Momentum Hari Santri Nasional, Seharusnya Pemerintah Jadikan Awal Memperbaiki Mutu Pesantren
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi soal agama dan sosial Sodik Mudjahid menilai bahwa Hari Santri Nasional (HSN) belum positif bagi perkembangan dunia pesantren saat ini.
Menurut Sodik, penetapan HSN oleh Preisden Joko Widodo itu masih sebatas seremonial belakan dan belum memberikan dampak terhadap dunia pesantren. Di mana kebijakan pemerintah belum berpihak pada dunia pesantren di Indonesia.
“Awalnya saya berharap besar dwngan ditetapkannya tanggal 22 Oktober tiap tahun sebagai HSN, kebijakan pemerintah bisa memberikan dampak baik bagi pesantren. Tapi sampai hari ini harapan itu belum juga terwujud,” kata Sodik saat dihubungi Lintasparlemen saat masih memimpin Kunjungan Kerja Komisi VIII ke Sulawesi Selatan, Sabtu (22/10/2016).
Menurut politisi Gerindra itu, ditetapkannya tiap tanggal 22 Oktober sebagai HSN hanya sebatas retorika politik Presiden Jokowi semata kepada kaum santri dan para kiai yang selama ini mendukungnya.
Ia lebih cenderung menyebutkan sebagai hadiah politik Jokowi kepada para pendukungnya yang selama ini menginginkan adanya HSN. Setelah ditetapkan HSN seharusnya diikuti kebijakan pro santri.
Pasalanya, sejak tahun 2015 lalu dengan adanya hari HSN di Indonesia belum ada upaya dari pemerintah agar dunia pesantren lebih maju. Khususnya mengembangkan kualitas santri di pondok pesantren ditingkatkan sebagai buah hasil perjuangan para tokoh kemerdekaan di lingkungan pesantren.
“Bila kita lihat dari kebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama ini bahwa HSN masih sebagai hadiah politik semata dari Jokowi kepada para pendukungnya dari kalangan ulama dan santri. Ini seperti pemberi hadiah politik Jokowi semata yang belum ditindaklanjuti dengan program-program nyata, khususnya untuk pengembangan kualitas santri di seluruh Indonesia,” jelas politisi asal Dapil Jawa Barat I ini.
Apa ukuran alumni aktivis HMI dan PII itu menyebut Presiden Jokowi belum serius menetapkan HSN it? Politisi yang memiliki pondok pesantren “Darul Hikam” di Bandung ini, mengatakan bahwa itu bisa diukur dari politik anggaran pemerintah yang belum baik bahkan sangat minim diberikan untuk pengembangan kualitas santri dan pesantren.
“Setelah ditetapkan HSN oleh pemerintah, seharusnya momentum itu dijadikan untuk mengembangkan kualitas dan mutu pesantren dengan membuat roadmap pembangunan budaya santri yang sistimatis serta terencana. Tujuannya, keberadaan ponpes (pondok pesantren) bisa menjadi salah satu lokomotif perubahan sosial nasional nasional yang positif di tengah masyarakat,” paparnya.
“Saya juga melihat selain anggaran yang sangat minim, masih banyak masalah dalam pendidikan pesantren yang perlu dibenahi seperti membenahi lembaga pesantren, menata SDM (Sumber Daya Manusia), dan memperbaiki kurikulum pendidikan agar santri semakin mampu bersaingi,” sambungnya.
Ia menyampaikan pengalamannya selama mengelola ponpes. Diri menemukan cinta di dalam pesantren. Karena dalam mendidik santri perlu nuansa budaya cinta, membela tanah air agar para santri ini kelak bisa berkontribusi di tengah masyarakat.
Di sisi lain, lanjutnya, seorang santri perlu diajarkan budaya disiplin, kepatuhan, kekompakan, semangat kebersamaan, toleransi, visi hidup, kemandirian hingga mengajarkan kepedulian tinggi di lingkungan sosial yang majemuk.
“Mengelola pesantren mengajarkan banyak hal soal itu. Dan kami berharap ponpes jauh dari intervensi budaya asing yang sekarang sangat mengkhawatirkan seperti gaya bebas, seks bebas, dan narkoba. Sehingga adanya HSN ini bisa memberikan hal positif untuk menumbuhkembangkan karakter positif santri,” terangnya. (Junaedi)