ICMI Usulkan Cabut Paspor WNI ke Suriah!
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshidiqe mengungkapkan bahwa dalam memberantas dan menangani bahaya terorisme di Indonesia tidak melulu dengan pola mengandalkan undang-undang semata.
Namun menurutnya, pemerintah harus lebih berani dan lebih bertindak tegas dalam mengambil kebijakan dalam memberantas terorisme. Upaya Revisi UU Terorisme di DPR tidak menjamain pemberantasan radikalisme di Indonesia berhasil.
Ia mencontokan, pemerintah mencabut paspor WNI yang ke Suriah terbukti sebagai agen ISIS. Dan beranikah pemerintah mencabut paspor warga negara Indonesia (WNI) yang pergi ke Suriah itu?
Karena dengan mencabut paspor warga WNI, lanjutnya, itu menjadi upaya terbaik dari pemerintah mencegah dan melarang masyarakat Indonesia bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah.
“Dikerjakan saja, kadang-kadang pasal yang ada itu sudah cukup. Seperti soal mencabut paspor, sudah saya bilang ke beberapa pejabat, cabut saja tuh paspor warga negara Indonesia yang ke Suriah. Apakah dia ikut perang, apakah hanya jadi pembantu perang, cabut saja,” kata Jimly saat menggelar open house di kediamannya, Jalan Margasatwa, Jakarta Selatan, Kamis (7/7/2016) kemarin.
Meskipun paspornya langsung dicabut, menurut Jimly, pihak yang bersangkutan tetap diberi kesempatan menjelaskan di depan pengadilan. Sehingga, apabila tak terbukti terkait ISIS, paspornya bisa dihidupkan lagi. Itu tergantung nanti dalam proses penyedikan.
“Yang terpenting sikap pemerintah dulu, kalau urusan lain, itu belakangan. Toh dalam prosesnya berjalan terus. Karena jangan sampai seperti sekarang, itu ada yang membakar paspor Indonesia karena yakin dia masuk surga dengan berperang bersama ISIS. Nah yang kayak gitu-gitu, itu tidak mendidik dan kurang baik,” jelasnya.
Ketua DKPP ini menilai, salah satu kesalahan pemerintah yang masih berasumsi penuh bahwa UU adalah solusi dan mampu menyelesaikan masalah. Padahal, banyak aturan sebelumnya yang tak dijalankan, dan setelah UU disahkan, pelaksanaannya juga kurang efektif.
Alasan itu pula Jimly menyarankan aturan yang sudah ada dijalankan dengan sebaik-baiknya, soal Revisi UU Terorisme bisa mengikuti. Karena sikap pemerintah yang tegas pasti mengedepankan aspek penindakan.
“Itu artinya sikap dulu yang diutamakan, baru beri kesempatan pengadilan untuk berinovasi dalam bertindak. Walaupun UU belum lengkap, hakim di Indonesia tidak boleh menolak perkara. Prinsip itu sudah ada di UU kekuasaan kehakiman tahun 1970. Itu dipraktikkan saja. Jadi semua warga kita yang ikut perang di sana langsung dicabut (paspornya). Tak ada tawar lagi,” pungkasnya. (HMS)