‘Ayo Tolak Lembaga Penafsir Pancasila Bentukan Pemerintah!’
JAKARTA, Lintasparlemen.com – Mantan Anggota Komisi III DPR RI Djoko Edhy S Abdurrahman menolak rencana Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan membentuk lembaga khusus untuk menjaga Pancasila yang langsung di bawah kepemimpinan komando Jokowi.
Seperti diwartakan, alasan pembentukan lembaga itu oleh Presiden Jokowi dilatarbelakangi dari persoalan bangsa seperti menguatnya intoleransi, radikalisme dan terorisme di dalam negeri.
“Keinginan pemerintah ini mendapat sambutan baik Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Jimly Asshiddiqie. Bahkan Prof Jimly meminta lembaga itu nantinya tak hanya berfungsi dalam pengembangan wacana semata, melainkan juga berperan dalam mengkaji serta mengadvokasi produk legislasi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” jelas Djoko seperti disampaikan oleh lintasparlemen.com, Selasa (27/12/2016).
“Saya berpandangan lain. Menurut saya pembentukan lembaga ini harus ditolak. Apapun nama dan alasannya, pembentukan lembaga ini ujungnya hanya akan membuat pemerintah memonopoli penafsiran Pancasila. Itu berbahaya. Sori berat Prof Jimly, saya tak setuju,” sambung Djoko.
Djoko mengajukan pertanyaan dari rencana itu, masih ingatkah Prof Emil Salim dan almarhum Prof Mubiyarto?
“Diskursus keduanya berhenti ketika Pemerintah mengambil alih sebagai penafsir tunggal Ekonomi Pancasila. Emil salim menggunakan mazhab Neo Classic versus Mubyarto menggunakan metodologi Jogya,” terang mantan politisi PAN ini.
“Tadinya dari diskursus itu diharapkan ditelurkan metodologi ekonomi Pancasila. Tiba-tiba diambil alih pemerintah dan jadilah ekonomi liberal kini. Logi ketiga trilogi pembangunan gagal dan terjerumus kepada konsep WW. Rostow “The Stage Economics Growth Non Communist”.
Dirinya menolak keras upaya pemerintah dalam melakukan monopoli terhadap penafsiran pancasila, karena hal itu pernah terjadi dan gagal di era Presiden Soeharto. Malah upaya dari Pemerintah Presiden Soeharto itu hanya menghadirkan kepemimpinan yang otoriter yang berakhir di era reformasi.
“Rasanya kita juga belum lupa pak Harto dengan taktis dan strategis mengambilalih penafsiran Pancasila dan UUD 1945 secara santun karena dibungkus dengan embel-embel ‘secara murni dan konsekuen’. Namun jargon ‘melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen’ justru menghasilkan pemerintah yang otoriter sehingga harus dikoreksi oleh gelombang reformasi 1998.” Jelas Djoko.
Oleh karena itu, ia meminta menghentikan upaya dari pemerintah dalam melakukan penafsiran tunggal terhadap makna dari pancasul. Djoko menyebut, bahwa sistem ekonomi Pancasila yang diterapkan di Indonesia saat ini berbau China alias OBOR.
“Apakah kita mau ulangi lagi memberikan kesempatan pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila? Janganlah. Sekarang saja ekonomi yang dijalankan sama sekali tak berasa Pancasila. Tapi berasa OBOR (on belt on road one china),” pungkasnya. (HMS)