Opini: Menyoal 1001 Masalah Revisi UU Pilkada
Oleh: Ujang Komarudin*
Pada 2 Juni 2016 lalu, rapat paripurna DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau lebih dikenal dengan UU Pilkada.
Cukup banyak pasal yang mengalami perubahan, mulai dari jadwal pelaksanaan hingga ke aspek teknis lain, seperti mekanisme kampanye, sanksi politik uang, larangan penggantian pejabat, pembatalan pencalonan, pelantikan bupati/walikota oleh Presiden, syarat dukungan, kewajiban cuti petahana, konflik internal partai politik, hingga penggunaan e-KTP.
Secara umum terdapat beberapa point revisi yang menjadi sorotan utama berbagai pihak. Di antaranya yaitu syarat dukungan bagi calon perseorangan, kewajiban mundur anggota DPR/DPD/DPRD ketika maju menjadi calon kepala daerah, sanksi kepada Parpol yang tidak mengajukan calon, serta kewenangan KPU.
Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan
Pada point syarat dukungan bagi calon perseorangan, jumlah minimal syarat dukungan minimal 6,5 persen dan paling banyak 10 persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan aspek verifikasi dukungan juga diperketat. Point inilah yang paling riuh dipersoalkan akhir-akhir ini.
Jika sebelumnya verifikasi dukungan calon perseorangan (melalui KTP) dilakukan dengan metode sampel, kini berubah menjadi metode sensus. Ini dilakukan untuk mencegah adanya dukungan manipulatif sebagaimana terjadi pada beberapa kasus Pilkada sebelumnya di mana diduga banyak terjadi pada calon-calon ‘boneka’.
Selanjutnya timbul polemik bahwa Pasal 48 ayat (a) dan (b) tentang verifikasi administrasi itu menyebut KTP yang diperhitungkan hanyalah KTP yang terdaftar di DPT Pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dari Kemendagri.
Pendukung calon perseorangan menuding ini merupakan upaya penjegalan hak pemilih muda dalam memberikan suara bagi calon kepala daerah perseorangan. Sebab, banyak data KTP yang telah mereka kumpulkan berasal dari pemilih pemula.
Sementara itu, proses verifikasi administrasi yang disediakan selama 3 hari dan verifikasi faktual selama 14 hari juga dirasa memberatkan calon perseorangan. Untuk itulah, para pendukung calon perseorangan telah bersiap melakukan judicial review atas pasal verifikasi administrasi ini.
Menurut penulis, semestinya pendukung calon perseorangan tidak perlu terlalu reaktif atas verifikasi administrasi ini, karena untuk pemilih pemula sudah diwadahi melalui DP4 dari Kemendagri. Secara teknis, pemegang KTP baru otomatis terdaftar oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dan masuk dalam DP4.
Verifikasi administrasi selama 3 hari, dan verifikasi faktual selama 14 hari juga dirasa cukup bila benar-benar dipersiapkan secara optimal oleh seluruh pihak yang terkait.
Calon Berasal dari Anggota DPR/DPD/DPRD Wajib Mundur
Revisi lain yaitu bagi anggota DPR/DPD/DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur setelah secara resmi ditetapkan oleh KPUD sebagai calon.
Sebelumnya, sempat terjadi tarik-ulur dalam pembahasan point ini. Terdapat perbedaan pandangan akan kewajiban mengundurkan diri bagi anggota parlemen dengan alasan tidak fair, karena petahana sendiri hanya diwajibkan untuk mengambil cuti.
Sebetulnya anggota DPR yang mundur tidak menjadi sebuah persoalan besar, karena toh sejatinya kursi dalam parlemen tersebut milik parpol, bukan anggota pribadi. Kursi yang ditinggalkan akan ditempati oleh anggota lain dalam parpol tersebut. Mekanisme penggantian anggota DPR juga telah diatur dengan jelas. Artinya, tidak ada kursi yang benar-benar hilang.
Berbeda dengan anggota DPR, kepemimpinan petahana dalam konsistensi jalannya roda pemerintahan sangat dibutuhkan. Belum lagi jika terdapat masa jeda panjang dari proses pencalonan dengan masa berakhirnya jabatan petahana. Sementara itu mekanisme penggantian seorang kepala daerah lebih pelik secara politis dibanding pergantian seorang anggota DPR.
Sanksi kepada Parpol yang Tidak Mengusung Calon
Pasal lain yang menjadi perbincangan hangat adalah terkait sanksi kepada partai politik yang tidak mengajukan calon kepala daerah. Tujuannya adalah untuk menghindari munculnya calon tunggal yang sempat terjadi di sejumlah daerah pada pilkada serentak 2015 lalu.
Satu ayat dalam Pasal 40 UU Pilkada mengatur bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memenuhi ketentuan namun tidak mengusulkan pasangan calon, maka parpol atau gabungan parpol tersebut tidak boleh mengusulkan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah berikutnya.
Sanksi ini merupakan terobosan yang positif, karena dalam iklim demokrasi, kompetisi adalah sehat adanya. Jika hanya ada satu pasangan calon, masyarakat tidak akan memiliki opsi lain. Dalam banyak kasus, sebuah kompetisi diperlukan agar pemilih tidak ‘terjebak’ pada satu calon tertentu.
Kewenangan KPU
Selanjutnya adalah Pasal 9A yang mengatur bahwa KPU harus berkonsultasi dengan DPR ketika menyusun peraturan dan pedoman teknis tahapan Pemilu. Hal ini dipermasalahkan oleh KPU karena forum konsultasi tersebut bersifat mengikat. KPU khawatir hal ini akan mempengaruhi independensi mereka sebagai penyelenggara Pilkada.
Bagian ini memang cukup kontroversial, karena sebagai sebuah lembaga mandiri, seyogyanya KPU sebisa mungkin diberikan keleluasaan penuh dalam membuat produk hukumnya. KPU juga telah menyatakan akan melakukan judicial review atas Pasal 9A ini.
Akan tetapi, rasanya kurang etis jika KPU sendiri yang melakukan judicial review mengingat sebagai lembaga negara, KPU bersama Pemerintah dan DPR pada dasarnya adalah mitra kerja. Akan lebih elok bila hal ini diserahkan kepada masyarakat sipil atau LSM, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendukung calon perseorangan.
Atas judicial review yang akan diajukan, kiranya itu sah-sah saja dan merupakan hak setiap warga negara. Tentunya ini menjadi domain Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang berwenang memutuskan apakah peninjauan ulang beberapa Pasal UU Pilkada tersebut layak dilakukan.
Sebuah revisi peraturan perundangan merupakan langkah mencapai perbaikan tata cara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang senantiasa bergerak dinamis. Kita harapkan, revisi UU Pilkada yang telah disahkan ini akan berdampak pada meningkatnya kualitas Pilkada serta output yang dihasilkannya.
Kualitas Pilkada yang semakin baik akan menjadi modal besar agar kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia menjadi semakin maju dan bermartabat.
*Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta