Mendagri Batalkan Perda Melanggar Pasal 251 UU Pemda
JAKARTA, Lintsparlemen.com – Beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan sekitar 1.765 Peraturan Daerah (Perda) provinsi atau kabupaten/kota yang tentunya berdampak luas bagi jalannya roda pemerintahan di daerah. Kewenangan membatalkan Perda ini memang diatur Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Namun, wewenang pembatalan Perda oleh Mendagri ini dinilai masih mengandung persoalan konstitusionalitas. Atas dasar itu, Front Pengacara Konstitusi (FPK) mempersoalkan Pasal 251 UU Pemda ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sudah didaftarkan judicial review Pasal 251 UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda, tetapi belum bersidang masih menunggu proses belum register.
Ujar Djafar Ruliansyah Lubis, selaku Kordinator Front Pengacara Konstitusi, Djafar di Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2016.
Pasal 251 ayat (1) UU Pemda menyatakan, “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri”.
Sedangkan Pasal 252 ayat (1) menyebutkan,“Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh Menteri atau oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (4), dikenai sanksi.”
Djafar menilai suatu yang salah terjadi yaitu munculnya wewenang pembatalan Perda oleh Mendagri berangkat dari dianutnya konsep sistem Negara Kesatuan yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Pemahaman ini merupakan sesat pikir yang mesti diluruskan MK. Dia mengutip pernyataan Presiden Jokowi di beberapa media massa yang menyatakan pembatalan Perda tidak perlu dikaji, tetapi langsung dibatalkan.
“Pernyataan ini sesat pikir dalam berkonstitusi, seharusnya ada dasar empiris, yuridis dan sosiologis ketika membatalkan Perda,” kata dia.
Menurutnya, konsep pengawasan pemerintah pusat hanya sebatas preview terhadap Rancangan Perda sebelum diundangkan, bukan membatalkan Perda yang sudah disahkan Pemerintahan Daerah (Kepala Daerah dan DPRD).
“Seharusnya saat masih Ranperda disitulah control pemerintah pusat cq Kemendagri mengevaluasi dan sinkronisasi terhadap peraturan yang lebih tinggi,” ungkap Djafar.
Karena itu, pembatalan ribuan Perda yang sudah dilakukan Mendagri jelas-jelas inkonstitusional dan error in persona dalam hal ini . Sebab, kewenangan membatalkan Perda sejatinya milik Mahkamah Agung (MA) sesuai Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (judicial review).
Apalagi, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota termasuk hierarki turunan dari peraturan perundang-undangan.
“Kewenangan ‘pembatalan’ dalam Pasal 251 UU Pemda harus dimaknai ‘proses pengujian terlebih dahulu dan pengujian menguji dan membatalkan Perda-Perda ada dalam wewenang MA.” Jelasnya.
“Inilah Negara RI kalau dijalankan oleh Sekelompok atau Segelintir orang yang tidak mengetahui hukum tata negara dan hukum administrasi negara, semua saling tabrak dan saling dilanggar.” ungkapnya.