Di Balik Penghapusan Peran TNI dalam Pemberantasan Narkotika: Kepentingan Siapa yang Bermain?

 Di Balik Penghapusan Peran TNI dalam Pemberantasan Narkotika: Kepentingan Siapa yang Bermain?

Oleh: Syurya M. Nur, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Politik Universitas Sebelas Maret Solo, Akademisi Universitas Esa Unggul Jakarta dan Peneliti Human Studies Institute (HSI)

Perubahan kebijakan dalam penegakan hukum narkotika selalu menjadi isu strategis yang patut dikritisi. Salah satu perubahan yang menimbulkan tanda tanya besar adalah penghapusan peran TNI dalam pemberantasan narkotika yang sebelumnya diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Dalam regulasi tersebut, TNI memiliki kewenangan untuk menangani penyelundupan narkotika sebagai bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, jika ketentuan ini dihapus dalam revisi terbaru, pertanyaan besar muncul bahwa kepentingan siapa yang sebenarnya diuntungkan?.

TNI selama ini memiliki peran strategis dalam menangkal penyelundupan narkotika, terutama di wilayah perbatasan dan jalur laut yang sering kali menjadi pintu masuk utama peredaran narkotika dari luar negeri. Dengan kemampuan tempur, intelijen, dan penguasaan medan yang lebih baik dibandingkan aparat sipil, TNI sering menjadi garda terdepan dalam mencegah masuknya narkotika dalam jumlah besar.

Operasi gabungan yang melibatkan TNI telah terbukti efektif dalam menggagalkan berbagai upaya penyelundupan yang sulit dijangkau oleh kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat narkotika. Berdasarkan laporan BNN dan Polri, jaringan narkotika internasional menjadikan Indonesia sebagai pasar utama. Berbagai kasus penyelundupan dalam jumlah besar menunjukkan bahwa negara ini menjadi sasaran empuk bagi bandar kelas kakap.

Pada 2018, misalnya, kepolisian bersama TNI berhasil menggagalkan penyelundupan 1,6 ton sabu dari China. Fakta ini menunjukkan bahwa kehadiran TNI di lapangan memiliki dampak nyata dalam menghambat peredaran narkotika.

Berdasarkan perspektif politik dan hukum, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI secara eksplisit memberikan mandat kepada TNI untuk menangani penyelundupan narkotika sebagai bagian dari tugas OMSP.

Namun, jika dalam revisi terbaru ketentuan ini dihapus, maka hal ini berimplikasi pada berkurangnya instrumen negara dalam memerangi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini. Padahal, dalam Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, peran TNI dan Polri dalam menjaga keamanan nasional seharusnya saling melengkapi, bukan justru dibatasi.

Lalu, mengapa peran TNI dalam pemberantasan narkotika dihapus? Beberapa pihak beralasan bahwa tugas ini sepenuhnya menjadi domain kepolisian dan BNN. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penyelundupan narkotika melibatkan jaringan internasional yang memiliki sumber daya dan strategi canggih.

Polisi dan BNN, meskipun memiliki wewenang utama, tidak selalu memiliki kapasitas untuk mengatasi ancaman ini sendirian. TNI dengan sistem komando, disiplin tinggi, serta ketegasan dalam operasi militer, memiliki keunggulan yang dapat menutup celah yang mungkin dimanfaatkan oleh jaringan narkotika.

Penghapusan peran TNI juga menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan bandar besar yang bermain di balik kebijakan ini. Selama ini, sindikat narkotika internasional dikenal selalu mencari cara untuk melemahkan aparat yang sulit mereka kendalikan.

Fakta menunjukkan bahwa ada oknum aparat yang pernah terbukti bekerja sama dengan jaringan narkoba, sementara dalam lingkungan TNI, kasus seperti ini relatif lebih kecil karena sistem pengawasan dan disiplin yang lebih ketat. Dengan dikeluarkannya TNI dari peran pemberantasan narkotika, maka upaya kelompok ini dalam melemahkan sistem penegakan hukum bisa semakin mudah.

Kapabilitas TNI dalam menjaga kedaulatan negara tidak dapat disangkal. Dengan sistem pertahanan yang mencakup darat, laut, dan udara, TNI mampu menutup jalur-jalur penyelundupan narkotika yang sering kali tidak terjangkau oleh aparat sipil.

Patroli perbatasan yang dilakukan TNI, baik di darat maupun laut, telah beberapa kali berhasil menggagalkan masuknya narkotika dalam jumlah besar. Jika peran ini dihapus, maka akan terjadi kekosongan pengawasan yang dapat dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk meningkatkan operasinya.

Beberapa negara lain justru memperkuat peran militernya dalam perang melawan narkotika. Thailand, misalnya, mengerahkan militernya untuk memberantas kartel narkotika di perbatasan, sementara Filipina bahkan memberikan mandat khusus kepada militernya dalam operasi anti-narkotika. Jika Indonesia mengambil langkah sebaliknya dengan menarik TNI dari peran ini, maka patut dipertanyakan apakah ini merupakan langkah mundur dalam perang melawan narkotika.

Konsekuensi dari penghapusan peran TNI dalam pemberantasan narkotika bisa sangat serius. Pertama, jalur penyelundupan narkotika akan semakin longgar, terutama di wilayah perbatasan yang selama ini dijaga ketat oleh TNI.

Kedua, kepolisian dan BNN akan semakin terbebani dengan tugas yang semakin kompleks, sementara sumber daya mereka terbatas. Ketiga, efek gentar terhadap mafia narkotika akan berkurang, karena mereka tidak lagi menghadapi institusi yang memiliki kekuatan dan ketegasan seperti TNI.

Masyarakat perlu lebih kritis dalam mengawasi perubahan kebijakan ini. Jangan sampai penghapusan peran TNI dalam pemberantasan narkotika hanya menjadi strategi terselubung dari kelompok tertentu yang ingin melemahkan sistem penegakan hukum.

Jika benar ada kepentingan bandar narkoba yang bermain di balik kebijakan ini, maka ini adalah tamparan keras bagi kedaulatan hukum dan keamanan nasional.
Pemerintah seharusnya tidak hanya mengandalkan kepolisian dan BNN dalam memerangi narkotika, tetapi justru memperkuat sinergi dengan TNI.

Integrasi antar lembaga adalah kunci untuk menekan peredaran narkotika secara efektif. Dalam perang melawan kejahatan luar biasa seperti narkotika, pendekatan yang lebih komprehensif dan melibatkan semua elemen pertahanan negara adalah langkah yang lebih bijak dibandingkan dengan membatasi peran institusi yang selama ini terbukti efektif dalam menjaga keamanan nasional.

Lantas, dengan melihat berbagai fakta dan argumen yang ada, penghapusan peran TNI dalam pemberantasan narkotika bukan hanya sekadar perubahan kebijakan, tetapi memiliki implikasi serius terhadap masa depan perang melawan narkotika di Indonesia.

Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, maka bangsa ini harus bersiap menghadapi serangan narkotika yang lebih masif dan terorganisir. Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi, ataukah kita akan melawan dan mempertahankan kedaulatan hukum kita?.

Facebook Comments Box