Sun Tzu’s War Strategy: Perspektif Indonesia (2)
Oleh: Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin* (Bagian II dari dua tulisan)
Lesson Learned
The Art of War adalah suatu konsep berpikir berupa strategi berperang yang telah terbukti bersifat aktual dan tetap aplikatif dari waktu ke waktu. Aktual karena strategi Sun Tzu selalu cocok dengan perkembangan peradaban manusia maupun dengan perkembangan teknologi perang dan dapat dipakai di berbagai wujud peperangan.
Teori Sun Tzu bahkan sangat cocok dipakai di era perang irregular, seperti perlawanan Non State Actor terhadap kekuatan yang besar. Strategi Sun Tzu dapat diaplikasikan oleh para ahli strategi dari berbagai bangsa.
Meskipun Sun Tzu lahir dari budaya Timur, para ahli strategi Barat bahkan mengawinkan strategi Sun Tzu dengan strategi perang Clausewitz pada berbagai tahap operasi militer mereka. Di Indonesia, khususnya di Universitas Pertahanan dan pendidikan Sesko Angkatan, strategi Sun Tzu telah dipakai sebagai salah satu referensi dalam kurikulum strategi.
The Art of War selalu menginspirasi terciptanya pikiran-pikiran segar dalam menyusun strategi militer dan bisnis pada masa kini dan mendatang. Keindahan kalimat Sun Tzu yang sarat dengan makna yang dalam seringkali mengilhami para ahli strategi dalam menemukan solusi suatu masalah.
Sun Tzu sangat piawai mengibaratkan watak manusia dengan alam, watak tentara dengan air yang mengalir, sehingga ajarannya mudah dimengerti. Di Indonesia, kalimat syair, pantun dan mantra acapkali menjadi pola berpikir bangsa Indonesia.
Demikian juga kata-kata mutiara dan amanat tokoh terkenal telah menjadi bagian dari trik untuk memecah kebuntuan dalam berkomunikasi verbal.
The Art of War selalu menekankan pentingnya suatu strategi dan tidak sekedar taktik. Sun Tzu berkata: “Strategi tanpa taktik adalah rute paling lambat menuju kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah kebisingan sebelum kekalahan” (Strategy without tactics is the slowest route to victory. Tactics without strategy is the noise before defeat).
Keberhasilan strategi modern selalu diukur dengan 3 hal yaitu apakah formulasi strategi tersebut sesuai, dapat diterima dan memungkinkan untuk dilaksanakan? Agar dapat memenuhi ketiga syarat tersebut maka penyusunan strategi dibuat secara hirarki dan dilaksanakan sesuai rantai komando.
Sebagai contoh adalah bagaimana Kementerian Pertahanan menyusun konsep kebijakan pertahanan untuk dijabarkannya menjadi strategi pertahanan, doktrin dan postur pertahanan serta buku putih pertahanan. Selanjutnya secara hirarki produk strategis tersebut dijadikan landasan bagi TNI dan organisasi operasionalnya untuk menyusun strategi militer dan strategi operasional lainnya.
The Art of War adalah pisau analisis yang tajam untuk membantu penyusunan suatu kajian di bidang keamanan dan bisnis. Dalam dunia militer dan bisnis, langkah analisis dapat dimulai dengan seksama dengan memahami kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan lawan utama kita.
Sebagai contoh adalah analisis model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threats). Dalam analisis SWOT, di luar kekuatan dan kelemahan ada juga peluang dan ancaman.
Peluang dan ancaman adalah faktor berpengaruh yang berkembang baik di dalam maupun di luar negeri atau di luar suatu perusahaan. Untuk menganalisis apakah sebuah strategi ofensif akan menjamin kemenangan, Sun Tzu mengajarkan agar selalu memperhatikan faktor moral, disiplin, kepemimpinan, cuaca dan medan di samping 9 situasi klasik.
The Art of War mengingatkan para pemimpin untuk selalu melakukan langkah persiapan. Sun Tzu berkata :”Prajurit jagoan itu menang dahulu baru kemudian pergi berperang, sementara prajurit pecundang itu pergi berperang dahulu baru kemudian berusaha untuk menang”.
Penentuan keberhasilan itu ditentukan dalam persiapan yang mendetail dan tidak dalam eksekusi akhir. Dalam suatu rencana operasi militer bahkan disebutkan bahwa persiapan itu adalah 2/3 dari kemenangan yang harus dilakukan untuk menghindari kefatalan.
Perencanaan yang mendetail juga memerlukan geladi, rehearsal dan uji coba agar dalam pelaksanaan sebenarnya kita tidak kehilangan momentum yang dapat membawa kerugian/ korban.
The Art of War seperti doa Sapujagat, karena bersifat universal dan fleksibel. Paling tidak ada 2 asas berperang yang sangat khas TNI yang sejalan dengan teori Sun Tzu, yaitu pantang menyerah dan rela berkorban.
Pertama adalah asas pantang menyerah. Sun Tzu berkata: “Lari untuk bertempur di lain waktu”. Tentara Nasional Indonesia menerapkan salah satu taktik pertempuran dengan melakukan pengunduran dan konsolidasi. Pengunduran pasukan dilakukan manakala sesuai penilaian dan pertimbangan bahwa seluruh rencana aksi akan mengalami kegagalan.
Doktrin TNI menegaskan bahwa TNI tidak akan pernah menyerah dalam situasi apapun baik dalam pertempuran maupun tugas-tugas yang dilimpahkan oleh negara. TNI pun memegang prinsip bahwa menyerah adalah kekalahan total, kompromi adalah setengah kalah, mundur bukanlah sebuah kekalahan.
Kedua adalah rela berkorban. Sun Tzu berkata: “Perintahlah anak buahmu sedemikian rupa sehingga mereka mau menjalankan tugas yang terberat pun dengan sepenuh hati. Anda dapat memimpinnya sampai ia mengorbankan jiwanya. Anda dapat memimpinnya agar tetap survive.
Anak buahmu tidak boleh takut akan bahaya atau sesuatu yang bertentangan dengan prinsip hidupnya”. Sifat rela berkorban bagi prajurit TNI diperoleh dari pewarisan nilai-nilai 45, yaitu keikhlasan dan niat yang sungguh untuk mengabdikan diri kepada tugas yang diemban tanpa memperhitungkan untung rugi harta benda, bahkan juga jiwa raga.
The Art of War mengajarkan para pemimpin untuk selalu menghargai waktu, momentum dan timing. Sun Tzu berkata: “Waktu adalah segalanya”.
Kualitas keputusan itu seperti menukik tepat waktu dari seekor elang yang memungkinkannya untuk menyerang dan menghancurkan korbannya. Banyak orang membuat strategi dan keputusan bisnis yang bagus tetapi kemudian segalanya hancur karena salah timing pada saat mengeksekusinya.
Kita perlu menahan dorongan nafsu dan perlu bersabar sejenak, menunggu waktu yang tepat untuk mengambil keuntungan dari sebuah momentum. Jadilah seperti elang kata, Sun Tzu. Kita sangat jarang mendapatkan kesempatan kedua untuk mengeksekusi keputusan secara efektif.
Kemajuan teknologi seringkali membuat kita merasa lebih hebat dibandingkan dengan nenek moyang kita yang lebih penyabar dan telaten. Padahal prinsip-prinsip pokok dari keberhasilan suatu strategi tidak berubah. Sudah saatnya kita tidak mengabaikan sejarah tetapi mempelajari pelajaran apa yang dapat kita petik dari masa lalu sehingga kita bisa memiliki masa depan yang lebih baik.
Namun sebaliknya, kami juga melihat ada beberapa tantangan yang harus dihadapi para pemimpin ketika kita ingin mengaplikasikan teori Sun Tzu.
Perlu integritas yang tinggi. Dibutuhkan seorang yang dapat dipercaya, satu kata dan satu perbuatan, memiliki kepemimpinan yang kuat dan mampu memberikan keteladanan. Teori Sun Tzu sangat dipengaruhi oleh sejarah peperangan di masa lalu yang sangat berwatak perang darat yang kolosal dan linier, sehingga pemimpin harus berada di barisan depan.
Para ahli strategi harus seorang yang visioner. Teori Sun Tzu mengedepankan strategi, bukan sekedar taktik, sehingga pencapaian sasaran tidak serta merta cepat dan dekat. Dalam mengaplikasikan langkah desepsi diperlukan kreatifitas dan kemampuan berimajinasi yang kuat.
Para ahli strategi harus profesional. Diperlukan ketekunan dan keahlian di bidang yang digeluti. Semakin sering seorang strategis berhadapan dengan masalah yang memerlukan solusi strategis, maka ia semakin matang.
Profesionalitas ini diperlukan ketika ia harus tegar memformulasikan strategi yang apabila dilaksanakan akan bertentangan dengan nilai moral dan etik yang dianutnya. Teori perang SunTzu yang menekankan pentingnya desepsi sangat menuntut profesionalitas pelaksana strateginya.
The Art of War yang juga menekankan pentingnya beraliansi/ koalisi barangkali tidak dapat sejalan dengan polugri bebas aktif yang dianut Indonesia. Bagi Indonesia pentingnya beraliansi diintepretasikan dalam wujud kerja sama pertahanan tanpa suatu pemusatan pakta militer. Prinsip penghormatan terhadap independensi itu penting, tetapi harus dilandasi dengan sikap “Mutual benefit and Mutual respect for each other’s teritorial integrity and sovereignty.” Indonesia cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan.
Saya ingin menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Dari persepsi Indonesia, teori Sun Tzu telah diimplementasikan dalam dunia militer dan bisnis semenjak berdirinya Republik Indonesia. Teori Sun berkembang pesat pada penghujung tahun 1990-an seiring dengan terbukanya akses informasi melalui internet.
Kini teori Sun Tzu telah menjadi referensi teori strategi di dunia pendidikan militer dan sipil.
Dari persepsi Indonesia, teori Sun Tzu memberikan implikasi positif yang besar terhadap aspek politik, ekonomi dan pertahanan, namun di sini saya hanya memberikan beberapa contoh aplikasi.
Dari persepsi kultural, teori Sun Tzu sangat aplikatif di Indonesia mengingat adanya kesamaan dan korelasi budaya yang sangat kuat di antara kedua bangsa Indonesia dan bangsa Tiongkok.
Dengan semangat filosofi Art of War dari Sun Tzu, Indonesia menggugah semua bangsa untuk bekerja sama dengan suasana akrab membangun dunia yang damai dan stabil. (Habis)
Penulis: Mantan Wakil Menteri Pertahanan RI