Anatomi Konflik Masih Sekadar Konflik Ego Elit dan Gumpalan Kecemasan Kaum Muda terhadap Nasib Masa Depannya

Kekuasaan di manapun, akan selalu mengundang konflik dan diiringi konflik hingga kekuasaan itu berakhir. Dalam kasus kekuasaan Prabowo sekarang ini, terdapat dua potensi konflik yang sudah menjelmakan diri: pertama, kaum muda, khususnya mahasiswa yang menilai dan memandang kekuasaan Prabowo tidak memberikan prospek yang menguntungkan bagi aspirasi mereka, setelah struktur kabinet Prabowo masih menampung kepentingan dan orang-orang dari kekuasaan Jokowi. Kekuasaan Prabowo sendiri memang pada dasarnya dibentuk dan ditopang oleh kekuasaan Jokowi sejak dari kampanye hingga pembentukan susunan kabinet. Jadi agak sulit juga mengharapkan jika kebijakan Prabowo akan bertolakbelakag dengan kebijaksanaan Jokowi sebelumnya. Berhadapan dengan hal tersebut, mahasiswa pun turun ke jalan dan menunjukan sikap dan penentangan mereka.
Kedua, Megawati dan PDIP yang mulai menunjukkan sikap bertentangan dengan kebijakan Prabowo. Khususnya melalui larangan terhadap kader-kadernya yang menjabat kepala daerah untuk mengikuti acara orientasi yang dikemas retret di bawah undangan kepala negara, yaitu Prabowo Subianto. Tentu saja larangan dari Megawati ini menimbulkan persepsi terjadinya potensi penentangan, kalau bukan insubordinasi. Di sini, tampak terjadi pertarungan dua kekuatan pada kader-kader PDIP tersebut, antara memenuhi loyalitas terhadap kepala negara atau Ketua Umum Partai. Barangkali tindakan Megawati tersebut bertujuan untuk menunjukkan kemarahan atas ditahannya Sekjen PDIP, halmana sebelumnya sudah diperingatkan oleh Megawati, khususunya kepada Kapolri agar tidak menahan yang bersangkutan, tetapi justru KPK yang menahannya.
Kalau tipe konflik yang disebut kedua ini sebenarnya hanya soal ego antar elit, dan kebiasaan di Indonesia dapat dicairkan jika kedua belah pihak mau membuka komunikasi dan negosiasi. Sedangkan tipe konflik yang pertama, antara kaum muda dan mahasiswa melawan kebijakan Prabowo, mungkin akan bisa berlarut, tapi sejauh tidak berkembang menjadi gerakan yang teratur dan terbina secara ideologis dan klandeisten, maka Prabowo dengan aparatus intelijennya, dapat dengan mudah mengontrol dan memadamkannya. Kecuali, jika terdapat bagian kekuasaannya yang tidak disiplin dan insubordinasi diam-diam menggerakkan kaum muda yang geram dan anti kemunafikan itu guna menuai kepentingan klik politik mereka sendiri di dalam formasi kekuasaan Prabowo. Maklum, susunan kekuasaan Prabowo terdiri atas beragam latar belakang, “faksi” dan kepentingan yang saling mengambil kepentingan dan keuntungannya masing-masing. Praktik semacam ini bukan barang baru dalam sejarah kekuasaan di Indonesia, bahkan pada kasus Malari 1974, kasus persaingan antar grup elit di sekeliling Jenderal Soeharto, telah memainkan peran terjadinya peristiwa geger tersebut.
Prabowo dalam 100 hari, sebenarnya sudah memulai tanda-tanda kebijakan yang pro rakyat. Akan tetapi, pada kasus penanganan isu pagar laut yang menyeret nama oligarki yang dekat dengan Jokowi, yaitu Aguan, belakangan tampak seperti tidak berdaya menghadapinya. Nusron Wahid, Menteri KKP, sudah angkat tangan dengan menyatakan bahwa PIK 2 tidak terlibat dengan kasus gempar tersebut. Kesangsian atas komitmen dan konsistensi Prabowo untuk bertindak atas nama supremasi negara terhadap siapa pun yang melanggar hukum, menggelayut di mata publik.
Prabowo sebaiknya tidak terlena pada penanganan konflik antar aktor, tapi fokus memberikan penanganan atas konflik struktural yang mendera masyarakat. Konflik struktural, khususnya terkait perebutan sumber daya ekonomi dan politik, telah melahirkan ikon-ikon konglomerat, jenderal-jenderal centeng, dan politisi-politisi juru bicara oligarki sekaligus agen-agen pencipta dan pengatur peluang untuk merampok APBN dan proyek-proyek raksasa. Aktor-aktor semacam itu haruslah dibasmi karena telah mengawetkan kesenjangan dan kemiskinan rakyat. Kaum muda dan mahasiswa yang protes dengan masa depan mereka yang gelap, adalah hasil dari kondisi patgulipat dan kongkalikong antara oligarki ekonomi, oligarki birokrasi dan oligarki politik. Tiga setan besar ini telah membuat masa depan yang harusnya cerah menjadi suram. Birokrasi dan aparatus hukum seperti polisi yang dikeluhkan oleh Band Sukatani, menjadi demikian korup dalam persepsi publik. Bukan cerita rahasia lagi, terdapat oligarki yang beternak pejabat hukum, dijon diasuh, dibina loyalitasnya dan ditanam sejak masa awal pembinaan karirnya.
*~Bhre Wira*