Ada 3 Cara Kuasai Sumber Daya Kekayaan suatu Negara dengan Mempergunakan Senjata Agama
Memodifikasi paham dan spirit agama sehingga mendukung eksploitatornya, seperti menyuntikkan serum liberalisme ke dalam paham agama melalui agen-agennya sehingga agama tidak berfungsi lagi sebagai pembebas dari ketertindasan manusia, tetapi berganti menjadi agama yang ramah terhadap ekploitator, bahkan ekploitator dipandangnya sebagai panutan yang agung.
Elit-elit agama yang liberal ini sibuk dengan aktivitas kolaborasi dan penyesuaian paham agama dengan penekan-penekannya yang tujuan utamanya hanya sekedar mendisfungsikan agama sebagai sumber spirit yang membebaskan bagi massa.
Menyuburkan aspek-aspek fatalisme dan pasifisme dari agama dengan menciptakan upacara-upacara seremonial keagamaan sebagai panggung bagi agen-agen para pengeksplitator berkedok religius sekaligus digunakan untuk fungsi konsolidasi yang meninabobokkan massa dan menjauhkan titik perhatian mereka dengan masalah dan kebuhutuhan hidup mereka yang ril, serentak dengan itu, menumpulkan kepekaan rasa dan nalar kritis mereka terhadap keadaan sebenarnya yang mereka hadapi.
Jika 2 hal itu tidak dapat diterapkan, maka ciptakan kelompok skisma dan firqoh dari internal lalu pertajam menjadi konflik yang menyibukkan mereka dan sekaligus melupakan masalah sebenarnya, dan di atas itu, masukkan pihak otoritas untuk melokalisir konflik dan bila perlu melenyapkan konflik dengan kekerasan sehingga agama tunduk dengan kemauan pihak otoritas dan otoritas dapat dengan mudah melayani pihak eksploitator sumber daya kekayaan tersebut.
Tujuan dari 3 cara primitif tersebut–dan rasanya sudah lama berlangsung di Indonesia, karena negara Indonesia termasuk negara terkaya secara sumber daya alam di muka bumi—hanyalah bagaimana para ekplotator tersebut yang berkolaborasi dengan elit-elit ekonomi dan politik lokal, dapat dengan tenang, lancar dan lestari mengeruk kekayaan di mana massa agama itu berada.
Kalau saya ditanya bagaimana cara keluar dari jebakan penggunaan eksploitasi agama yang sudah berlangsung lama dan malah telah terlembagakan sedemikian rupa hingga dielu-elukan sebagai ini itu, yang terbesar ini yang teragung ini, maka para pembebas dari jebakan / trap subversif agama tersebut, yaitu melancarkan perang atau tarung dari dalam agama tersebut, baik di tingkat massa maupun di tingkat elit.
Jangan coba-coba beroposisi dan menyerang pemerintah sebagai pihak yang disalahkan, karena hanya akan menyediakan peluang bagi pihak yang telah lama menikmati eksploitasi agama untuk kekayaan dan perebutan otoritas massa, untuk mengambil keuntungan dari permintaan dengan menyediakan diri sebagai bumper maupun kolaborator yang menindas gaya perlawanan semacam itu.
Bhre Wira