Ashabul Kahfi: Kami Tidak Setuju atau Tidak Merekomendasi Kepesertaan JHT Wajib bagi BPU

JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Ashabul Kahfi menolak agar Jaminan Hari Tua (JHT) wajib untuk Bukan Penerima Upah (BPU) di sektor informal tersebut. Kahfi ingin agar ikut kepesertaan bagi BPU dibebaskan, tidak diwajibkan agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
“Kami tidak setuju atau tidak merekomendasi kepesertaan JHT wajib bagi BPU. Karena wajibnya BPU ikut kepesertaan JHT sangat berpotensi menimbulkan masalah baru jika tidak diiringi dengan mekanisme yang mempermudah kepesertaan. Banyak pekerja informal yang tidak memiliki penghasilan tetap,” kata Kahfi kepada wartawan, Jakarta, Rabu (19/2/2025).
Hal tersebut diakui Kahfi sempat dibahas saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI terkait Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsosnaker) 2025 dengan Sekjen Kemenaker dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2/2025). Dalam rapat itu, Kahfi menyoroti minimnya cakupan kepesertaan sektor informal.
Pihak pemerintah ingin memastikan bahwa kewajiban ini tidak membebani pekerja informal yang tidak memiliki penghasilan tetap? Apakah ada rencana untuk memberikan insentif atau skema iuran fleksibel bagi mereka yang berada di level ekonomi bawah? Bagaimana evaluasi terhadap program serupa di negara lain yang sudah menerapkan kewajiban serupa?Rekomendasi kepesertaan sebaiknya bersifat semi-wajib dengan insentif awal, seperti potongan iuran atau subsidi, agar tidak membebani pekerja informal secara finansial. Apa rekomendasi Ashabul Kahfi?
“Saya merekomendasi kepesertaan sebaiknya bersifat semi-wajib dengan insentif awal, seperti potongan iuran atau subsidi, agar tidak membebani pekerja informal secara finansial,” sambungnya.
Politisi asal Dapil Sulsel I ini menanggapi langkah pemerintah, di mana masih kurangnya cakupan kepesertaan jaminan ketenagakerjaan (Jamsosnaker) 2025 dari sektor informal atau sektor Bukan Penerima Upah (BPU). Bahkan Kahfi menunjukan data yang sangat miris jika dilihat dari upaya pemerintah cukup memperhatikan pekerjaan di sektor informal.
Data pemerintah menunjukkan hanya 0,80% pekerja sektor informal yang terdaftar dalam program JHT dan 11,81% dalam program JKK-JKM dengan 83,82 juta jiwa pekerja berada di sektor informal
Pertanyaana kemudian, apa langkah konkret dan progresif untuk mengatasi hambatan kepesertaan ini? Mengapa regulasi masih belum cukup fleksibel untuk menarik minat pekerja informal? Bagaimana strategi untuk menghilangkan kendala administratif dan ekonomi bagi pekerja informal agar mereka bisa lebih mudah bergabung dalam program ini?
“Kami punya rekomendasi, perlu strategi insentif khusus bagi pekerja informal, misalnya subsidi iuran bagi kelompok rentan, sistem pembayaran yang lebih fleksibel, atau integrasi kepesertaan dengan program bantuan sosial lainnya,” usul Kahfi.
Kahfi menanggapi adanya kelemahan dalam harmonisasi dan sinkronisasi peraturan. Menurutnya, ada kebutuhan harmonisasi peraturan terkait kepesertaan JHT dan JP bagi BPU. Namun, sejauh ini belum ada regulasi yang memberikan mekanisme shifting yang jelas antara PPU dan BPU, serta tidak ada skema top-up untuk BPU dalam JHT.
Dari kelemahan itu, muncul pertanyaan kengapa revisi peraturan terkait masih bersifat rekomendasi dan belum ada langkah konkret untuk implementasi segera? Apa kendala utama dalam mempercepat revisi peraturan, terutama terkait Perpres No. 109 Tahun 2013 dan UU No. 40 Tahun 2004? Bagaimana jaminan agar setiap revisi regulasi benar-benar menguntungkan pekerja informal, bukan hanya mempermudah administrasi bagi BPJS?
“Saya merekomendasikan batas waktu revisi regulasi harus ditetapkan secara eksplisit, serta perlu ada mekanisme keterlibatan pekerja dalam penyusunan kebijakan agar lebih sesuai dengan realitas lapangan,” ujar Kahfi.
Ia juga menanggapi proses penetapan target kinerja BPJS Ketenagakerjaan terlalu birokratis, dengan banyaknya tahapan dari DJSN ke Menkeu, Menaker, hingga Presiden, sebelum akhirnya ditetapkan. Kemudian muncul pertanyaan, kengapa tidak ada mekanisme lebih langsung dalam penetapan target kinerja, mengingat urgensi peningkatan kepesertaan? Apakah penyesuaian target kinerja benar-benar berdasarkan kondisi riil di lapangan atau hanya disesuaikan dengan peraturan yang ada? Bagaimana mekanisme transparansi dan akuntabilitas dalam penyesuaian target ini?
“Kami merekomendasikan, perlunya mekanisme review berkala berbasis data lapangan dan keterlibatan stakeholder pekerja secara lebih aktif dalam penyusunan target kinerja BPJS Ketenagakerjaan,” tegasnya.
Lebih lanjut Kahfi, menilai masih minimnya strategi komunikasi dan sosialisasi program jaminan sosial pemerintah tersebut. Salah satu penyebab rendahnya kepesertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan adalah kurangnya sosialisasi yang efektif. Banyak pekerja, terutama di sektor informal, tidak memahami manfaat program ini atau merasa proses pendaftaran terlalu rumit.
” Saya merekomendasikan diperlukan kampanye masif berbasis komunitas melalui media sosial, radio lokal, dan kerja sama dengan organisasi pekerja. Pendekatan berbasis desa dan kelompok profesi juga harus diperkuat agar pekerja informal merasa lebih dekat dengan program ini,” tutup Kahfi.