Sun Tzu’s War Strategy: Perspektif Indonesia (1)
Oleh: Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin*(Bagian I dari dua tulisan)
Literatur dari Tiongkok telah lama di kenal di Indonesia. Penjajah Belanda dan Inggrislah yang membawa terjemahan buku-buku filosofi dari Tiongkok ke Indonesia sejak abad 18-an. Presiden Pertama RI, Soekarno misalnya, kerap menyebut nama tokoh-tokoh pergerakan Tiongkok ketika ia aktif berpidato.
Secara spesifik, Presiden Soekarno tidak pernah menyebut nama Sun Tzu, namun beberapa ungkapan kunci tentang strategi militer, seperti “Rebut hati dan pikiran rakyat, kuasai logistik musuh, kuasai persenjataan musuh”, menunjukkan bahwa ia pernah membaca buku tentang Sun Tzu.
Paling tidak ia belajar dari gurunya, seorang Founding Fathers Indonesia bernama HOS Tjokroaminoto. Teori Sun Tzu kembali berkembang pesat pada penghujung tahun 1990-an seiring dengan terbukanya akses informasi melalui internet.
Era reformasi 1998 mendorong publikasi bebas, literatur asing telah menjadi bagian perpustakaan publik. Buku The Art of War versi bahasa Indonesia kini dijual bebas di toko buku dan telah banyak seminar di Indonesia yang mengangkat teori Sun Tzu sebagai strategi bisnis yang jitu.
Justifikasi teori Sun Tzu di Indonesia
Walaupun tidak secara transparan, pada umumnya para pemimpin militer Indonesia, dengan doktrin teritorialnya telah menerapkan strategi Sun Tzu. Demikian pula dengan kegiatan intelijen penggalangan “ to win the heart and mind of the people”.
Hal ini menunjukkan bahwa teori Sun Tzu memang telah lama dikenal di Indonesia, dalam bentuk implementasi di lapangan. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1947-1949, tokoh terkemuka dalam perang gerilya Indonesia adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dalam bergerilya beliau dikenal sangat menghormati hak-hak dan harta benda rakyat.
Panglima Besar Jenderal Soedirman yakin bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas himpunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga.
Bagi Panglima Besar Jenderal Soedirman, rakyat dan tentara itu bagaikan air dan ikan, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Integritas, kesederhanan, semangat juang dan sikap pantang menyerah terhadap ultimatum Belanda yang secara fisik ditunjukkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman telah membuat anak buah dan rakyat rela berkorban untuk membela perjuangannya.
Rakyat telah menjadi pelindung dan sekaligus mata telinga para pejuang yang sedang bergerilya di hutan sekitar perkampungan. Bekal logistik untuk mendukung anak buahnya juga berasal dari lumbung rakyat yang terpaksa harus dibeli dengan uang hasil penjualan perhiasan istrinya.
Tindakan Panglima Besar Jenderal Soedirman yang tidak pernah merugikan rakyat, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat telah mengilhami TNI untuk menjadikannya contoh dalam membina wilayah teritorial di masa damai.
Strategi Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman menunjukkan suatu justifikasi penerapan teori Sun Szu di lingkungan militer Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
Pada tahun 1970-an, beberapa komandan satuan dalam melaksanakan pembinaan satuan sudah mulai menjadikan teori Sun Tzu sebagai referensi memimpin pasukan. Ajaran Sun Tzu yang paling popular waktu itu misalnya “Ketahuilah musuhmu dan kenalilah dirimu, maka engkau akan menang dalam seratus kali pertempuran”.
Pada tahun 2009 secara formal teori Sun Tzu baru diajarkan sebagai referensi kurikulum strategi di Universitas Pertahanan Indonesia. Tahun 2013 teori Sun Tzu mulai dikenalkan kepada siswa Sesko Angkatan.
Banyak teori Sun Tzu yang dapat diaplikasikan dalam dunia militer, bisnis, sport dan pendidikan, namun di sini saya hanya akan menyampaikan beberapa contoh teori yang cocok untuk dunia militer, politik dan bisnis di Indonesia sebagai berikut :
Di dunia militer Indonesia
Dalam memenangkan hati dan pikiran rakyat di suatu wilayah, TNI melaksanakan strategi pembinaan teritorial. Kegiatan Binter sama sekali tidak menggunakan alat peralatan perang, namun sebaliknya prajurit TNI hanya “menggunakan“ alat peralatan petani, tukang, alat bantu pendidikan dan kelengkapan sipil lainnya untuk memberdayakan wilayah pertahanan.
Adapun sasaran pembinaan teritorial adalah terwujudnya Lima Kemampuan Teritorial tingkat Satuan” yang meliputi: Kemampuan Temu Cepat dan Lapor Cepat, Kemampuan Manajemen Teritorial, Kemampuan Penguasaan Wilayah, Kemampuan Pembinaan Perlawanan Rakyat dan Kemampuan Komunikasi Sosial.
Tercapainya 5 sasaran Binter yang tidak lain sama dengan tercapainya penguasaan suatu wilayah geografi lengkap dengan penduduknya dengan cara membantu mengatasi kesulitan masyarakat tanpa menggunakan alat peralatan perang menunjukkan justifikasi terhadap aplikasi teori Sun Tzu “A Great General Wins Without Battle.”
Di dunia Politik: Menyelesaikan Konflik Aceh.
Bencana Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 telah mengubah strategi TNI yang tadinya datang untuk bertempur kemudian beralih menolong rakyat. Hal ini mengubah perlawanan separatis GAM menjadi tidak berdaya sehingga kedua belah pihak menghentikan pertempuran.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, bertempat di Helsinki, Finland kedua pihak menandatangani MoU untuk mengakhiri konflik di Aceh. GAM pada akhirnya menerima otonomi khusus yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia.
Di dunia bisnis Indonesia: A great General Wins Without Battle diaplikasikan dengan strategi “Merebut pasar tanpa merusaknya”. Sun Tzu berkata: “Umumnya dalam suatu perang, kebijakan terbaik adalah untuk mengambil keadaan secara utuh; merusaknya adalah lebih rendah daripada itu”. Sun Tzu juga mengatakan, “untuk memenangkan seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah puncak keterampilan. Untuk menaklukkan musuh tanpa pertempuran adalah puncak keterampilan”.
Demikian pula dalam bisnis. Karena tujuan dari bisnis adalah untuk bertahan hidup dan berkembang, maka kita harus merebut pasar. Namun, kita harus melakukannya sedemikian rupa sehingga pasar tidak hancur dalam proses merebutnya.
Sebuah perusahaan dapat melakukan hal ini dalam beberapa cara, seperti menyerang bagian pasar yang kurang terlayani atau dengan menggunakan pendekatan halus, tidak langsung, pada pangsa pasar yang rendah yang tidak akan menarik perhatian pesaing.
Apa yang harus dihindari di semua langkah ini adalah perang harga. Penelitian telah menunjukkan bahwa serangan dengan membanting harga yang terlalu cepat akan mendapat tanggapan agresif dari pesaing, serta meninggalkan pasar tanpa keuntungan.
Contohnya adalah bagaimana baju batik tulis dengan kualitas tinggi dan harga yang memang relatif mahal mampu merebut pasar di tanah air sendiri, mengalahkan baju-baju import. Demikian pula dengan produk kerajinan tangan dan kuliner asli Indonesia yang telah tumbuh dengan nama dagang unggulan (branded) tanpa merusak pasar tradisional.
Hindari Kekuatan Pesaing Bisnis Anda, dan Menyerang Kelemahan Mereka Sun Tzu berkata: ”Pasukan tentara bisa diibaratkan seperti air, yang mengalir berkelok menghindari ketinggian dan mengalir deras menuju dataran rendah, sehingga strategi yang dikembangkan adalah menghindari kekuatan dan menyerang titik lemah/ Center of Gravity”.
Cara berperang Barat seringkali digunakan dalam persaingan bisnis, hal ini menyebabkan banyak perusahaan memulai serangan bisnisnya secara langsung terhadap titik terkuat pesaing bisnis mereka.
Pendekatan ini membuat strategi bisnis mengarah ke pertempuran gesekan, yang akan berakhir dengan ongkos yang sangat mahal bagi semua pihak yang terlibat. Sebaliknya, dengan pendekatan Sun Tzu, maka kita harus fokus menyerang kelemahan kompetitor, sehingga dapat memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan penggunaan sumber daya.
“Kenalilah musuhmu dan kenalilah dirimu, niscaya anda akan berjaya dalam ratusan pertempuran (if you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles).”
Dalam setiap pelaksanaan latihan tempur para prajurit diharapkan mampu menganalisis 5 aspek medan di hadapkan pada faktor TUMMPAS (Tugas, Medan, Musuh dan Pasukan Sendiri) untuk menentukan cara bertindak terbaik dan mampu melaksanakan Prosedur Pimpinan Pasukan (P3).
Dalam proses analisis situasi dengan menggunakan pendekatan TUMMPAS, jelas terlihat bahwa dalam pertempuran, kemampuan untuk mengenal musuh dan pasukan sendiri sangat penting guna mencapai keberhasilan suatu pertempuran.
Dalam asas perang Indonesia, disebutkan bahwa perang di masa datang mengandalkan keunggulan informasi dan teknologi. Keunggulan informasi diperoleh melalui usaha mengembangkan kemampuan dalam menganalisis setiap perkembangan lingkungan strategis serta situasi dalam negeri sehingga terwujud keunggulan informasi secara akurat dan berlanjut.
Sun Tzu menjelaskan dalam prinsip pertama bahwa ada lima faktor penting yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan dan mempelajari peperangan, yaitu politik, cuaca, medan, pimpinan dan doktrin. Kelima hal tersebut dapat disebut sebagai situasi strategis terkait lingkungan, aktor dan kebijakan.
Kelima aspek strategis (situasi strategis) merupakan faktor-faktor yang harus dipahami. Pemahaman dapat dilakukan apabila tersedia informasi yang memadai, yang dapat dilakukan melalui intelijen maupun sumber-sumber pengetahuan terbuka lainnya. (Bersambung)
Penulis: Mantan Wakil Menteri Pertahanan RI