Agus Yudhoyono, Kekalahan dan Masa Depannya

 Agus Yudhoyono, Kekalahan dan Masa Depannya

Salam Komando AHY-Anis menghadapi Pilkada DKI Putaran II

Oleh : Ubedilah Badrun*
Agus Harimurti Yudhoyono atau dikenal dengan AHY adalah fenomena politik menarik untuk dicermati pada Pilkada 2017. Sejak kesediaanya menjadi cagub DKI September 2016  yang cukup mengejutkan karena menanggalkan karir cemerlangnya di militer, telah menggetarkan lawan-lawan politiknya.

Segera setelah itu langsung ada yang menyematkan label padanya sebagai ‘Anak ingusan’, ‘anak bau kencur’, ‘anak kemarin sore’ dan ‘penerus dinasti Cikeas’. Serangan politik bertubi-tubi meski tidak langsung menyerang dirinya.

Mayoritas lembaga survei yang melakukan survei sebelum september 2016 tidak memunculkan nama AHY, setelah itu baru muncul meski angkanya jauh di bawah 10%.

Dalam dua bulan sejak pencalonannya, elektabilitasnya naik drastis hingga tembus angka antara 20% sampai 28%, sempat mengungguli Ahok dan Anies. Tentu ini angka fantastis bagi pendatang baru. Meski kemudian dua pekan menjelang pilkada mengalami penurunan cukup signifikan.

Hingga pilkada berlangsung 15 Februari 2017, praktis AHY dan tim bekerja dalam waktu kurang lebih 4 bulan. Waktu yang sangat singkat dibanding Ahok-Jarot sebagai Petahana yang sudah bekerja selama lima tahun dan dibanding Anies-Sandi yang sudah bekerja 1 sampai 2 tahun.

Hasil quick count 15 Februari sekitar pukul 15.40 dari lima lembaga survei yang saya hitung, rata-rata perolehan suara masing-masing  sebagai berikut : Agus-Sylvi 18,5%, Ahok-Jarot 41%, Anies-Sandi 40,5%.  Angka 18,5 % setara dengan kurang lebih 1 juta pemilih.

Angka itu tidak sedikit bagi pendatang baru. AHY kalah versi quick count tersebut. Sejauh yang saya amati faktor terbanyak kekalahannya bukan berasal dari dirinya.

Beberapa jam kemudian AHY konferensi pers. Dalam konferensi pers itu ada empat makna dari yang disampaikan AHY. Pertama, menunjukan sikap ksatria nya karena mengakui kekalahan.

Kedua, ia mengkonstruksi cara pandangnya tentang pengabdianya pada negara akan terus berlangsung. Ketiga, ia menunjukan kematangan politiknya karena setelah kekalahan mau berkomunikasi dengan cagub lainya. Keempat, ia menginspirasi anak muda untuk terus semangat dan berkarya.

Pada konteks makna konferensi pers itulah point utama kepemimpinan AHY yang makin ia tunjukan. Konferensi pers nya tidak di dampingi oleh SBY. Itu mengandung pesan bahwa dirinya bukanlah pemimpin dalam bayang-bayang orang tuanya.

Mungkin dalam soal politik, SBY adalah salah satu guru utama politiknya. Ia mau membangun model kepemimpinanya sendiri meski tidak mudah, karena betapapun AHY nampak begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Publik perlu mencermati fenomena politik AHY ini. Untuk melihat secara obyektif dan adil pada AHY.

Sebagai akademisi yang salah satuhya _concern_ dengan perilaku politik elit, dalam pandangan akademik, AHY berpeluang cukup besar menjadi elit politik baru yang cukup berpengaruh bagi masa depan Indonesia. AHY akan mewarnai jagad politik nasonal.

Dalam konteks ini AHY harus mulai belajar dari kesalahan-kesalahan para pemimpin republik ini, termasuk belajar dari kesalahan dan kekurangan ayahnya.

Penulis: Analis Politik UNJ, Direktur Puspol Indonesia

Facebook Comments Box