PSBM: Saudagar di Tengah Badai dan Harapan dari Timur

 PSBM: Saudagar di Tengah Badai dan Harapan dari Timur

“Hancur usaha ini. Bikin ka usaha roti, sedikit sekali yang belli.”

“Belli ki pertamax, eh rasa pertalite. Pantas sering masuk bengkel ki motorku.”
“Ndak tau anakku tahun ini, bisa ji lanjut kuliah?”

“Rupiah tembus mi 17.000. Ndak lama lagi naik semua mi harga. Sessa jaki.”
“Amrik sama China perang dagang. Kita yang dapat bonnoqna.”

Begitu kira-kira suara-suara lirih dari lorong-lorong kota. Keluhan yang makin sering terdengar, di tengah harga kebutuhan yang terus menanjak, nilai tukar rupiah yang melemah, dan bisnis kecil yang terseok-seok. Semua terasa mahal, semua jadi berat.

Apa kabar kantong rakyat hari ini? Dan di mana posisi para saudagar perantau—para pengusaha Bugis-Makassar—dalam badai ini?

Tahun 2025 membawa tantangan berat bagi perekonomian Indonesia. Tekanan dari luar negeri, seperti perang dagang Amerika-China dan konflik Timur Tengah, ikut mengguncang stabilitas dalam negeri. Nilai tukar rupiah menembus angka 17.000 per dolar. Sementara di dalam negeri, defisit anggaran dan lemahnya daya beli masyarakat ikut memperkeruh situasi.

Bisnis ritel lesu, ekspor seret, dan PHK massal mulai membayang.
Namun dalam setiap badai, selalu ada sosok yang tetap berdiri tegak. Di tengah krisis yang merata, komunitas diaspora dari Timur—khususnya para saudagar Bugis-Makassar—harus menunjukkan perannya. Mereka bukan sekadar pelaku ekonomi, tapi simpul harapan. Penggerak roda perdagangan, pemberi napas pada sektor informal, dan jembatan antara kampung halaman dengan pusat-pusat pertumbuhan baru.

PSBM (Pertemuan Saudagar Bugis-Makassar) bukan sekadar ajang reuni atau nostalgia. Ia adalah momen refleksi, momen konsolidasi. Di saat badai datang bertubi-tubi, saudagar dari Timur justru memantik harapan: bahwa akar perjuangan dan semangat dagang tak pernah hilang, bahkan di tengah terpaan paling keras.

Rupiah Loyo, Daya Beli Merosot
Rupiah makin tak berdaya. Awal April 2025, nilainya tembus Rp17.018 per dolar AS—angka yang bikin dumba-dumba banyak pelaku usaha dan tentu saja, masyarakat biasa. Faktor luar negeri ikut menyumbang tekanan besar. Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) masih mempertahankan suku bunga tinggi. Uang panas (hot money) pun kabur ke AS karena dianggap lebih aman dan menguntungkan. Ditambah lagi, konflik global tak kunjung reda—dari perang dagang AS-China, konflik Timur Tengah, sampai ketegangan di Laut Cina Selatan. Dunia tidak tenang. Investor pun ragu-ragu.

Tapi masalah bukan cuma datang dari luar. Di dalam negeri, ada PR besar. Defisit anggaran makin lebar. Sampai Februari 2025, angkanya tembus Rp31,2 triliun. Belanja negara lebih besar dari pemasukan, dan itu bikin kepercayaan investor makin menurun. Banyak yang memilih menahan uangnya, atau pindah ke negara yang lebih stabil.

Akibatnya, ekonomi terasa berat. Barang mahal, usaha lesu, dan rakyat jadi korban dari perang angka dan kebijakan yang kadang tak terasa nyata manfaatnya.
Namun di balik kekacauan ini, ada pertanyaan penting: Siapa yang bisa jadi jangkar? Siapa yang bisa tahan angin?
Kita kembali melirik para saudagar perantau—yang punya pengalaman berdagang lintas batas, yang terbiasa hidup di tengah badai. Mereka mungkin bukan bagian dari sistem keuangan formal yang besar, tapi mereka adalah denyut nadi ekonomi riil, dari pasar hingga pelabuhan.

Impor Melulu: Saatnya Mandiri?
Lucu tapi nyata. Nyata tapi lucu. Negara sebesar Indonesia, yang katanya agraris dan kaya sumber daya, masih impor banyak hal mendasar. Mulai dari beras dan garam, sampai BBM dan mobil. Tiap kali harga dunia naik, kita langsung megap-megap. Lebih lucu lagi, saat petani panen raya, pejabatnya malah memilih impor.

Pertanyaannya sederhana tapi penting: Kenapa kita tidak bisa produksi sendiri?
Apakah soal teknologi? Regulasi? Atau justru niat yang setengah hati?

Bayangkan kalau kita bisa olah hasil bumi sendiri. Bangun pabrik pengolahan gandum lokal, kembangkan mobil listrik buatan anak negeri, dan distribusi pangan dari petani langsung ke pasar. Rantai pasok lebih pendek, harga lebih stabil, dan uangnya berputar di dalam negeri.

Tentu, semua itu butuh waktu dan strategi. Tapi bukankah badai ekonomi ini adalah alarm keras agar kita segera berbenah? Dan apakah ini menjadi agenda dalam Pertemuan Saudagar Bugis Makassar 2025? Apakah saudagar diaspora mampu mengambil peran untuk mendorong kemandirian ini?

Perang dagang Amrik dan China seperti kompor yang lupa dimatikan. Ketegangan di Timur Tengah memanas, harga minyak goyang. Di sisi lain, muncul lagi bayangan Trump 2.0—dengan gaya proteksionismenya yang siap memukul ekspor dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kita bukan pemain utama, tapi selalu terdampak. Komoditas unggulan seperti sawit, batu bara, dan nikel tak luput dari imbasnya. Permintaan turun, harga ikut lesu.

Padahal selama ini, ekspor inilah penopang devisa kita. Tapi kalau pasar dunia tak ramah, apa kita masih bisa bertahan hanya dengan andalkan komoditas?

Menitipkan Harapan Pada Saudagar Dari Timur

“Beli beras harus hitung-hitungan. Dulu dua karung, sekarang setengah pun mikir-mikir,” kata Becce pada Baco, suaminya, sambil menatap kantong belanja yang makin tipis isinya.

Meski inflasi katanya cuma 1,71 persen, kenyataannya di dapur terasa jauh lebih berat. Terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Tahun 2024, lebih dari 60.000 orang kena PHK. Pekerjaan makin sulit, harga makin tinggi. Akibatnya, belanja pun menyusut. Konsumsi rumah tangga lesu. Padahal, inilah mesin utama penggerak ekonomi Indonesia—penopangnya lebih dari separuh Produk Domestik Bruto.

Kalau rakyat berhenti belanja, roda ekonomi pun melambat. Jadi, di tengah badai yang menghantam ini, di mana sebenarnya harapan itu bisa ditemukan?
Mungkin jawabannya datang dari timur. Dari PSBM—Perhimpunan Saudagar Bugis Makassar. Sebuah gerakan yang lahir dari semangat silaturahmi dan persaudaraan. PSBM adalah panggung bagi para saudagar perantau dari berbagai penjuru dunia. Mereka bukan hanya kaya modal, tapi juga kaya pengalaman dan semangat berbagi.
Nama-nama besar ada di baliknya: Jusuf Kalla, sang negosiator ulung; Aksa Mahmud, pelaku bisnis visioner; dan Alwi Hamu, wartawan yang menjelma jadi pengusaha. Semangat mereka satu: Lao Sappa Deceng, Lisu Mappideceng—pergi membawa kebaikan, pulang membawa kemajuan.

Dari PSBM, lahir banyak kisah yang memantik semangat. Ada H. Alqadri, yang merantau dengan Pallubasa Serigala, kini membuka cabang kuliner di Jakarta dan Surabaya. Ada juga eksportir udang dari Bone, hanya lulusan SD, tapi produknya sampai ke Jepang. Ada juga Habibie baru, Kaharuddin Djenod Daeng Manyambeang, seorang pebisnis kapal yang sekarang menjadi CEO PT PAL Indonesia. PSBM bukan sekadar ajang temu kangen, tapi ruang untuk ide-ide nyata, peluang investasi, dan kontribusi langsung ke tanah kelahiran.

Di saat ekonomi nasional penuh ketidakpastian, kadang solusi justru datang dari bawah—dari komunitas, dari jejaring saudagar. PSBM menjadi bukti bahwa kekuatan perantauan bisa membangun ekonomi alternatif. Mereka membantu UMKM naik kelas, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan investasi lokal. Bukan mimpi, ini sudah nyata.

Dalam masa seperti sekarang, kita butuh lebih dari sekadar kebijakan. Kita butuh semangat. Kita butuh solidaritas. Pemerintah tentu punya peran: menjaga anggaran tetap sehat dan menciptakan iklim usaha yang kondusif. Tapi rakyat dan komunitas juga punya peran: bangkit, berdaya, bergerak.

Dan di antara keduanya, PSBM berdiri sebagai jembatan harapan. Karena dari timur, selalu ada cahaya.

Oleh: Firman Syah, Anggota Departemen Seni Budaya BPP KKSS

Facebook Comments Box