Memandang Ahok dalam Perspektif Rindu dan Demokrasi
Oleh : Ubedilah Badrun*
Kurang lebih dalam satu tahun ini terlalu banyak perspektif orang memandang Ahok.
Bagi mereka yang merindukan ketegasan, kehadiran Ahok seperti jawaban dari rindu yang terpendam.
Ketika Ahok marah baginya adalah kejutan rindu yang menaikan adrenalin yang mengasyikan.
Ahok seperti sebuah puisi yang mewakili hasrat para perindu. Penggusuran yang dilakukan Ahok seperti ekspresi yang diterima alam bawah sadar tanpa nalar kritis.
Ahok diterima karena rindu yang menggila pada ketegasan sang pemimpin.
Mungkin mereka dulu pernah menjadi objek kekerasan sistemik yang mempesona, yang dikendalikan pemimpin tegas diktator kemudian tumbang pada 18 tahun lalu.
Jika melihat partai partai pendukung Ahok, adalah fakta yang tidak bisa dibantah bahwa mereka dulu bersatu dalam partai yang sama yang dulu berkuasa 32 tahun di negeri ini.
Ahok juga jawaban bagi mereka yang memandang dengan nalar muak pada gubernur korupsi. Ahok membongkar korupsi APBD yang kerap dilakukan gubernur bersama DPRD.
Ahok melawan sesuatu yang diyakininya sebagai mark up anggaran APBD yang dibuat DPRD, sampai-sampai APBD hasil paripurna DPRD tidak dipakai Ahok ketika disodorkan kepada Mendagri.
Oleh mereka Ahok dibaca sebagai manusia suci yang tidak pernah korupsi dalam kasus apapun, termasuk kasus UPS, Transjakarta, Sumber Waras, maupun reklamasi.
Karena manusia suci, membelanya diyakini sebagai jalan suci. Temuan lembaga negara dengan sistem akuntabilitas yang canggih sekelas BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Republik Indonesia (RI) terkait korupsi pada kasus lego Sumber Waras dinilainya tidak benar.
Bagi mereka yang memandang Ahok dengan cara membenci isu SARA, serangan terhadap etnis Cina-nya Ahok dinilai sebagai serangan diskriminatif.
Oleh karenanya Ahok dipahami sebagai minoritas etnis korban diskriminasi yang harus dibela. Maka pembelaan terhadap Ahok muncul bertubi-tubi sebagai ekspresi perlawanan terhadap sikap diskriminatif.
Mereka yang dengan cara pandang ini seringkali memposisikan diri sebagai pejuang hak azasi. Menariknya posisi pejuang hak azasi ini seringkali dikapitalisasi. Atas nama hak azasi dipakai untuk menutupi pelanggaran hak azasi lainya.
Ada juga yang membaca Ahok dengan cara pandang membenarkan imaging policy (pencitraan kebijakan)-nya. Kebijakan Ahok dianggap paling konkrit dan hebat, lalu diberitakan besar besaran dengan citra positif.
Seperti misalnya penggusuran paksa di Jakarta dengan korban 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Dari jumlah kasus tersebut, 72 kasus (63 persen) tidak ada solusi bagi warga korban.
Kasus yang mendapat solusi pun tidak semua warga terdampak mendapatkannya. Seperti yang terjadi pada penggusuran Kampung Pulo, dari 1.041 KK korban gusuran, hanya 500 KK yang tertampung di rumah susun.
Sebagian besar lainnya tidak jelas nasibnya (Sri Palupi, 2016). Ini diyakini mereka sebagai sikap tegas yang berhasil menggusur mereka yang mengganggu keindahan kota.
Cara pandang ini memungkinkan munculnya perspektif bahwa orang miskin seolah tidak boleh hidup di Jakarta. Meskipun faktanya jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada Maret 2015 masih sebesar 398,92 ribu orang (BPS, 2015).
Realitas kemiskinan yang tidak menjadi agenda utama untuk diatasi secara lebih humanis oleh Ahok, justru mereka digusur.
Coba berhenti sejenak dengan cara pandang di atas, bukankah Ahok ini ramai karena memasuki arena politik. Mungkin jika di arena lain, Ahok hanya ada di kesunyian.
Karena memasuki arena politik maka cobalah membaca Ahok dengan cara pandang politik dan cara pandang politik yang tepat adalah cara pandang demokrasi.
Jika kita merujuk perspektif klasik Abraham Lincoln bahwa demokrasi dimaknai sebagai a government of the people, by the people, and for the people.
Makna klasik itu memberikan panduan logis bahwa soal Gubernur DKI biarlah rakyat banyak yang menentukan, bukan kita yang ngotot dengan cara pandang kita kecuali kita adalah partisan atau bagian dari mereka yang ikut kontestasi.
Jika menjadi bagian mereka maka seringkali nalar kritis dipaksa untuk diletakan di dengkul demi kemenangan. Maka, perdebatan diantara partisan dengan non partisan dipastikan tidak akan menghadirkan diskursus yang sehat.
Cara pandang demokrasi juga mengajarkan kepada kita untuk menggunakan logika demokrasi substantif dan logika demokrasi representatif.
Dalam logika demokrasi substantif siapapun dari etnis manapun dan agama apapun memiliki hak yang sama untuk ikut dalam kontestasi politik.
Jadi Ahok punya hak yang sama untuk ikut dalam pilkada DKI 2017. Ia tidak boleh di diskriminasi. Sementara dalam logika demokrasi representatif mengajarkan kepada kita tentang pentingnya menghargai representasi.
Misalnya pemilu legislatif pada 2014 lalu dimenangkan oleh PDI Perjuangan dengan perolehan suara 1.410.173 suara (KPU DKI,2014), maka secara representatif yang memiliki hak politik lebih besar menjadi gubernur DKI Jakarta adalah kader dari PDI Perjuangan, bukan mereka yang bukan kader PDI Perjuangan.
Ahok itu bukan kader PDI Perjuangan. Jika menggunakan representasi Pilkada DKI 2012 pun ketika dimenangkan Jokowi-Ahok itu adalah representasi dari dua partai pemenang pada pileg 2014 yaitu PDI Perjuangan dengan perolehan suara 1.410.173 dan pemenang kedua Partai Gerindra dengan perolehan suara 610.780.
Dua partai inilah secara demokrasi representatif memiliki hak lebih besar untuk berkuasa di DKI pada 2017. Pilihannya dengan cara pandang ini hanya dua calon gubernur, dari PDIP atau dari Gerindra atau dipadukan keduanya.
Efek perspektif demokrasi representatif ini pada akhirnya akan menghadirkan pemerintahan DKI yang efektif karena dukungan penuh dari partai yang menguasai parlemen atau DPRD DKI Jakarta.
Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka efektifitas jalanya pemerintahan daerah akan sering mengalami jalan buntu.
Jakarta akan lambat maju dibanding kota – kota lain di Asia Tenggara. Dampaknya secara nasional akan menjadi beban pemerintah pusat. Maka cobalah memandang Jakarta 2017 dengan peta kacamata demokrasi!
*Analis Sosial Politik UNJ dan Direktur Eksekutif Puspol Indonesia