Bandit PCR Pesta, Rakyat Tak Berdaya: Kenapa?

 Bandit PCR Pesta, Rakyat Tak Berdaya: Kenapa?

Saya setuju dengan pernyataan Ihsanuddin Noorsy yang menyatakan bahwa suatu aksi korupsi dengan skala besar di Indonesia hanya bisa terjadi dengan cara konspiratif atau komplotan. Konspiratif ini melibatkan korporasi, orang dalam pemerintahan, dan media atau organ propoganda, yang bekerja menutupi sekaligus menyesatkan mata publik.

Teknik perampokan skala besar semacam ini, telah lama berjalan dan yang paling sial, dalam rangka menutupi aksi jahat dan licik tersebut, mereka dengan sengaja mengobarkan sekaligus mengorbankan isu paling sensitif, yaitu pelecehan terhadap ajaran Islam dan penganiayaan terhadap umat Islam, yang tujuannya cuma satu: supaya dapat bersembunyi dari sorotan rakyat. Maklum rakyat Indonesia yang paling banyak dan paling reaktif adalah umat Islam.

Eksploitasi dan manipulasi ajaran Islam dan umat Islam oleh para penguasa yang licik dan kejam di Indonesia hampir selalu berulang. Nyaris bagaikan suatu rumus dan jurus untuk mengecoh dan menyelamatkan muka mereka yang korup dan serakah. Maklum, umat Islam jika tidak dikendalikan dengan cara murah meriah seperti itu, bisa sangat galak dan akhirnya membawa akan terjungkalnya para penguasa dari tampuk kekuasaannya.

Tapi gejala dan fakta ini, amat sulit untuk dikenali dan disadari oleh umat Islam sendiri. Karena, optik atau cara umat melihat dan menganalisa masalah, menghindari analisa ekonomi politik–atau mungkin karena tidak dididik–dan lebih suka melihat gejala sebagai suatu impulsif dan mitos kekuasaan.

Saya lebih baik terus terang saja memperlihatkan kepada pembaca bagaimana suatu peristiwa korup dan delegetimasi ditutup dengan isu yang itu-itu saja.

Mari perhatikan.

Ketika isu pada 27 Agustus 2021 “Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi Operasi Militer di Intan Jaya” dibuka kedoknya oleh Haris Azhar dan Kontras dan menggelinding menjadi isu publik yang membuat yang bersangkutan gerah dan terusik, tiba-tiba isu tersebut ditimpa dengan isu penangkapan Ust Yahya Waloni dan seterusnya berlanjut dengan isu penangkapan teroris di Bekasi yang katanya melibatkan Jamaah Islamiyah. Tentu saja, sekurang-kurangnya konsentrasi perhatian rakyat terhadap aksi Luhut dan sekutunya, terpecah.

Kemudian muncul lagi isu, Muhammad Kece babak-belur dihajar oleh Irjen Napoleon Banaparte yang mengakibatkan pro dan kontra. Seakan sudah diprediksi, isu berikutnya akan muncul melibatkan nama-nama penguasa, di antaranya Luhut dan Airlangga Hartarto, keduanya berasal dari Partai Golkar, yaitu Pandora Papers. Pandora Papers merupakan data-data jurnalistik investigatif yang membuka kedok banyak figur dunia yang menyembunyikan rahasia keuangannya di luar negeri. Pandora Papers ini diinterupsi oleh isu bahwa Menteri Agama hanya pantas untuk jatah NU, dan pindah agamanya Sukmawati Soekarno Putri dari Islam ke Hindu.

Belum selesai perkara Pandora Papers, muncul lagi isu PCR yang melibatkan permainan korup para penguasa yang menyenggol Luhut, Erick Tohir dan sebagainya, maka kesannya remuk-redamlah legitimasi penguasa di lingkaran Jokowi.

Saat isu PCR ini menampar mereka yang sedang berada di luar negeri untuk menghadiri forum bergengsi G20, maka muncul pula secara berantai video dan peryataan protes atas isi uraian dan ceramah Buya Syakur di Mabes Polri terkait moderasi keberagamaan. Inti isu Buya Syakur ialah pelecehan atau penistaan terhadap ajaran Islam. Isi ceramah Buya Syakur, diketahui publik dan ramai akibat diramaikan dengan protes media sosial.

Sejatinya, drama dan sinetron prihal mempertahankan kekuasaan di Indonesia, skenario dan alur ceritanya mudah ditebak dan itu-itu saja. Tidak ada kesan kreatif sama sekali. Mungkin pemirsanya juga memang agak bodoh.

Biasanya, jika penguasanya terdeteksi korup dan rawan memburuk ke arah pergolakan, maka disodorkanlah cerita dan isu pelecehan ajaran Islam atau serial penangkapan dan intimidasi aktor-aktor dakwah di Indonesia. Dengan demikian, tertutuplah isu pertama oleh isu kedua, ketiga, keempat dan seterusnya hingga orang lupa dengan isu pertama.

Mungkin bagi penguasa, cara isu ditimpa isu, sudah terbukti mujarrab untuk mengamankan kekuasaan. Tapi kenapa bisa begitu berulang-ulang?

Sebabnya juga ada pada internal umat Islam sendiri yang memang empuk dieksploitasi dan dimanipulasi. Mudah terpukau dan pada saat yang sama, mudah lupa dengan apa-apa yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Umat Islam, agak sulit berpikir analitis-kronologis, baik kronologi peristiwa maupun kronologi konteks peristiwa. Akibatnya mudah digiring dan disesatkan oleh para pemburu kekuasaan.

Memang salah satu solusinya, penting sekali mendidik umat Islam untuk memiliki cara berpikir analitis-kronologis dibantu oleh metode pembacaan ekonomi politik dalam melihat peristiwa kemanusiaan. Tidak melulu melihat suatu peristiwa terjadi begitu saja dan diciptakan oleh aktor tunggal.

Perihal cara berpikir semacam ini tidak berjalan dalam pendidikan umat Islam, karena tidak diajarkan. Senantiasa lebih mendominasi, yaitu cara berpikir mitos dan base on qila wa qola (katanya-katanya). Akibatnya, pesta poralah dari era ke era para bandit yang berkuasa di hadapan umat Islam. Karena para bandit itu, menganggap bahwa umat Islam mudah lupa, mudah dikecoh dan mudah direkayasa serta ditumbalkan.

~ Bang SED

Facebook Comments Box