Din Syamsuddin: Dalam Kondisi Perang pun Rumah Ibadah tak Bisa Dirusak
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Pengrusakan rumah ibadah dalam bentuk apapun tidak dibenarkan oleh seluruh agama yang ada, khususnya ajaran agama Islam yang dibawa oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju sekaligus Chairman Center for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) Din Syamsuddin dalam pernyataannya menyesalkan terjadinya kerusuhan bernuansa SARA di Tanjungbalai, Sumatera Utama itu.
Bukan itu saja, Prof Din, begitu biasa disapa, ikut mengecam adanya pengrusakan rumah ibadah yang terjadi tiap ada gesekan yang disebabkan oleh SARA di sejumlah daerah di tanah air akhir-akhir ini.
Din mengungkapkan, kasus terakhir yang sangat disesalkan oleh mantan ketua MUI itu yakni kerusuhan bernuansa SARA di yang menyebabkan satu vihara dan empat kelenteng hangus terbakar di Tanjung Balai, Sumatera Utara, Jumat (29/08/2016) lalu.
Ketum PP Muhammadiyah Periode 2005-2015 itu mengungkapkan, dalam ajaran agama Islam, saat perang sedang berlangsung tak dibenarkan merusak rumah atau tempat ibadah agama lainnya.
“Kita semua sangat mengecam aksi pengrusakan itu. Dan aksi kekerasan itu tentu, kita sangat menyesalkannya apalagi dengan pembakaran rumah ibadah di sana. Karena kekerasan dalam bentuk apapun, dalam motif apapun tidak ditoleransi. Apalagi rumah ibadah itu sangat dihormati. Bahkan palam perang saja, rumah ibadah tidak boleh dirusak,” jelas Din saat dihubungi, Jakarta, Sabtu (06/08/2016).
Tokoh Lintas Agama ini, mengurai penyebab kerusuhan yang berakibat pengrusakan sejumlah rumah ibadah di Tanjungbalai, yakni disebabkan oleh wawasan keagamaan yang sempit.
Selain itu, sambungnya, Din juga menyebutkan bahwa pengrusakan itu disebabkan pula oleh sikap eksklusif dalam beragama dan intoleran. Dan didorong oleh kata-kata provokatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Jika dilihat dari kejadian yang ada, memang pengrusakan tempata ibadah disebabkan dengan adanya faktor keagamaan yang eksklusif dan sangat ekstremis. Meski demikian ada juga faktor non agama, ada faktor ganda yaitu faktor keagamaan dan sosial ekonomi. Dan saya sendiri tidak tahu mana yang primer, mana yang sekunder. Inilah faktor yang harus dicegah oleh pemerintah dan kita semuà untuk ke depannya,” pungkasnya. (HMS)