TNI Lahir dari Rahim Rakyat, Komitmennya Jadikan Pilar Persatuan dan Pembangunan Bangsa

 TNI Lahir dari Rahim Rakyat, Komitmennya Jadikan Pilar Persatuan dan Pembangunan Bangsa

JAKARTA  – Guru Besar Damai dan Resolusi Konflik, Rumpun Ilmu Pertahanan Universitas Negeri Jakarta Abdul Haris Fatgehifon menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari rahim rakyat Indonesia. Hal itu disampaikan merespon pentingnya persatuan di tengah gejolak resistensi terhadap revisi UU TNI yang saat ini sudah ditandatangani dan tercatat dalam lembaran negara menjadi UU No. 3 tahun 2025 tentang perubahan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Ia menekankan pentingnya komponen masyarakat untuk memahami bahwa TNI bukan hanya kekuatan bersenjata, tetapi juga bagian tak terpisahkan dari perjuangan dan pembangunan nasional yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia.

“TNI didirikan oleh kalangan anak-anak muda dan rakyat Indonesia yang berasal dari latar belakang daerah dan agama yang berbeda. Lahirnya tentara adalah buah dari kesadaran kolektif untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, dan itu adalah kewajiban seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Haris.

Ia menjelaskan, para pendiri TNI berasal dari berbagai profesi, termasuk para pendidik. Sosok seperti Jenderal Sudirman dan Jenderal AH Nasution memiliki latar belakang sebagai guru, yang menurut Haris sangat memengaruhi karakter dan arah kebijakan militer Indonesia.

“Jenderal Sudirman adalah guru di HIS Muhammadiyah Cilacap, sedangkan AH Nasution adalah lulusan Sekolah Guru Bandung dan pernah mengajar di Bengkulu dan Palembang. Jiwa pendidik mereka membentuk filosofi keteladanan dalam militer. Sudirman meletakkan dasar moral kententaraan, sementara Nasution menggagas konsep Jalan Tengah agar TNI tetap berperan dalam pembangunan tanpa mencampuri urusan politik secara langsung,” jelasnya.

Haris juga menyoroti perjalanan sejarah TNI yang sejak awal diawali bukan sebagai tentara profesional, melainkan sebagai tentara pejuang.

“Jika kita ukur dengan standar tentara profesional, Indonesia sebenarnya tidak punya tentara dalam pengertian itu. Di awal kemerdekaan, TNI bahkan tak digaji negara, mereka harus membeli seragam sendiri dan mencari senjata dari pasar gelap. Salah satu sumber pendanaan perjuangan saat itu adalah perdagangan candu yang dilegalkan pemerintah untuk kebutuhan revolusi,” tuturnya.

Meski memiliki struktur komando yang kuat, dari awal Indonesia berdiri, TNI menurutnya tidak pernah melakukan kudeta pada pemerintahan sipil meskipun menghadapi berbagai turbulensi politik.

“Saat terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, pimpinan TNI seperti Jenderal AH Nasution dan Jenderal A Yani berdiri mendukung Presiden Sukarno. Kalau tidak, sejarah Indonesia bisa saja berbeda,” ujar Haris.

Ia menegaskan dari era revolusi kemerdekaan hingga era reformasi, TNI menunjukkan loyalitas pada pemerintah yang sah.

“Kalaupun ada mantan tentara yang kini menjadi presiden, mereka terpilih lewat proses demokratis. Banyak juga perwira yang kalah dalam pemilu atau pilkada. Ini membuktikan bahwa TNI menghormati proses demokrasi,” pungkasnya.

Facebook Comments Box