‘Perlindungan pada Petani Tembakau Harus Jelas dan Konkrit!’
JAKARTA, LintasParlemen.com – Rancangan Undang-undang atau RUU Pertembakauan harus menjadi payung hukum untuk melindungi petani tembakau dan buruh industri tembakau di seluruh Indonesia. Regulasi yang tertuang dalam RUU itu harus mencerminkan bentuk-bentuk perlindungan yang jelas dan kongkrit.
Hal tersebut dipapar Anggota Komisi V dan Anggota Baleg DPR RI yang juga Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz di sela-sela agenda rapat konsinyering RUU Pertembakauan di Jakarta, Jum’at-Sabtu(24-25/06/2016) kemarin.
“Ketentuan tentang keharusan industri tembakau untuk menggunakan bahan baku tembakau lokal sebanyak 80 persen dan pengenaan tarif cukai rokok untuk rokok yang menggunakan bahan baku impor yang nilainya tiga kali lipat rokok berbahan baku lokal, adalah ketentuan yang sangat diperlukan oleh petani dan industri tembakau lokal. Hal-hal yang jelas dan kongkrit seperti inilah yang harus tertuang dalam RUU Pertembakauan ini nantinya,” jelas Neng Eem.
Menurut Neng Eem, petani tembakau dan pelaku industri tembakau rumahan harus mendapat perhatian khusus agar keberadaannya tidak semakin tergerus akibat beragam regulasi yang tidak berpihak pada keberadaan mereka.
“Pada tahun 2009 lalu, jumlah pabrik rokok di seluruh Indonesia mencapai 4.900-an, namun jumlah ini menyusut tajam pada 2015 lalu hingga hanya tinggal 600-an saja. Sementara itu, data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyebutkan bahwa jumlah petani dan buruh tembakau di seluruh Indonesia sebanyak 2,1 juta orang,” tegasnya.
Beberapa regulasi, lanjut Neng Een, yang dinilai tidak berpihak pada petani dan pelaku industri tembakau rumahan. Di antaranya adalah kenaikan tarip cukai rokok yang terus meningkat dan kampanye antitembakau yang digembar-gemborkan oleh sejumlah pihak.
Neng Eem mencatat setoran cukai rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada 2000, pemerintah hanya mendapatkan setoran cukai rokok sebesar Rp 11,29 triliun, namun angka ini melonjak tajam pada 2016 ini dimana setoran cukai rokok ditargetkan sebesar Rp 148,9 triliun.
“Saya sangat mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo yang menolak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan bagian dari kampanye antitembakau dan dipastikan akan jika hal itu diterima akan merugikan petani dan pelaku industri tembakau rumahan,” ungkapnya.
Alumni PMII ini juga menyoroti beberapa hal penting yang harus dibahas dan diputuskan dalam RUU Pertembakauan, diantaranya ketentuan umum tentang definisi dan ruang lingkup budidaya tembakau, keharusan pemerintahan daerah untuk melakukan pembinaan dan fasilitasi bagi pengembangkan industri tembakau, serta penetapan harga tembakau pada dua minggu setelah musim tanam dimulai.
“Pembahasan RUU Pertembakauan berlangsung cukup lama karena adanya sejumlah isu krusial terkait petani tembakau, industri tembakau, isu kesehatan, dan gerakan antitembakau,” pungkas politisi PKB ini. (Lina)