Sri Bingtang Pamungkas?

 Sri Bingtang Pamungkas?

Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman*

Takkan kena Sri Bintang dengan Pasal Aanlags yang diterjemahkan oleh Ali Said DKK sebagai makar ke dalam KUHP yang dimasukkan ke Kamneg (Keamanan Negara). Saya sudah sampaikan pesan Tito Karnavian, Kapolri kepada Sri Bintang yang minta agar Sri Bintang kooperatif dalam proses BAP agar penahanan Sri Bintang dapat ditangguhkan sebagaimana kesepakatan dengan Tito.

Bintang menolak, dan memilih sikap sesuai hukum. Ia hanya mau menjawab yes, no, dont know, dan no answer. Sikap itu memang sesuai dengan Hukum Acara (KUHAP). Bintang memilih di penjara sampai Cinaisasi dihentikan. Pidato Bintang yang dijadikan bukti oleh Penyidik di antaranya adalah Pidato Cinaisasi di bawah jembatan Kalijodo di atas puing penggusuran yang dilakukan Ahok menggunakan Polisi dan Tentara.

Jika hanya pidato itu buktinya, aanslags tak kena. Mengapa Aanlags dirujuk, karena hukum prudensi di mana KUHP diterjemahkan dari 2 dari 4 Wetboek Van Strafrecht (buku KUHP Belanda) menjadi idiom kata Makar dalam KUHP Indonesia tahun 1981.

Aanslags adalah instrumen untuk melindungi raja Belanda pada masa tahun 1802. Semasa VOC. Beberapa pasal yang berkaitan sudah dinyatakan tak mengikat oleh MK, di antaranya penghinaan terhadap Kepala Negara diajukan oleh Eggi Sudjana. Yaitu tadi, Kepala Negara bukan raja yang berstatus menjajah seperti Raja Belanda yang menjadi kolonial atas Hindia Belanda.

Pada Kepala Negara ada hubungan setimbang social contract dengan rakyat yang didasarkan kepada azas demokrasi dan HAM, bukan azas kolonialisme di mana HAM tak dikenal.

Di KUHP terdapat 5 dari 25 pasal yang menyangkut aanslag. Harus dipuji sikap warrior Bintang, daripada badannya di luar tapi pikirannya dipenjara. Artinya, lebih kejam daripada badannya bebas tapi pikirannya dipenjara akibat penangguhan.

Pidato Bintang yang dimuat Youtube yang jadi bukti, dipelajari oleh seantero Sosmed. Dan, meledaklah anti Cinaisasi tentang TKA Asing yang masih bergulir hingga hari ini. Dan apa yang dikemukakan Bintang benar adanya.

Semua tokoh aktivis era Orba, paham Bintang. Ia bukan tipologi pemberontak, melainkan kritikus yg tajam sejak Presiden Soeharto.

Maka muncul anekdotnya ketika ia ditangkap karena berdemo di Jerman tatkala Presiden Soeharto kunjungan kerja di sana. Sri Bintang Pamungkas ditangkap karena namanya. Pak Harto itu jenderal besar, bintang lima. Eh, datang Sri Bintang memakai nama Bintang Pamungkas yang hanya digunakan oleh Kresna dalam legenda Pewayangan. Cendana tersinggung, makanya ia ditangkap.

Pakai titel Sri pula. Padahal Sri itu artinya raja yang hanya dipakai oleh Raja Jawa, Sri Sultan Hamengkubuwono, Wakil Presiden RI.

Sri Bintang butuh sidang pengadilan untuk menyiarkan pikirannya!

Saya kenal baik Sri Bintang Pamungkas. Mantan Ketua DPP PPP itu direcall atas permintaan Cendana karena kritis. Dengan alasan itu, Bintang menjadi Saksi Fakta di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Judicial Review yang saya ajukan tentang Recall yang diajukan DPP PAN ke DPR atas nama saya.

Skornya, saya kalah 4 banding 5. Sebanyak 4 hakim MK disenting opinion (menerima), 5 hakim menolak. Ketua MK Jimly melakukan disenting terbuka. Putusan MK ini menimbulkan preseden karena selisih yang setuju dan tak setuju minim, yaitu 1 suara plus disenting terbuka itu. Tapi di Mahkamah Agung recalling tadi dibatalkan inkraht.

Itu Sri Bintang yang saya kenal. Idealis, kritis, tapi tak suka kekerasan (djoko edhi).

Penulis, Mantan Anggota Komisi III yang Menangani Soal Hukum DPR dari Fraksi PAN

Facebook Comments Box