau menjauh demi menjaga nama baik?
Tiga cerita. Tiga kenyataan. Satu pertanyaan besar: Apakah KKSS masih bisa disebut rumah? Atau hanya simbol besar yang tak bisa dirasakan kehadirannya?
Rumah yang Berdiri Tapi Tak Menyapa
Di banyak kota, nama KKSS besar. Struktur organisasinya lengkap. Acara-acaranya megah dan penuh dokumentasi. Tapi di balik itu semua, banyak warganya merasa sendirian. Mereka seperti tidur di luar rumah. Bukan karena rumah ini roboh, tapi karena pintunya tertutup bagi mereka yang tak punya jabatan, gelar, atau akses.
Di lorong-lorong kota, ada anak muda Bugis yang lahir dan besar di rantau. Ia tak bisa lagi berbicara dalam bahasa ibunya. Ia tahu nama KKSS dari spanduk atau acara adat. Tapi ketika hatinya kosong dan pikirannya buntu, ia tak tahu ke mana harus datang.
Di kamar kos sempit, perantau baru duduk sendiri. Tak kenal siapa pun. Tak tahu kepada siapa bisa bertanya soal kerja, tempat tinggal, atau sekadar curhat soal rindu dan cemasnya.
Sementara itu, di perumahan-perumahan elite, warga KKSS yang lebih mapan mulai lupa menyapa yang baru datang. Solidaritas yang dulu erat, kini hilang di balik status sosial dan kesibukan pribadi. Ketika ada warga KKSS yang sakit atau meninggal dunia, kabar itu sering kali telat diketahui. Atau bahkan tak diketahui sama sekali. Kalaupun tahu, respons kita sering hanya sebatas kirim stiker belasungkawa di grup WhatsApp.
Saya masih ingat awal Januari 2025. Istri saya meninggal dunia. Dari seluruh pengurus KKSS, hanya satu orang yang hadir mengantar ke pemakaman: Kakanda Alief we Onggang. Hanya dia. Sisanya—sunyi. Tak ada pelukan, tak ada ucapan duka, tak ada doa. Padahal kita menyebut diri sebagai “keluarga besar”.
Yang hadir justru teman-teman dari Ikami Sulsel. Mereka ikut menunggui di RSCM, memakamkan, melantunkan tahlil dan selawat. Mereka tak punya jabatan di KKSS. Tapi mereka hadir. Mereka tidak sekadar menyebut siri’, mereka menjaganya.
Ada pepatah Bugis: “Iye na gau mappoji siri’: tettong muto na ri ale ri pammulangeng.” Yang artinya, “harga diri dijaga bukan dengan kata-kata, tapi dengan hadir di tempat yang sepi. Di saat yang sunyi.”
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyebut rumah ini “besar”, kalau tak ada siapa-siapa yang merasa ditampung. Rumah bukan soal tembok, bukan soal struktur organisasi. Rumah adalah tempat orang merasa diterima, disambut, dan dijaga. Tanpa itu, KKSS hanyalah nama—bukan makna.
Rumah Besar, Tapi Belum Ramah untuk Anak Sendiri
Dulu, KKSS adalah tempat pulang. Sebuah rumah bagi para perantau Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Tapi seperti rumah tua yang lama tak direnovasi, kini banyak bagian mulai rapuh. Yang paling terasa: anak-anak muda belum benar-benar mendapat tempat untuk tumbuh.
Mereka sering hadir di acara KKSS. Tapi hanya untuk tampil menari, menyambut tamu, atau meramaikan suasana. Bukan sebagai pengambil keputusan. Bukan pemilik suara.
Padahal generasi muda hari ini hidup di dunia yang berbeda. Mereka tumbuh dengan teknologi, terbiasa berpikir cepat, dan mencari makna dalam setiap hal yang mereka lakukan. Tapi KKSS masih sibuk dengan cara lama. Budaya senioritas membuat suara anak muda hanya jadi pelengkap. Tidak ada ruang pelatihan, tidak ada kaderisasi yang serius, tidak ada ruang diskusi terbuka antara yang lama dan yang baru.
Kalau ingin bertahan, rumah ini harus mulai berani menyerahkan kuncinya kepada mereka yang akan tinggal lebih lama: generasi muda.
Bahkan ketika anak muda punya ruang sendiri, seperti IKAMI Sulsel—organisasi mahasiswa yang sudah lama berdiri dan mandiri—KKSS masih ingin mengatur. Beberapa tahun terakhir, muncul dorongan agar IKAMI hanya sah kalau diakui lewat SK dari KKSS. Bahkan pelantikan pun diminta dilakukan oleh pengurus KKSS.
Pendekatan ini bukan cuma salah arah, tapi juga merusak semangat kemandirian mahasiswa. Bukannya mendorong mereka untuk berpikir kritis, KKSS malah ingin menjadikan IKAMI sebagai “sayap organisasi”, bukan mitra sejajar. Padahal anak muda butuh ruang untuk belajar, bukan dikendalikan.
Struktur Ada, Tapi Tidak Mengalir
Masalah lembaga juga banyak. Koordinasi antara pusat, wilayah, dan cabang sering tersendat. Kegiatan banyak yang hanya muncul saat momen besar seperti pelantikan atau halal bihalal. Setelah itu, sunyi. Tak ada kesinambungan. Tak ada program yang benar-benar menyentuh kebutuhan warga.
Organisasi ini terlihat sibuk, tapi sebenarnya tak terasa hidup.
Transparansi juga jadi masalah. Siapa yang membuat keputusan? Dana dari mana? Digunakan untuk apa? Banyak hal yang berjalan tanpa penjelasan. Padahal kalau ingin membangun rasa kekeluargaan, semuanya harus dimulai dari kepercayaan.
Rumah ini terlalu besar untuk dikelola oleh segelintir orang. Sudah waktunya semua diberi ruang.
Di era digital, KKSS justru kurang bicara. Banyak perantau tak tahu kalau KKSS ada di kota tempat mereka tinggal. Media sosial dan aplikasi belum dimanfaatkan maksimal. Tak ada sistem informasi terpadu, tak ada notifikasi yang menyapa. Padahal anak muda hidup di layar, bukan di papan pengumuman.
Lebih jauh lagi, banyak warga merasa tak diajak bicara soal arah organisasi. Visi dan misi memang ada di dokumen, tapi tidak terasa dalam kegiatan nyata. KKSS tampak besar saat acara, tapi kecil dalam keseharian. Ada, tapi tidak menyentuh. Bicara, tapi tak menjawab keresahan.
Rumah ini masih berdiri. Tapi kalau ingin jadi tempat tinggal yang nyaman, perlu direnovasi. Anak-anak muda harus dilibatkan. Kepemimpinan disegarkan. Sistem komunikasi diperbaiki. Arah organisasi dipertegas. Bukan demi nama besar, tapi demi jiwa-jiwa yang tak ingin pergi.
Rumah yang tak bisa menampung anak-anaknya, lambat laun akan jadi bangunan kosong—penuh gema masa lalu, tapi kehilangan masa depan.
Jangan Biarkan Ada yang Tidur di Luar
Kalau rumah ini ingin tetap berdiri, penghuninya harus benar-benar hadir. Bukan sekadar tampil di spanduk atau pidato, tapi hadir dalam kehidupan nyata.
Pengurus tak cukup hanya duduk di meja rapat. Mereka harus menyusuri lorong-lorong kehidupan perantau. Menanyakan satu hal yang penting:
“Siapa yang belum pulang? Siapa yang masih tidur di luar?”
Rumah tanpa penghuni bukan rumah. Organisasi tanpa keberpihakan bukan keluarga. Kita bukan sedang menjaga museum. Kita sedang merawat kehidupan. Bukan mempertahankan simbol, tapi mencari makna.
KKSS tidak boleh jadi tempat kumpul segelintir elit. Rumah ini harus terbuka bagi siapa pun—tua, muda, kaya, sederhana, berilmu, atau baru belajar. Semua harus merasa diterima.
KKSS seharusnya bukan sekadar struktur. Ia harus jadi jantung solidaritas, denyut rasa senasib, dan napas harapan bersama. Saatnya rumah ini dipulangkan ke fungsinya:
Bukan sebagai panggung,
tapi sebagai pelukan.
Bukan sebagai menara,
tapi sebagai pelindung.
Bukan sebagai lambang,
tapi sebagai tempat pulang—yang tetap menunggu, bahkan ketika seluruh dunia tak lagi mengenal nama kita.
Kemayoran, 06 April 2025