Opini : Legalitas Pembatalan Perda Oleh Mendagri
Harry Setya Nugraha*
Akhir-akhir ini publik kembali dibuat heboh oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi melalui Menteri Dalam Negeri yang membatalkan setidaknya 3143 Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah. Bermasalah dalam hal ini diartikan bahwa perda sebagaimana dimaksud bertentangan dengan undang-undang yang ada diatasnya. Beberapa perda yang dihapus oleh mendagri diantaranya meliputi perda berkaitan dengan investasi, izin usaha, hingga perda-perda yang bernuansa syariah.
Terlepas dari maksud baik Presiden Jokowi dalam membatalkan perda tersebut, kenyataan hari ini memperlihatkan bahwa pembatalan 3143 perda menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, politisi dan akademisi pun ikut mengambil posisi dalam perdebatan tersebut. Selain mengenai materi muatan perda yang dibatalkan, salah satu aspek penting yang juga menjadi bahan perdebatan adalah berkenaan dengan “boleh” atau “tidaknya” mendagri membatalkan suatu perda.
Jika kita merujuk pada ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri”.
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa undang-undang memberikan kewenangan kepada menteri yang dalam hal ini adalah mendagri untuk membatalkan perda. Dengan demikian, jika pertanyaanya adalah apakah mendagri “boleh” membatalkan suatu perda? Maka jawabannya adalah “boleh”. Hal ini dikarenakan ada payung hukum yang mendasari dan memberikan kewenangan tersebut kepada mendagri.
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah “tepat” mendagri diberikan kewenangan dalam membatalkan suatu perda? Pertanyaan inilah yang sekiranya perlu untuk dijawab secara tuntas agar perdebatan ini dapat segera disudahi.
Perlu diketahui bahwa dalam suatu rezim pemerintahan di Indonesia, terdapat dua sistem perundang-undangan yang diberlakukan.
Pertama adalah rezim peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional dan kedua adalah rezim peraturan daerah yang diberlakukan hanya di daerah-daerah tertentu. Berkenaan dengan hal itu, secara teori dijelaskan bahwa undang-undang merupakan salah satu dasar dalam pembuatan perda. Sehingga apabila terdapat suatu perda yang bertentangan dengan undang-undang, maka perda tersebut dapat dibatalkan.
Berkaitan dengan mekanisme pembatalan suatu perda, Pasal 24 A UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnnya yang diberikan oleh undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa apabila terdapat suatu perda yang bertentangan dengan undang-undang, maka lembaga yang diberikan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya adalah Mahkamah Agung. Hal ini diperkuat oleh Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Namun berbeda halnya jika kita melihat ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang pada intinya memberikan kewenangan kepada Menteri untuk membatalkan suatu perda. Hal tersebut memperlihatkan bahwa terjadi disharmonisasi antar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang legalitas pembatalan perda, yakni undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 dengan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.
Lantas undang-undang mana yang harus kita patuhi? Adagium hukum mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan masih dianggap berlaku sebelum ada undang-undang yang mencabutnya. Sehingganya, kedua undang-undang tersebut dapat dijadikan tempat berpijak dalam upaya pembatalan suatu perda..
Namun untuk menjawab pertanyaan tentang undang-undang mana yang dirasa lebih “tepat” sebagai tempat berpijak? Tentu kita harus mengacu pada kaidah-kaidah penyusunan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam suatu kaidah penyusunan perundang-undangan, jika terjadi disharmonisasi antara peraturan perundang-undangan setingkat, hal yang harus kita perhatikan adalah siapa pemberi mandat undang-undang tersebut. Jika pembentukan salah satu undang-undang diantara undang-undang yang bertentangan merupakan amanat langsung dari UUD NRI 1945, maka undang-undang tersebutlah yang seharusnya dijadikan tempat berpijak utama dalam kehidupan berhukum di Indonesia.
Apabila hal ini kita kontekskan dengan perdebatan mengenai legalitas mendagri dalam pencabutan perda, maka penulis ingin mengatakan bahwa secara normatif “mendagri memiliki legalitas” dalam pencabutan perda karena berpayung hukum pada dalam Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Akan tetapi, jika dilihat secara kewenangan dan teori, “mendagri bukanlah lembaga yang tepat” dalam melakukan pencabutan perda karena kewenangan dalam pencabutan perda telah diberikan oleh UUD NRI 1945 kepada Mahkamah Agung melalu Pasal 24 A UUD NRI 1945.
Agar perdebatan ini tidak terjadi di kemudian hari, penting sekiranya para pembuat undang-undang untuk melakukan harmonisasi terhadap kedua undang-undang tersebut. Hal ini mengingat bahwa potensi perda yang bermasalah tidak saja terjadi saat ini, tetapi dapat terulang di masa-masa mendatang.
Harry Setya Nugraha, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII Yogyakarta & Kader HMI MPO Cabang Yogyakarta