Menimbang Sistem Pemilu 2019, FS: Proporsional Terbuka atau Tertutup Ada Untung Ruginya, tapi…
JAKARTA, LintasParlemen.com – Isu revisi UU Pemilu terus mengalir di dunia publik khususnya terkait soal sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup. Pro kontra pun terjadi di tengah masyarakat. Ada yang sepakat, ada pula menolak. Yang sepakat dengan sistem pemilu proporsional daftar tertutup karena proporsional terbuka telah gagal selama digunakan dua masa periode pemilu 2009 dan 2014 lalu.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Dewan Pakar DPP Golkar Firman Soebagyo menilai tidak semua sistem pemilihan umum yang demokratis harus terbuka, sebaliknya sistem proporsional tertutup tidak demokratis.
Namun, Firman lebih mendorong kepada sistem pemilu yang akan digodok nantinya di DPR lebih menjunjung tinggi nilai-nilai kedaulatan rakyat dalam proses demokratisasi di Indonesia. Karena dari dua sistem itu, memiliki kelebihan di sisi masing-masing.
Alasan itu, Wakil Ketua Baleg DPR ini mengusulkan bahwa sistem kombinasi di antara keduanya, yakni proporsional terbuka dan proporsional tertutup bisa menjadi salah satu opsi dalam sistem pemilihan umum 2019 mendatang.
“Seperti kita ketahui Jerman ada sistem kepemiluan yang menggabungkan kedua sistem tersebut. Di mana adalah gabungan antara tertutup dan terbuka. Artinya bagini, bagi caleg anggota DPR ketika mereka mendapatkan persentase suara tertentu maka hak suaranya pada caleg yang bersangkutan. Sebaliknya, kalau tidak mencapai persentase yang sudah ditentukan nanti, maka suara kembali kepada nomor urut. Saya kira ini juga menjadi bagian opsi dan salah satu pilihan di pemilu 2019,” ungkap Firman Soebagyo di Ruang Kerjanya, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu, (20/07/2016).
Hanya saja, Sekjen Soksi itu sepertinya lebih sepakat dengan sistem pemilu secara tertutup. Alasannya, lebih banyak unsur nilai positif jika diberlakukannya sistem proporsional tertutup. selama 2009 dan 2014.
“Alasan pertama, anggota DPR itu kan sebagai perpanjangan tangan partai, yang tentunya terus menyuarakan kebijakan-kebijakan partai sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Parpol. Hanya saja dengan sistem pemilu terbuka banyak kader yang berproses dalam pola kaderisasi kalah dari caleg partai yang memiliki modal yang besar. Ini unsur kapitalisme demokrasi di sistem pemilu terbuka, perlu dipikirkan kembali,” ujarnya.
Ketum Ikatan Keluarga Kabupaten Pati, Jawa Tengah (IKKP) ini menuturkan bahwa dengan sistem tertutup membuat sumber daya manusia yang ada dalam daftar caleg yang terpilih menjadi anggota dewan bisa dikontrol oleh partai politik.
“Saya ambil contoh, dari komposisi anggota DPR dari Komisi I hingga Komisi XI kita perlu orang-orang yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kapasitas masing-masing, diharapkan mampu membuat peran lembaga DPR lebih baik dan kuat lagi di masa yang akan datang,” terangnya.
Oleh Karena itu, lanjut politisi alumni UGM ini, jika tetap disepakati menggunakan sistem proporsional terbuka pada pemilu 2019 kelak. Maka pengalaman Pemilu 2009 dan 2014 bisa terulang lagi dengan adanya kompetisi kurang sehat sesama caleg partai secara terbuka, dan cenderung kurang demokratis dan kurang sehat. Apalagi yang terpilih itu yang mereka hanya mengandalkan popularitas dan money politics.
“Berbagai pertimbangan terus kita godok bersama agar sistem pemilu yang ada sesuai dengan kebutuhan polarisasi proses demokratisasi yang sedang berkembang di Indonesia. Sehingga ada opso untuk mengembalikan ke sistem sistem pemilu tertutup.
“Seperti yang saya bilang tadi bahwa dari sistem pemilu terbuka dan tertutup ada plus dan minusnya. Jika sistem terbuka yang digunakan lagi maka nomor urut 2, 3 bahkan 5 bisa terpilih. Karena mereka ingin memacu prestasi dan mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Sedangkan ketika sistemnya tertutup, kemungkinan titik rawan ada ketika penentukan nomor 1 saat penetapan nomor urut caleg. Sehingga nomor urut 2, 3 dan seterusnya tidak terlalu bersemangat untuk bekerja untuk lolos ke Senayan,” terangnya. (HMS)