Begini Klarifikasi Lengkap ‘Bangsat’ Arteria Dahlan
JAKARTA – Masih ingatkah kita dengan makian anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan yang menyebut Kementerian Agama (Kemenag) bangsat. Komentar Arteria itu menimbulkan pro dan kontra.
Seperti yang sudah sudah. Ada yang mengkritik, tapi ada juga yang membela Arteria terkait pengelolaan haji umroh di Indonesia, termasuk travel haji bodong yang makin marak. Arteria mengaku geram dengan terhadap korban penipuan biro perjalanan umrah yang saat ini makin banyak.
Pernyataan bangsat itu keluar dari mulut Arteria dalam rapat kerja Komisi III dengan Jaksa Agung M Prasetyo di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018) lalu.
Berikut pernyataan lengkap Arteria Dahlan:
Perlu diketahui bahwa saya memberikan Pernyataan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung tertanggal 28 Maret 2017 dilakukan 2 kali. Pertama saat saya mewakili fraksi PDI Perjuangan di mana saat itu dibahas terkait penyelesaian kasus Cessi PT Victoria dan MoU yang dibuat kejaksaan Agung dan Kementerian/lembaga yang cukup banyak belakangan ini.
Terkait pernyataan ini clear tidak ada masalah. Kedua, setelah break sholat, saya memberikan pernyataan sekaligus menggunakan hak konatitusional saya dalam kapasitas saya selaku pribadi anggota Komisi III, setidaknya ada 6 hal yang saya pertanyakan:
1. Inventarisasi penegakan hukum kasus narkoba, apakah terefleksi dg pencanangan “Darurat Narkoba”, mengingat scr regulasi kita sudah lumayan moderat, scr kelembagaan punya Dir dan Sat Narkoba, dan penegak hukum yg berlimpah juga berlimpah kewenangnnya.
2. inventarisasi Tuntutan Kasus Ilegal Logging dan Illegal Fishing, yg menyerang kedaulatan bangsa, khususnya penebangan kayu di taman nasional.
3. Penguatan Atase Kejaksaan di negara yang memiliki tenaga kerja Indonesia yang jumlahnya besar seperti Arab Saudi, Malaysia dan Hong Kong.
4. Evaluasi thd peradilan sesat dalam kasus hukuman pancung M. Zaini Misrin, saya minta penguatan diplomasi hukum.
5. kajahatan pengadaan Obat dan Harga Obat, dengan obat yg serupa rakyat disuruh membayar dg harga yg sangat tinggi (hanya tukar kemasan),
6. Penyelesaian Kasus Penyedia Jasa umrah, in casu First Travel.
Saya melihat pemaparan Jaksa Agung terkait penangan Kasus First travel, sangat konvensional tidak menyelesaikan masalah dan tidak mengenal keadilan restoratif (restorative justice).
Saya berpendapat dalam kasus seperti First Travel. Keadilan substantif melalui restorative justice lah yang lebih tepat. Bayangkan saja para calon jemaah kan sejatinya mau umrah dan sudah dijanjikan akan berangkat, akan tetapi jangankan jadi umrah ke tanah suci, uangnya pun raib, sekalipun nanti dikembalikan akan menjadi tidak signifikan karena sistem pembagian yang proporsional di mana jumlah aset sedikit sekali jika dibandingkan dengan utang.
Tentunya saya diajarkan bersikap, bertutur kata dan berbicara yang sopan dan santun. Saya pernah di Komisi VIII. Dalam raker maupun RDP dengan Kementrian Agama kala itu permasalahan itu sudah saya sampaikan secara sopan dan santun, lalu.
Dalam rapat berikut kami sampaikan lagi hingga pada akhirnya Komisi VIII DPR berkesimpulan membentuk Panja penyedia Jasa Umrah Bermasalah.
Lalu kami bertemu dengan calon jamaah umrah korban yang faktanya berada dalam keaadan tidak menguntungkan secara ekonomi. Ada yang sudah menabung sampai bertahun-tahun, mereka tergolong miskin, yang sejatinya hanya ingin melihat ka’bah, menjd tamu Allah, menjd pasukan Allah (mujahidin), sekadar pelipur iman dikarenakan untuk haji disamping berbiaya tinggi juga harus menunggu Hingga 37 tahun.
Mereka menangis, dalam segala bentuk dan ragam alasan, sedih kecewa karena tidak ke Baitullah. Gagal dan malu karena tidak jadi berangkat, bahkan uang yang dikumpulkan dengan keringat dan air mata hilang dan terkesan dibiarkan begitu saja dalam berjuang memperebutkan haknya melalui lembaga peradilan yang memakan serta menguras waktu tenaga dan uang.
Saya hanya ingin mengingatkan kita semua, bahwa ibadah umrah bukanlah sekadar hak bagi calon jamaah umrah. Melainkan menjadi kewajiban negara untk memberikan jaminan beribadat.
Pasal 29 UUD NRI sekaligus sebagai Konstitusi kita menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai agamanya dan kepercayannya.”
Oleh karna itu, lahirlah suatu Kementerian Agama dengan segenap kewenangan dan dukungan anggaran yang begitu melimpah. Tentunya bukan tiket kosong, melalui Kementerian ini negara mengamanatkan dan memberikan tugas dan tanggung jawab guna memastikan setiap warga negara dijamin dapat beribadah sesuai agama dan kepercayannya masing- masing.
Hingga saat ini, komitmen kebangsaan tersebut tetap melekat khususnya bagi saya maupun fraksi kami di dalam melakukan dukungan anggaran bagi Kementrian Agama walaupun kita sadari dalam banyak hal harus dilakukan pembenahan.
Adalah suatu fakta bahwa First Travel telah melakukan penipuan terhadap jamaah umrah, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat, membuat keraguan bahwa jaminan negara itu nyata dan ada serta telah merugikan umat baik dalam hal kehilangan kesempatan beribadah umroh maupun kehilangan sejumlah uang.
Faktanya adalah yang harus dijadikan permasalahan oleh Kemntrian adalah bagaimana nasib 63.310 jamaah umroh First Travel. Bagaimana uang sejumlah 905,33 M ?? Apakah jamaah dapat diberangkatkan? Apakah uang tersebut dapat dikembalikan?
Saya mungkin masih bisa bersabar tatkala kejadian ini terakhir dan tidak akan terjadi kembali sehingga hanya dua pertanyaan itulah yang menjadi tugas kita semua untuk menyelesaikannya.
Akan tetapi saya pastikan tidak, faktanya terdapat permasalahan serupa yg dilakukan oleh Abu Tour yang melibatkan 86.720, bahkan melibatkan uang kurang lebih Rp1,8 triliun.
Saya pastikan akan menyusul kejadian- kejadian serupa dalam waktu tidak lama lagi. Seharusnya energi Menteri Agama dan jajaran Kemenag difokuskan untuk menyelesaikan hal tersebut ketimbang mempermasalahkan diksi “Bangsat” dan mencermati hasil pembahasan Panja terkait First Travel di Komisi VIII.
Harusnya dengan mencermati hasil Panja tersebut Kemenag bisa melakukan perbaikan yg signifikan bukan dengan menetapkan tarif minimum biaya umrah sebesar Rp 20 juta. Bagi saya itu sangat menyakitkan .
Saya mengajak semua pihak termasuk Kementrian Agama untuk melihat substansi pembicaraan saya, justru saya mengajak Jaksa Agung untuk turut terlibat didalam carut marut penyediaan jasa umrah, melalui pembuatan MoU yang spiritnya adalah pencegahan dan perbaikan tata kelola penyediaan jasa pelayanan umroh.
Pendekatan pencegahan saya pikir sangat efektif dan tidak membuat gaduh dimana negara dapat hadir dalam konteks pembinaan penyedia jasa umrah, publik juga terinformasi dan tidak tertipu serta Kementrian Agama terbantu didalam menjalankan tupoksi pengawasan. Kehormatan Kementrian Agama juga terjaga dikarenakan orientasinya tidak pada penindakan / penangkapan.
Saya juga ingin mengingatkan apakah mana yang lebih menyakitkan, pernyataan pihak Kemenag yang menyatakan “salah sendiri kenapa percaya sama penyedia jasa umroh yg berbiaya murah, ya kalau ada apa apa tanggung sendiri” juga pernyataan yang kerap kali dilontarkan.
“First Travel sudah tidak di kami, sekarang kan sudah di Polisi / Jaksa, silahkan tanya mereka dan silahkan tempuh upaya hukum” . Mana yang lebih menyakitkan dari pernyataan saya? Seandainya jamaah korban bisa langsung bertemu dengan Pak Menteri Agama, bukan tidak mungkin pernyataannya lebih pedas dari yang saya sampaikan.
Wajar saja, karena secara hukum hak konstitusionalnya telah dilanggar tanpa ada upaya restorasi dr Negara. Apalagi belum lagi masalah First Travel selesai sdh disusul dg Abu Tour dan bukan tidak mungkin akan disusul dg permasalahan serupa.
Pernyataan reaktif muncul tatkala saya menyatakan bahwa kalau Jaksa Agung pendekatannya seperti ini, yakni hanya mempidanakan andika dan Annisa Hasibuan, serta membagi harta yang tersisa secara proporsional. Maka sudah dipastikan bahwa penegakan hukumnya tidak efektif dan tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh korban First Travel.
Makanya saya meminta Jaksa Agung saat itu utk membuat terobosan, mengedepankan efektifitas dikarenakan kalau dilakukan dengan cara konvensional seperti ini cenderung tidak efektif, karena mereka Kemenag, (yang bertanggung jawab dalam konteks pengawasan tersebut), “bangsat” semua, tidak bisa berubah lah intinya.
Jadi harus ada terobosan Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan hal ini, agar tidak terjadi kejadian serupa. Jadi itu tidak saya tujukan ke Menteri Agama, dan ke jajaran Kementerian Agama. Sekalipun ada irisan dan menimbulkan ketersinggungan saya minta maaf.
Tapi juga jangan terlalu “Baper”, karena jamaah umrah yang menjadi korban justeru lebih sakit lagi. Mereka masih konsisten berjuang, dalam keheningan, ditengah ketidakyakinannya akan dukungan, jaminan dan perlindungan negara. Mereka anggap ini Jihad, sebagai bentuk perjuangan ke Baitullah, menjadi Tamu Allah, dan pasukan Allah. Mereka juga paham bahwa uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit melalui keringat dan air mata mustahil akan kembali secara utuh.
Tapi karena keyakinanlah mereka masih ada dan tetap senantiasa berjuang. Mereka juga tidak “Baper”, tidak meminta Menteri Agama maupun jajaran Kemenag minta maaf. Apalagi minta maaf dihadapan publik.
Jadi pilih mana, Diksi atau substansi. Kalau yang dipilih substansi, seharusnya jajaran Kementerian Agama harus berterima kasih atas masukan dan terobosan pendekatan pencegahan ini. Tapi kalau yang dipilih diksi saya minta maaf.
Tapi mohon pahami suasana kebatinan Saya, jangan larang saya untuk memperjuangkan mereka yang datang mengadu, mereka yang menabung dengan susah payah tetapi ditipu tidak dapat ke Baitullah, mereka yang ingin menjadi Pasukan Allah, apalagi banyak di antara mereka yang sudah tidak berani mimpi menjadi haji dikarenakan antrian kuota sampai 27 tahun.
Saya tidak bicara Hak Imunitas Dewan, dalam banyak hal dan sebelum menjadi anggota DPR pun saya coba untuk selalu kritis terhadap isu kerakyatan. Saya gunakan hak konstitusional saya dalam forum yang konstitusional.
Silahkan saja bagi mereka yang ingin membawa permasalahan ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan klarifikasi seluas-seluasnya. Saya akan malu tatkala di MKD kan karena perbuatan tercela, korupsi, tapi saya akan bangga apabila saya dipermasalahkan dalam rangka saya memperjuangkan kepentingan rakyat yang saya wakili. Saya tidak gentar. Saya lakukan semua dengan keyakinan tentunya keyakinan akan kebenaran.
Harusnya yang menjadi titik tekannya adalah benar tidaknya pernyataan saya, bukan diksi “bangsat” nya. Dalam forum saya juga sedang menjalankan fungsi pengawas DPR. Lagi pula saya disumpah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, khususnya masyarakat di daerah pemilihan saya. Saya juga mau mengingatkan kita semua apa yang menjadi penyebab carut marut penyedia jasa umrah, apakah ada masalah kelembagaan? Masalah regulasi? Masalah penegakan hukumnya? Lalu apakah memungkinkan utk diterapkannya restoratif justice?
Dalam iman saya dikenal “watawa saubil haq, watawa saubil sabr”, saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran, agar kita semua lebih baik lagi ke depan, bukan untuk permusuhan. Saya selalu berusaha untuk bersikap bijak dan santun. Tapi mohon juga dipahami hal tersebut akan sulit dilakukan apabila jerit tangis rakyat masih tidak terselesaikan.
Para Korban jamaah umrah tersebut bukan konsumen yang sedang membeli paket Tour ke Eropa, bukan pula konsumen yang membeli sepeda motor atau yang sedang memesan catering dlm rangka perkawinan, yang itu saja terlindungi melalui UU Perlindungan Konsumen.
Mereka itu adalah Tamu Allah, pasukan Allah yang ingin ke Baitullah dalam rangka ibadah. Mereka semua mau buang uang hanya hanya sekadar mendapatkan kemuliaan Allah SWT, untuk meningkatkan ketakwaan yg membuat menjadi lebih baik ke depan.
Oleh karena itu perhatian, perlindungan dan jaminan negara bagi mereka harus hadir, dengan alasan apapun juga. Dan yang perlu diingat adalah hal mereka semua dijamin oleh konstitusi, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama, bukan tanggung jawab polisi dan bukan pula jaksa.
Wassalam,
H. Arteria Dahlan ST, SH, MH
Anggota DPR RI