LAD: Pelindung atau Buldozer Kebudayaan?
Oleh: Mukhtar Tompo
Anggota DPR RI Fraksi Partai Hanura
Beberapa hari ini saya terus mengikuti perkembangan berita kisruh perebutan hak atas “Kerajaan Gowa”, apalagi setelah terbitnya Perda Kabupaten Gowa No. 5 Tahun 2016 tentang Penataan Lembaga Adat Daerah. Setelah mendengar keresahan masyarakat Gowa, yang merupakan salah satu Kabupaten di Daerah Pemilihan saya (Sulawesi Selatan 1), maka dengan ini saya menyampaikan pandangan sebagai berikut:
Eksistensi Kerajaan Gowa, mengingatkan kita bahwa sesungguhnya Indonesia kaya dengan tradisi monarki yang kuat. Perjalanan sejarah bangsa kita diwarnai timbul-tenggelamnya kerajaan-kerajaan di seantero Nusantara.
Hingga kini pun, jejak kerajaan-kerajaan Nusantara masa lampau masih bisa kita temui di banyak tempat. Kerajaan menyimpan rekaman perjalanan sejarah dan budaya sebuah bangsa di masa lampau. Gambaran kebesaran bangsa, tertoreh dalam perjalanan kerajaan Nusantara. Apa yang terjadi di masa kini, tak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu.
Peran kerajaan, sebagai pusat inspirasi budaya dan alat perekat bangsa nyaris terlupakan. Oleh karena itu, penting untuk mengangkat kembali eksistensi kerajaan di masa lampau.
Hal itu harus dipahami bukan upaya menghidupkan kembali monarki di masa lampau, atau gerakan neofeodalisme, tetapi sebagai upaya nyata melestarikan budaya. Kerajaan difungsikan sebagai pusat pengembangan budaya, sekaligus simbol budaya bagi masyarakat setempat dan seluruh bangsa.
Kerajaan Gowa adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara yang turut memberikan andil besar dalam Kemerdekaan Republik Indonesia. Kegigihan kerajaan ini dalam melawan kolonialisme terekam dengan tinta emas sejarah negeri ini.
Beberapa nama besar yang pernah memimpin kerajaan ini, diabadikan sebagai nama jalan, kampus, dan berbagai fasilitas publik di Sulawesi Selatan. Memang, bangsa ini patut mengapresiasi jasa kerajaan ini dalam menopang bangunan ke-Indonesia-an yang kita nikmati hingga hari ini.
Pemerintah Kabupaten Gowa termasuk salah satu daerah yang nampaknya memiliki perhatian untuk melestarikan spirit kebesaran Kerajaan Gowa di masa lampau. Misalnya dengan membantu renovasi Balla Lompoa, yang diklaim menggunakan APBD hingga 20 miliar rupiah dan hadirnya Perda Penataan Lembaga Adat Daerah. Suatu wujud keberpihakan yang layak diapresiasi.
Sayangnya, Perda yang dihasilkan bermotif perebutan hak atas ahli waris Kerajaan Gowa. Memang tugas Pemerintah adalah turut melestarikan budaya dan adat istiadat, termasuk dengan memberikan sokongan anggaran. Namun memberi anggaran, tidak serta merta membuat Pemerintah merasa berhak untuk mengambil alih kerajaan tersebut. Sungguh logika yang kekanak-kanakan.
Perda Lembaga Adat Daerah (LAD) tiba-tiba lahir ketika Kabupaten Gowa baru saja mulai dipimpin oleh seorang Bupati muda, Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo. Awalnya wacana yang mengemuka dalam penyusunan Perda ini adalah seputar penyebutan istilah Raja secara ex officio bagi Bupati Gowa.
Argumentasinya, karena Kerajaan Gowa dianggap sudah berakhir sejak menggabungkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berhubung karena Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang menjadi Bupati pertama di Gowa, maka dalam logika Adnan, seharusnya siapapun Bupati, ia berhak menyandang gelar sebagai Raja.
Bukankah terdapat kontradiksi berpikir dalam logika Sang Bupati? Jika memang Kerajaan Gowa sudah dianggap tiada, mengapa sang Bupati masih terobsesi menjadi Raja?
Belum lagi, masih segar dalam ingatan publik, bagaimana Pemerintah Kabupaten Gowa pernah memberikan dukungan terhadap Andi Kumala Idjo (adik Andi Maddusila) sebagai Raja Gowa ke-37. Semakin nampaklah wajah inkonsisten kebijakan ini.
Kecaman publik yang begitu kuat, membuat para pengusung Perda ini merubah taktik. Istilah “Raja” diganti dengan istilah “Ketua LAD”, namun tetap dengan gelar “Sombayya ri Gowa”. Istilah boleh berganti, namun kudeta terhadap Raja Gowa, I Maddusila Daeng Mannyonri Karaeng Katangka Sultan Alauddin II tetap dilakukan secara fungsional oleh sang Bupati. Sebuah permainan semantik yang melecehkan nalar publik.
Jika lembaga ini sekadar diadakan untuk melakukan pelestarian budaya, tidak cukupkah ada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, sehingga seorang Bupati harus turun tangan langsung pada ranah teknis. Saya tidak melihat ada urgensi baik dari sisi yuridis, filosofis maupun sosiologis kehadiran Perda ini. Bahkan Perda ini lebih berfungsi sebagai buldozer kebudayaan, daripada menjadi pelindung kebudayaan.
Perda ini lebih terlihat seperti “politik bumi hangus” pasca Pilkada. Apalagi, sang Raja Gowa saat ini, telah beberapa kali berkompetisi dengan klan sang Bupati dalam perebutan kursi Kepala Daerah.
Harapan Terhadap Bupati Gowa
Saya termasuk orang yang mendorong “Generasi Y” agar berani tampil menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di semua tingkatan. Masyarakat Gowa telah memilih seorang pemimpin muda, seperti Adnan Purichta IYL, kini di pundaknya harapan dan impian masyarakat Gowa ditambatkan. Daripada terjebak dalam dan konflik yang tidak produktif, yang bahkan bisa mengorbankan masyarakat kecil, lebih baik sang Bupati fokus mengurusi persoalan-persoalan masyarakat yang dirasakan langsung masyarakat.
Sang Bupati sejatinya tak butuh lagi gelar simbolik yang berasal dari masa lampau. Ia telah menjadi “Raja” di hati rakyat yang telah memilihnya. Ia harus membuktikan, bahwa amanah rakyat yang diletakkan di pundaknya tidak akan disia-siakan, apalagi melakukan tindakan yang melukai hati rakyat.
Sebagai pemenang Pilkada, Adnan kini adalah pemimpin bagi masyarakat Gowa tanpa kecuali. Ia bukan hanya Bupati bagi para pendukungnya. Semestinya Adnan merangkul lawan-lawan politiknya, untuk bersinergi membangun Kabupaten Gowa.
Masih banyak pekerjaan rumah yang sebaiknya menjadi fokus sang Bupati. Misalnya dengan fokus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur, meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan, dan program-program inovatif lainnya. Ia harus bisa membuktikan, bahwa memang “generasi Y” sudah pantas mengemban amanah kepemimpinan.
Sebagai jalan keluar, saya berharap Pemerintah dan DPRD Kabupaten Gowa berbesar hati mencabut Perda ini. Jika para para pengambil kebijakan abai terhadap suara rakyat, maka masyarakat Gowa bisa menggugat Perda ini ke Mendagri, atau melakukan Uji Materil ke Mahkamah Agung. Secara pribadi, saya akan mendorong pencabutan Perda ini ke Kementerian dalam Negeri. Sembari menempuh jalan tersebut, saya berharap semua pihak menghindari penggunaan kekerasan, yang hanya akan mengorbankan masyarakat kecil.
Demikian pandangan saya, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip curhat seorang kawan yang menggambarkan atmosfer kebatinan masyarakat Gowa:
Lantik mi mange kalenta a’jari Somba ri Gowa.
Mudah-mudahan tenaja na sosara Bawakaraeng
Mudah-mudahan tenaja na boyai sari’battan na je’ne’ berang
Mudah-mudahan tenaja ni pa bangungi macang Kebo ka ri Tallo
Mudah-mudahan tenaja ni pama’tiki je’ne’ matanna Sultan Hasanuddin
Mudah-mudahan ero inja ki na bara’kaki Pattutoriolonga
Mudah-mudahan tenaja na gesara Tala’salapang
Mudah-mudahan tenaja na esa’ bungung lompoa
Mudah-mudahan tenaja na lanre Kasuwiang sero’, lakiung, parang-parang, tombolo, agang je’ne’, Data’, Bissei, kassi, Saomata.
Mudah-mudahan ero inji Tu Manurung na sailei Butta Gowa
Mudah-mudahan tenaja na calla ki’ Pacallaya
Mudah-mudahan tenaja na tingkoko jangan pallakia ri Balanipa.
Mudah-mudahan tenaja lanre ancini ki’ Amma Toa ya ri Kajang
Mudah-mudahan tenaja na gesara ki Pajung na datu’ ka ri Luwu
Mudah-mudahan tenaja na re’resangi berang na Arunga ri Wajo.
Mudah-mudahan tenaja na Calla ki’ Tujua ri Otong
Mudah-mudahan tenaja na buntuli ki’ Lipang Lompoa ri Bajeng
Mudah-mudahan tenaja na ero limbang tamparan Sultanga ri Bima
Mudah-mudahan tenaja kasiarrang mange ri pallangere na Dato ka ri Malaka
Mudah-mudahan tenaja na angka ki barakkana Syech Yusuf
Mudah-mudahan La’biri’ ji Tallasa’ ta’
Mudah-mudah salama’ ki dunia akhirat.
Mudah-mudahan
Jakarta, 14 September 2016. (sudah dipublish oleh koran fajar, Sulsel)