Opini: Catatan Awal Terhadap Hasil Revisi UU Pilkada
Revisi UU Pilkada telah Usai. Banyak spekulasi bermunculan, yang akhirnya disepakati menjadi UU sebagai acuan pemilihan kepala daerah. Apresiasi dari kinerja Anggota DPR itu terus mengalir.
Oleh: Masykuruddin Hafidz*
Proses revisi terhadap UU No. 8/2015 telah selesai dilaksanakan oleh Pemerintah dan DPR. Setelah lebih dari satu bulan penuh melangsungkan perdebatan yang cukup panjang. Akhirnya pada Kami, 2 Juni 2015 yang lalu, hasil revisi yang mengatur perubahan Kedua terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 ini diparipurnakan dan disetujui oleh Pemerintah dan DPR.
Apresiasi perlu untuk disampaikan kepada DPR dan Pemerintah yang akhirnya “mau” akhirnya menyelesaikan perdebatan. Sehingga regulasi penyelenggaraan pilkada ini bisa selesai sebelum tahapan pilkada dimulai.
Namun, jika dicermati dengan seksama, ternyata terdapat substansi penyelenggaraan pilkada yang tidak dibahas dan tidak diperbaiki oleh para pembentuk undang-undang. Selain itu, terdapat beberapa materi perubahan, yang justru dikhawatirkan memunculkan persoalan lain di dalam penyelenggaraan pilkada nantinya.
Berangkat dari hal tersebut, maka Kami dari koalisi masyarakat sipil pilkada berintegritas, memberikan beberapa catatan terhadap hasil revisi UU Pilkada sebagai berikut:
Pertama, terkait dengan perbaikan syarat calon kepala daerah yang secara keseluruhan diatur di dalam Pasal 7 UU Pilkada. Salah satu rekomendasi yang disampaikan kepada para pembentuk undang-undang terhadap perbaikan syarat calon kepala daerah adalah memberikan larangan kepada seorang yang berstatus tersangka, dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
Jika hendak dipersempit dan diberikan kekhususan, maka larangan bisa disampaikan kepada orang yang menjadi tersangka kasus korupsi. Hal ini menjadi penting untuk menjaga standar tinggi integritas calon kepala daerah yang akan dipilih oleh masyarakat. Namun, ketentuan akhirnya tidak jadi disepakati oleh DPR dan Pemerintah;
Kedua, selain itu, syarat calon kepala daerah yang menjadi perdebatan panjang pada Pilkada 2015 yang lalu salah satunya adalah, statur terpidana bebas bersyarat yang dipertanyakan, apakah dinyatakna tidak memenuhi syarat atau tidak.
Perdebatan ini sempat membuat salah satu daerah, yakni Kota Manado mengalami penundaan, karena banyak sengketa hukum yang muncul karena ketidakpastian syarat ini. Oleh sebab itu, dorongan yang disampaikan adalah memberikan syarat eksplisti untuk calon kepala daerah bukanlah orang yang berstatus terpidana bebas bersyarat. Namun sekali lagi, ketentuan ini sama sekali tidak dibahas oleh DPR dan Pemerintah;
Ketiga, adalah persoalan penataan waktu penyelenggaraan pilkada yang baru di dalam revisi UU Pilkada. Di dalam ketentuan UU Pilkada hasil revisi, disebutkan bahwa diatur penyelenggaraan pilkada serentak secara keseluruhan dpercepat, dari awalnya tahun 2027, dipercepat menjadi tahun 2024.
Beberapa hal perlu dicermati dengan ketentuan ini. Terutama terkait dengan Akhir Masa Jabatan (AMJ) kepala daerah tahun 2022 dan 2023, yang merupakan hasil Pilkada 2017 dan 2018. Di dalam ketentuan UU Pilkada hasil revisi, untuk dua jenis masa jabatan tersebut, tidak lagi akan dilaksanakan pemilihan untuk menuju pilkada serentak pada 2024.
Melainkan akan ditunjuk pelaksana tugas/penjabat kepala daerah sampai dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak pada 2024. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena akan ditunjuk 101 penjabat kepala daerah untuk kepala daerah yang AMJ-nya habis di 2022, dan akan ada penjabat di 171 untuk daerah yang AMJ-nya habis di 2023.
Artinya, pemerintah penting untuk menyiapkan sejumlah orang-yang tidak sedikit-untuk menjadi penjabat kepala daerah, dengan jaminan bahwa kondisi tersebut tidak akan mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemenuhan pelayanan public di daerah.
Selain itu, persoalan yang jauh lebih penting untuk dikhawatirkan adalah, penyelenggaraan Pilkada 2024 secara serentak secara nasional berada di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilu nasional (pemilihan presiden, DPR, DPD, dan juga bahkan DPRD).
Hal ini tentu saja bukan desaian ideal untuk menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu, terutama dengan memperhatikan beberapa aspek. Dari aspek penyelenggara, penyelenggaraan pemilu borongan seperti ini akan memberikan beban yang sangat luar biasa bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu). Meskipun tidak dilaksanakan secara bersamaan, tapi menyelenggarakan pemilu di tahun yang sama akan membuat ruang konsolidasi dan persiapan bagi penyelenggara pemilu sangat sempit, dan akan semakin rawan terjadinya kesalahan-kesalahan teknis dalam penyelenggaraan karena pemilu yang semakin banyak.
Kemudian dari aspek pemilih, penyelenggaraan pemilu di tahun yang sama akan membuat pemilih semakin jenuh dan jauh dari rasionalitas serta partisipasi dalam penyelenggaraan pemilu dan juga pilkada. Oleh sebab itu, partisipasi pemilih, baik dari segi memberikan suara, maupun di dalam pengawalan proses, dikhawatirkan akan semakin turun.
Aspek lain adalah dari peserta pemilu sendiri. Penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan ditahun yang sama, tidak akan memberikan waktu bagi peserta pemilu, terutama partai politik untuk melakukan konsolidasi pascapemilu nasional menuju ke kepala daerah.
Kondisi ini akan rawan memantik konflik internal partai politik, layaknya hal yang terjadi pada Partai Golkar dan PPP pada persiapan pemilihan kepala daerah 2015 yang lalu.
Lebih dari itu, penataan jadwal pelaksanaan pemilihan kepala daerah seperti ini tidak akan memberikan terhadap kualitas dan hasil pemerintahan hasil pemilu. Karena gagasan ini tidak akan memberikan ruang keterpilihan pemerintah yang linear antara pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah.
Gagasan idealnya adalah, menyerentakkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dengan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, tujuan untuk membuat terciptanya suatu rekayasa system pemilu untuk membuat pemerintah yang linaer antara kekuasaan eksekutif dan legislative daerah bisa terwujud.
Keempat, adalah terkait dengan desaian penyelesaian sengketa pemilihan atau sengketa pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Dari catatan pada pelaksanaan Pilkada 2015, memberikan penyelesaian sengketa pemilihan kepada Panawaslu Kabupaten/Kota dan juga Bawaslu Provinsi adalah pilihan politik hukum yang tidak tepat.
Penundaan pilkada di lima daerah pada Pilkada 2015 yang lalu berangkat dari proses penyelesaian sengketa pencalonan yang tidak pasti. Pertama, pengawas pemilu kabupaten/kota bukanlah lembaga yang disiapkan untuk menyelesaikan sengketa pencalonan.
Disparitas putusan, dan tidak adanya standar hukum acara adalah persoalan krusial yang tidak bisa dianggap remeh pada proses penyelesain sengketa pencalonan. Namun sayangnya ketentuan ini sama sekali tidak dibahas dan diperhatikan oleh DPR dan Pemerintah.
Padahal, dalam banyak evaluasi sudah disampaikan, mestinya ada penataan kelembagaan dan desaian hukum acara untuk proses sengketa pencalonan.
Kelima, terkait dengan penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Evaluasi terhadap singkatnya waktu untuk pengajuan permohonan yang 3 x 24 jam telah terbukti menyulitkan banyak pemohon untuk bisa maksimal menyiapkan permohonan sengketa berikut dengan buktinya.
Selain itu, adanya batasan selisih yang sangat tipis, diyakini menafikan keadilan pemilu yang hendak dicari dalam proses perselisihan hasil pilkada. Oleh sebab itu, adanya syarat selisih suara yang sangat tipis dikhawatirkan akan menutup kesempatan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi selama proses pilkada.
Hal lain terkait dengan konsistensi hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa sengketa hasil pilkada, Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah proses dan mekanisme pemeriksaan pendahuluan, yang mestinya sesuai dengan hukum acara MK.
*Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)