Firman Soebagyo, Rasionalitas Aktual dalam Berpolitik
JAKARTA – Adalah Firman Soebagyo sebagai politisi senior Partai Golkar yang saat ini dipercaya mengawal regulasi yang akan diundang-undangkan di Senayan melalui jabatan Wakil Ketua Baleg (Badan Legislasi) DPR RI.
Pria kelahiran Pati, Jawa Tengah 1953 yang juga Anggota Komisi IV DPR ini, dikenal sebagai figur politisi yang memiliki pemikiran kontemporer jauh ke depan.
Dengan perilaku santun yang mengedepankan sikap moralitas dan rasionalitas tinggi dalam berpolitik membuat dirinya tetap dipercaya menjabati beberapa amanah seperti Sekjen Soksi, Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI. Namun, melalui jabatan yang diembannya itu, Firman merasa perlu semakin berkarya bersama rakyat.
“Setiap keputusan dalam politik, harus terlebih dahulu melalui pertimbangan yang matang. Sebab, logika politik bagi saya tidak cukup like or dislike saja. Tapi politik itu perlu melampaui batasnya sendiri untuk tetap mengedepankan moralitas tinggi. Melampaui sentimen-sentimen parakial dan komunal, bahkan melampaui kepentingan-kepentingan pragmatis,” jelas Firman saat ditemui di ruangannya, Kamis, 17 Desember lalu.
Sejatinya, Firman Soebagyo bukanlah nama baru dalam kancah politik nasional. Sudah banyak jabatan yang pernah diembannya. Ia seorang kader cemerlang di Partai Golkar. Di Baleg DPR RI sebagai andalan fraksinya untuk melahirkan undang-undang agar nantinya bisa menjadi pijakan masyarakat Indonesia.
Keseriusannya menekuni aktifitas politik, ternyata berhasil membawa kader Partai Golkar ini menembus puncak kekuasaannya. Sehingga dirinya dipercaya menjadi wakil rakyat di Senayan untuk periode 2009-2014 hingga 2014-2019 melalui Dapil Jawa Tengah III. Periode 2009-2014, Firman dipercaya menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang membidangi masalah Pertanian, Kelautan, Bulog dan Kehutanan.
Namun, saat periode 2014-2019 Firman Soebagyo tetap di Komisi IV DPR RI sekaligus sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR.
Dengan jabatan tersebut, Firman tetap bersikap politik yang rasional yang lahir dari sebuah tindakan dengan pijakan etika dan moral. Karena sikap ini bukanlah manifest dari sikap seorang politisi peragu atas sebuah pandangan politik yang jauh ke depan. Sikap itu sebagai keputusan prudent seorang panglima. Apalagi “gelanggang” politik sering diibaratkan seperti medan perang.
“Hanya panglima-panglima yang cerdik, dan gagah berani yang akan dapat memenangkan peperangan. Politik itu adalah harus rasional,” ujar Vice President Direktur Lembaga Pusat Pengembangan UKM, kerjasama Kadin Indonesia, BRI dan PT Telkom ini.
Betul saja apa yang dikatakan Firman Soebagyo bahwa politik diperlukan kemampuan berpikir analitik sebagai ahli strategi dalam politik. Tepatnya pada Pilkada di Kepulauan Seribu saat diamanahkan oleh partai sebagai Ketua Korwil II DPP Partai Golkar, Riau dan Kepri dengan kemenangan di atas 80 persen. Bila ditilik dari prestasi, hal itu di atas rata-rata yang melampaui kemenangan di pilkada seluruh Indonesia.
Menurut Firman, dirinya menemukan rasionalitas dan aktualitas politik yang yakini itu di partai berlambang pohon beringin. Partai politik bagi Firman, harus mengedepankan etika dan moral serta berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.
“Oleh karena itu, partai politik sebagai kendaraan untuk memberdayakan kesejahteraan rakyat. UKM (usaha kecil menengah, red) menjadi basis utama implementasi dari rasionalitas politik untuk “Membangun Indonesia dari Desa.” Di mana memberdayakan masyarakat pedesaan yang pada umumnya petani, nelayan dan berorientasi pada UKM,” terangnya.
Ia mengaku dirinya pernah menggawangi berbagai kemenangan kader Golkar di sejumlah daerah di beberapa Pilkada. Di era kepemimpinan Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla, dirinya menjabat sebagai Ketua DPP Partai Golkar Korwil Riau dan Kepri ini. Prestasi di ajang pilkada seperti ini tentu saja nilai tambah untuk meningkatkan dukungan suara bagi Golkar di tingkat nasional.
Insting politik Firman makin terasa dan teruji. Khususnya saat Jusuf Kalla tidak ngotot untuk mencalonkan Jusuf Kalla Sebagai Presiden, bukan tanpa alasan. Firman tetap bergeming di tengah berbagai tuduhan yang diterimanya. Baginya, saat itu pilihan yang paling rasional adalah menjadikan Golkar tidak sebagai rival dari Partai Demokrat, melainkan lebih sebagai mitra koalisi.
Analisis politik Firman sangat tajam. Firman berpendapat, sebagai sikap politik “irasional” tidak mungkin terwujud tanpa adanya penggabungan antara rasionalitas dan aktualisasi. Pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014 lalu untuk diusung oleh Partai Golkar. Ia mengusulkan agar Partai Golkar tidak mengusung calon sendiri dan berpisah dengan Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Firman mendorong agar partainya lebih memilih melakukan melakukan konsolidasi secara kondusif di internal partai. Namun keputusan tersebut tak dipilih oleh partai dengan mengusung Jusuf Kalla-Wiranto. Dari ramalan itu terbukti, jagoan Partai Golkar “keok” di hampir seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di ajang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2009-2014.
Ini adalah yang membuktikan ketajaman analisa Firman sebagai politik yang rasional. Andai keputusan partai Golkar tetap berkoalisi dengan Partai Demokrat, mungkin ceritanya berbeda, tetap SBY-JK.
Ketepatan pilihan politik Firman sebagai penerapan dari konsep “politik rasional” juga terlihat dari pemilihan Wakil Ketua DPR, Pimpinan MPR dari Fraksi Partai Golkar, dan perebutan Ketua Umum Partai Golkar 2009 -2015. Calon-calon yang didukung Firman berhasil memenangkan kompetisi. Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR), Hajriyanto Thohari (Pimpinan MPR) dan Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar).
Dari kepiawaian tersebut, ternyata sosok Firman lahir dari latar belakang kehidupan yang sederhana. Namun siapa sangka bahwa politisi berprestasi yang mengedepankan moral ini memiliki sejarah hidup yang berliku dan penuh perjuangan.
Betapa tidak, dia hanyalah seorang yang berasal dari keluarga kurang mampu alias tidak berada. Melalui perjuangan dan kesabaran melalui hidup yang berliku itu, kemudian arena politik yang berhasil membesarkan namanya. Keberhasilannya memasuki dunia politik banyak menorehkan catatan tinta emas dengan sebuah prestasi besar yang cukup sangat bermanfaat bagi rakyat.
Firman lahir dari pasangan orang tua yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Bapaknya juga dipercaya sebagai kepala desa di kabupaten Pati. Sementara ibu hanya ibu rumah tangga biasa.
Firman kecil tumbuh dan besar dalam lingkungan kultur Jawa yang cukup kental. Tradisi itu diwariskan secara turun temurun dari kedua orangtuanya, terutama sang ayah. Begitupun lingkungan pendidikan formalnya. Di tengah masyarakat, pendidikan Firman sangat memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi perkembangan kejiwaannya. Ia tumbuh dengan pribadi yang njawani (yang kental budaya Jawa, red).
Lingkungan pendidikan formal Firman di masyarakat memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi perkembangan kejiwaannya. Setelah tamat SMA, Firman kemudian melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM).
Firman yang sebelumnya kental dengan identitas Jawa dari tempat tinggalnya di Jawa Tengah, perlahan mengalami perubahan. Firman mulai mengenal identitas yang sangat beragam dengan berbagai latar belakang. Di sanalah Firman mulai mengenal dunia organisasi yang akan menuntunnya untuk terjun ke kancah politik.
Metamorfose identitas Firman tersebut, diperlihatkan terutama ketika dia mulai mengalami persentuhan dengan dunia di luar. Khususnya, saat dirinya menimba ilmu di UGM. Firman remaja yang sedari awal membawa identitas njawa ke kampus UGM yang cukup kental dari tempat tinggalnya di Pati, Jawa Tengah. Lahan tapi pasti, Firman tumbuh semakin kental dengan dunia rasionalitas keilmuan tinggi dengan perubahan yang luar biasa.
Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” telah menjadi tempat yang cukup kondusif bagi tumbuhnya identitas-identitas baru bagi siapapun, tidak terkecuali bagi Firman. Karena kota gudeg ini telah menjadi tempat pertemuan dari beragam identitas yang sangat beragam, dengan identitas dari seluruh penjuru nusantara.
Ternyata fase ini tentu saja cukup membekas dalam diri Firman saat dirinya haus menimba ilmu. Ini juga yang pada gilirannya menjadi batu ujian bagi dirinya, yang merupakan seorang anak desa di tengah derasnya perubahan dan tantangan zaman.
Di sinilah, dia akan mengalami fase-fase evolusi kebudayaan, yang di dalamnya terjadi adaptasi, asimilasi, akulturasi, dan bahkan imitasi budaya dari lama ke yang baru. Kota Yokyakarta ini juga akan menjadi tempat moderasi identitas barunya sebagai seorang anak Jawa.
“Bagi saya, karakter tidak bisa dikembangkan dalam keadaan nyaman. Hanya melalui percobaan dan penderitaan jiwa bisa diperkuat, ambisi dilahirkan, dan keberhasilan dicapai,” cerita Firman terkait keberhasilannya melewati titik perjuangan hidupnya.
Sosok Firman Soebagygo mirip dengan kesimpulan motivator Hellen Keller. Di mana Firman telah menempa hidupnya dari puing-puing harapan dan kerja keras selama masih muda. Hingga kini dia telah meraih mimpinya.
Firman sendiri oleh teman-temannya dikenal sebagai sosok politisi santun yang selalu mengedepankan rasional dalam berpolitik.
Artinya setiap keputusan dalam politik, harus terlebih dahulu melalui pertimbangan yang matang. Logika politik baginya tidak cukup like or dislike. Ia harus melampaui itu. Melampaui sentimen-sentimen parakial dan komunal, bahkan melampaui kepentingan-kepentingan pragmatis.
Pendidikan
S1, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak jelas kapan masuk dan keluarnya)
S2, Universitas Padjajaran, Bandung (2008)
Perjalanan Politik
2014, Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Jawa II Partai Golkar
2004-2009, Partai Golkar, Ketua DPP Bidang Kesejahteraan, Jakarta
2009-2010, Partai Golkar, Ketua DPP Bidang Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, Jakarta
2010-2015, Partai Golkar, Ketua DPP Bidang Pemilu, Jakarta
2009-2014, DPR/MPR-RI, Anggota, Jakarta (Wakil Ketua Komisi 4)
1997-1999, MPR-RI, Anggota, Jakarta
Visi & Misi
“Membangun Indonesia dari Desa” di mana rakyat di pedesaan (yang umumnya adalah petani dan nelayan) bukan hanya menjadi subjek tetapi berdaya sendiri dan menjadi tulang punggung desanya karena mereka berbasis pemilik usaha (UKM dan koperasi). (Diolah dari berbagai sumber)