Opini: Ke Mana Arah Pro-kontra Perppu Kebiri?
Oleh: Kang Ujang Komarudin*
Rabu, 25 Mei lalu Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016. Peraturan tersebut merupakan perubahan kedua atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak.
Perppu tersebut merevisi Pasal 81 dan 82 dengan pemberatan dan penambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Pemberatan berupa ancaman penjara sampai 20 tahun, pidana seumur hidup, hingga hukuman mati. Adapun penambahan hukuman bagi para terpidana berupa publikasi identitas pelaku, pemasangan alat deteksi elektronik, hingga dikebiri melalui suntikan kimia.
Pemerintah memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera serta belum mencegah secara signifikan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.
Sebaliknya, secara statistik kekerasan pada anak mengalami kenaikan. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat pada tahun 2015 terdapat 2.898 laporan kasus kekerasan anak yang mereka terima di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 59,3 persen laporan berupa kekerasan seksual.
Angka tersebut naik cukup signifikan dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 2.737 kasus kekerasan dan 52 persen berupa kekerasan seksual. Di sejumlah daerah lain, didapati trend serupa: angka laporan kekerasan terhadap anak cenderung meningkat di mana kekerasan seksual menjadi varian yang dominan.
Dampak dari kekerasan seksual pada anak ini sungguh merusak. Selain mengancam dan membahayakan jiwa anak, tindakan biadab tersebut juga merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak. Dampak sosialnya, rasa keamanan, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat turut terganggu.
Momentum perhatian publik terhadap isu kejahatan seksual kepada anak mencapai puncaknya ketika kasus pemerkosaan terhadap Yuyun (14 tahun) di Bengkulu terekspos. Tindak pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun telah menambah panjang daftar tindak kejahatan seksual pada anak.
Kasus Yuyun merupakan puncak gunung es dari persoalan kekerasan pada anak. Kasus serupa yang tidak mengemuka atau menjadi sorotan nasional diduga masih banyak terjadi.
Pro dan Kontra
Terdapat suara pro dan kontra pasca penerbitan Perppu ini. Terlebih dengan penitikberatan hukuman yang dinilai tidak serta-merta menyelesaikan masalah.
Harus diakui bahwa akar masalah kekerasan seksual pada anak ini cukup rumit. Untuk kasus Yuyun di Bengkulu misalnya, kemiskinan diduga menjadi faktor dominan. Lokasi tempat kejadian perkara merupakan daerah yang dikenal minus secara ekonomi. Para pelaku merupakan remaja tanggung dan pengangguran.
Ketika melakukan perbuatan bejatnya, pelaku tengah berada di bawah pengaruh minuman keras lokal, dikenal dengan nama tuak. Tuak yang mereka konsumsi dijual bebas dan murah. Satu teko tuak yang berisi sekitar 2 liter hanya dihargai sebesar Rp 5000.
Selain itu, arus deras keterbukaan informasi juga dapat menjadi faktor pemicu lain. Tayangan kekerasan di televisi serta pornografi di internet misalnya, sedikit banyak turut mempengaruhi perilaku sejumlah masyarakat yang belum matang secara mental.
Dalam kasus lain yang melibatkan anak di bawah umur, pelaku merupakan para pedofil. Mereka ini pengidap kelainan orientasi seksual, dan secara klinis menderita penyakit kejiwaan. Menurut penelitian, lebih dari sepertiga pelaku pedofil juga mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya (Lakhani, 2010). Dalam konteks ini, motif psikologis lebih dominan.
Dilihat dari latar belakangnya, mengatasi akar permasalahan kejahatan terhadap anak ini akan memakan proses panjang. Ruang dan waktu yang dibutuhkan juga luas, sehingga keterlibatan segenap elemen masyarakat mutlak diperlukan.
Pendidikan sejak dini, dimulai dari keluarga merupakan pencegahan awal. Hubungan yang sehat, hangat, dan terbuka antara orang tua dan anak menjadi pijakan dasarnya. Berlanjut pada lingkungan sekitar rumah, sekolah hingga ruang publik.
Namun melihat urgensi penanganan, kiranya aspek hukum pada pelaku merupakan respon paling rasional dalam waktu dekat ini. Terkait konteks kegentingan situasi itulah, tindakan pemerintah dengan mengeluarkan Perppu Pelindungan Anak tersebut rasanya cukup tepat.
Efek jera terhadap pelaku serta efek konsiderasi bagi calon pelaku diharapkan akan menekan angka kejahatan seksual pada anak. Penambahan dan pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan pada anak tentunya merupakan langkah awal.
Hukuman tambahan yang diberikan juga akan diikuti proses rehabilitasi terhadap korban, keluarga korban, serta para pelaku. Sebelumnya, pemberatan hukuman serta semua keputusan dipastikan setelah melalui proses persidangan. Artinya, peraturan ditegakkan tidak hanya menjangkau pelaku tanpa melupakan aspek pemulihan korban serta keluarga korban.
Tiap anak merupakan generasi penerus, yang laksana kertas putih bersih, lembaran-lembarannya harus diisi dengan coretan bermanfaat dan mencerahkan. Negara harus hadir untuk melindungi anak-anaknya dari ancaman coretan-coretan kelam dan buram.
*Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta