Benarkah Indonesia Bukan Negara Hukum?
Oleh: Dedi Noah, Pemerhati Kelucuan Indonesia
Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah negara berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat).
Negara yang bukan sekedar berlandaskan sembarang hukum, bukan hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan yang dapat menuju kekuasaan mutlak/otoriter, tetapi negara yang kuat dan serius mengutamakan nilai pada keadilan bagi rakyat.
Indonesia sudah berganti sampai 7 (tujuh) Presiden, tapi sebutan Indonesia sebagai “Negara Hukum” tetap melekat dan tak pernah berubah, bahkan selalu diklaim oleh pemerintah yang saat itu berkuasa, meski praktiknya beda.
Implementasi sistem negara hukum sejatinya relatif banyak diketahui oleh warga masyarakat, karena secara universal pedoman, rambu-rambu dan nilai-nilainya sering dijargonkan para penguasa/petahana di negaranya masing-masing.
Begitu pula di Indonesia, Presiden Jokowi pun dengan perangkat penegak hukum di bawahnya setali tiga uang, kerap menyuarakan dengan fasih, Indonesia adalah negara hukum. Bukan sekali dua kali, tapi setiap ada permasalahan hukum yang menyedot perhatian besar rakyat, Presiden selalu tampil mengeluarkan jurus jargon “Indonesia negara hukum” sehingga sudah tidak asing lagi di telinga rakyat.
Ungkapan “Indonesia adalah negara hukum, semua warga negara sama di depan hukum dan kita serahkan pada proses hukum” nampaknya sudah jadi ucapan standard dan baku, mulai Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, Menkumham yang kemudian di “copy paste” Kajati, Kajari, Kakanwil Kumham Daerah, Kapolda, Kapolres, Kapolsek, bahkan sampai Kepala Desa, dan lain sebagai.
Ungkapan elok dan klise ini, meski cuma basa-basi dan sudah menjenuhkan rasa dan rasio masyarakat, tapi tetap patut mendapat apresiasi, karena masih mendengungkan kemuliaan keinginan Indonesia sebagai negara hukum.
Implementasi cerminan Indonesia sebagai negara hukum, dimana hukum disepakati menjadi “rujukan dan pedoman” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD’45, tentu harus bisa dilihat, dirasakan dan dibuktikan saat proses hukum berjalan “on the track” tanpa intervensi sedikitpun dari pihak manapun.
Setiap negara hukum pasti menempatkan hukum pada posisi tertinggi (Supremacy of Law), sehingga kekuasaan apapun harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya hukum yang harus tunduk pada kekuasaan. Bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan itu bisa membatalkan hukum atau dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan.
Oleh karena itu penerapan hukum muaranya harus dapat “tercermin dan bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat”.
Ciri menonjol pada negara hukum adalah praktik “persamaan” di depan hukum bagi semua warga negara. Penguasa (pemegang kekuasaan) dengan rakyat berkedudukan sama atau sederajat di hadapan hukum, yang membedakan hanyalah pada fungsi, dimana pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat diatur.
Dengan demikian yang mengatur dan yang diatur harus berpegang dan patuh pada satu pedoman yaitu undang-undang. Setiap warga negara dalam hukum, tidak boleh dibedakan berdasar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Siapapun yang melakukan pelanggaran hukum, harus diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Negara hukum tidak mempraktikkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, pilih kasih, kebal hukum, backing hukum dan pembiaran kesewenangan kekuasaan, karena bisa menimbulkan “ketidak-adilan” yang merupakan antitesa tujuan adanya hukum.
Penerapan prinsip “Equality Before The Law” akan menempatkan UU sebagai backing terhadap nilai-nilai kebenaran, juga akan menghilangkan ruang gerak bagi oknum penguasa atas kesewenangan yang akan membacking habis-habisan warga yang salah untuk kepentingannya.
Sisi lain sebagai negara hukum harus terlihat negara tidak abai terhadap perlindungan HAM dan menjamin perlindungan HAM dalam setiap proses hukum. Seperti penangkapan, penahanan, proses BAP, bahkan sampai ada korban luka apalagi meninggal dunia harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Bukan praktik sikat dulu, urusan belakangan, seperti yang sering dipraktikkan aparat penegak hukum selama ini.
Cerminan lain adalah praktik kebebasan pribadi yang tanpa merugikan orang lain, kebebasan berpendapat, mengkritik dan dikritik secara konstruktif serta kebebasan berkumpul yang tak anarkhis harus berjalan tanpa hambatan dan ketakutan.
Praktik negara hukum di tanah air sejak digulirkan para Founding Fathers sampai sekarang memang banyak pasang surut dan penuh dinamika sesuai situasi dan tantangan jamannya. Kekurangan dan kelebihan tiap pemerintahan dalam menerapkan sistem negara hukum pasti ada dan tentu tidak terlepas dari situasi dan kondisi jaman saat itu.
Tapi yang paling penting dari semua penerapan itu, adalah bisa terlihat dari bagaimana “komitmen” Presiden dalam mematuhi segala per-UU-an yang berlaku dan membela kepentingan demi keadilan rakyat. Tatkala rasa keadilan untuk rakyat terjawab, maka disitulah sisi penerapan negara hukum berjalan sudah on the track.
Sebaliknya, bila rasa keadilan untuk rakyat terabaikan, mengutamakan kepentingan penguasa atau kelompok tertentu, maka penerapan negara hukum itu gagal dan hanya retorika alias cuma di mulut saja.
Mencermati kondisi penerapan negara hukum dibawah kepemimpinan Jokowi memang banyak ragam, tapi setidaknya bisa terlihat dan dirasakan masyarakat, khususnya dalam penanganan kasus “super menonjol”, penistaan agama oleh BTP (Ahok) yang sampai kini masih belum ada tanda-tanda bakal cepat selesai akibat peran pemerintah dalam proses hukumnya, dimana equality before the law mandeg dan tidak berlaku bagi Ahok.
Malah kecenderungan dukungan kepada Ahok dipertontonkan kepada khalayak, tatkala Ahok disemobilkan oleh Presiden saat usai mengunjungi Proyek Semanggi pada 23 Februari 2017. Bagaimana mungkin seorang dengan status “terdakwa” dalam proses hukum justru bareng-bareng meninjau proyek dengan kepala pemerintahan.
Padahal tidak sedikit berbagai argumen pakar/ahli hukum, teguran/nasehat tokoh agama, tokoh nasional, sesepuh bangsa dan fakta vonis hukum yang valid (tak terbantahkan), hingga demo jutaan manusia di Jakarta, ternyata belum menggoyahkan presiden berpihak kepada hukum yang benar dan adil, tapi tetap mendukung Ahok, penista agama.
Peng-istimewa-an Ahok dalam proses hukum di era pemerintahannya, justru membuktikan pemihakan Presiden kepada praktik kesewenangan kekuasaan di atas hukum, sehingga mencemarkan dan menodai Indonesia sebagai negara hukum.
Begitu pula di bidang perlindungan HAM, kasus menonjol “kematian Siyono” dan praktik sogok polisi agar keluarga korban bungkam, adalah salah satu contoh tindakan ngawur Polri yang sampai kini tak jelas pertanggungjawabannya, tentu banyak lagi kasus lainnya.
Apakah Indonesia masih pantas disebut sebagai negara hukum ? Jawabannya tentu bukan pada jargon penguasa, tapi pada hati nurani dan implementasinya bagi seluruh rakyat Indonesia. []